.
.
Harry sudah berbalik dari kantin ke arah lorong ruang kelas Ginny dengan membawa satu botol teh dingin dan satu kotak susu coklat ketika dirinya melihat Draco–masih membawa satu tas plastik berisi undangan mewah–mendekat ke arah Ginny.
Ginny yang sedetik lalu tenggelam dalam buku bacaannya kini langsung menengadah ketika menyadari dirinya tak sendirian. Mata Ginny membelalak, lalu mereka tampak bercakap-cakap sejenak—Harry tidak bisa mendengarnya karena masih berjarak tiga meter dari mereka—sebelum Draco menyodorkan salah satu undangannya pada Ginny.
Dada Harry entah mengapa jadi memompa lebih cepat. Teringat olehnya kata-kata Levi alias terduga Draco di twitter tadi, bahwa hari ini dia akan mengajak orang yang dia suka untuk pergi bersamanya ke ulang tahun terduga Pansy Parkinson. Jadi, Harry mempercepat langkahnya untuk mendekat ke mereka berdua.
Ketika Harry sudah cukup dekat, dirinya berdehem, membuat Draco yang baru saja memberikan undangan pada Ginny sedikit terperanjat.
“Hai,” sapa Harry begitu mata Draco bertemu dengannya. Mata si pirang itu sedikit melebar. Entah karena terkejut atau karena hal lainnya.
“Oh, hai…” jawabnya, sedikit mencicit. Harry langsung menahan bibirnya untuk tidak tersenyum.
“Mau bagi-bagi undangan pesta ulang tahun Parkinson?” tanya Harry. Draco mengerjap sedetik sebelum akhirnya mengangguk dan mengambil satu undangan di dalam tas plastik lalu menyerahkannya untuk Harry. Kini mata si pirang itu sengaja melihat ke bawah, seolah dia tidak ingin kembali bertemu pandang dengannya lagi.
“Lo juga diundang,” tambah Draco setelah Harry mengambil undangannya. Undangannya tebal mengkilap, dengan tulisan kursif indah dan wangi semerbak seolah kertasnya habis dicelupkan dalam sebotol parfum. Harry menyeringai.
“Thanks,” komentar Harry. Draco masih tidak memandang wajahnya dan hanya mengangguk sekenanya. Ketika Harry bertukar pandang dengan Ginny, temannya itu sedang mengangkat alisnya, namun tampak terhibur melihat pemandangan di depannya.
Bukannya ini adalah saatnya Draco mengajaknya untuk pergi bersama ke Pesta Pansy Parkinson? Harry tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya. Ataukah—
Oh.
Bisa jadi seperti yang Draco katakan di DM, dia masih ragu apakah mengajak Harry adalah tindakan yang tepat, mengingat dia tidak tahu apa hubungan antara Harry dengan Ginny.
Setelah menyadari ini, harusnya Harry mencari cara yang tepat untuk memberi info pada Draco kalau dirinya tidak ada apa-apa dengan Ginny. Tapi dasar Harry kelewat bodoh, mulutnya langsung ceplos tanpa pikir panjang.
“Gue sama Ginny ga ada apa-apa.” ujar Harry cepat, membuat kepala Draco langsung terangkat dan matanya seketika melebar. Mereka berpandang-pandangan tanpa kata dalam hening selama lima detik sebelum suara Ginny yang mendengus terdengar dari samping.
“Damn right gue sama Harry ga ada apa-apa,” tambahnya sambil tertawa kecil, lalu menatap Harry geli dan berganti menjadi senyuman lembut penuh maklum saat menoleh ke arah Draco. “Kayaknya gue mau permisi cabut duluan deh ya.” tambahnya tiba-tiba, sudah bersiap untuk berbalik pergi.
Harry sudah akan mengucapkan terima kasih dan menoleh ke arah Draco untuk mengajaknya ngobrol di tempat yang lebih privat ketika dia melihat ekspresi begitu panik di wajahnya.
“Eh, Ginevra, sebentar!” serunya, membuat Ginny tidak jadi pergi dari situ. Ginny bertukar pandang lagi dengan Harry yang sekarang juga merasa kebingungan.
Setelah memanggil Ginny, bukannya menyampaikan apa maksudnya, muka Draco malah terlihat begitu pucat.
“Lo nggak apa-apa?” tanya Ginny, mendekat ke arah Draco.
“Oh, uh… santai aja.” jawabnya rikuh. Harry memperhatikan mereka berdua dari samping tanpa kata. Masih terkejut dan bingung kenapa tiba-tiba Draco malah memanggil Ginny padahal seharusnya mengajaknya bersama ke Pesta Pansy Parkinson.
Belum selesai keheranan Harry, Ginny berujar kembali.
“Tadi kenapa emangnya? Kok panggil gue?” tanyanya.
“Oh… well,” Draco melirik sebentar ke arah Harry, sebelum mengerjap lalu berkata lagi. “Berarti kalau kalian nggak ada apa-apa…” katanya dengan tanggung.
“Ya?” Tanya Harry walau Draco sama sekali tidak memandangnya, tidak sabar dengan apa yang akan dikatakannya. Draco kembali meliriknya sekilas seperti memastikan, sebelum akhirnya menggeleng dan menatap Ginny.
“Lo berarti sendirian ke sananya?” tanya Draco cepat-cepat.
Namun alih-alih bertanya pada Harry, Draco malah bertanya pada Ginny. Mendengarnya, Harry seperti diguyur dengan air es. Sebelas dua belas dengan Harry, raut wajah Ginny juga begitu terkejut ketika tiba-tiba ditanya seperti itu.
“I guess?” jawab Ginny ragu-ragu.
“Lo mau ke sana bareng sama gue?” tanyanya lagi cepat-cepat, kali ini sama sekali tidak melirik ke arah Harry. Seolah dia hanya membutuhkan jawaban dari Ginny.
Jantung Harry seperti jatuh ke dalam rongga perutnya. Ketika Harry memandang Ginny, dia balik memandang Harry dengan tatapan heran, seperti meminta bantuan pada Harry untuk menjawabnya seperti apa. Namun Harry, masih tidak bisa berpikir saking terkejutnya, tidak bisa mengeluarkan sepatah apapun.
“Gue pikir-pikir lagi boleh nggak?” tanya Ginny akhirnya.
“Sure,” jawab Draco. “Pikir-pikir aja dulu nggak apa-apa kok. Uh… kalau gitu gue permisi duluan ya. Sampai ketemu di pesta Pansy, Ginevra.” salamnya, lalu berbalik dan mengangguk pada Harry. “Lo juga, Harry.” katanya sopan, sebelum berderap pergi dan menghilang di balik lorong.
Telinga Harry berdenging. Lidahnya kelu. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
✓ Alter & Disguise
FanfictionZeus, dewa petir. Leviathan, monster seperti naga yang ada di lautan. Dua nama itulah yang dipakai Harry dan Draco di akun alter mereka. Singkatnya, mereka mutualan di Twitter tanpa tahu identitas asli satu sama lain. Kacaunya, Harry adalah crush Dr...