Draco menatap layar ponselnya dengan degup jantung yang berpacu dengan cepat. Keringat dingin membanjiri telapak tangannya.
Ze tahu identitas aslinya. Ze satu sekolah dengannya. Ze sedang berjalan menuju ke kantin belakang yang sepi ini untuk menemuinya.
Draco mengumpat pelan. Harusnya dia senang, karena Ze, mutual twitter yang kini menjadi teman baiknya, yang kepadanya Draco bisa dengan nyaman bercerita setiap hari, ternyata satu sekolah dengannya. Namun alih-alih merasa senang, hanya rasa terkejut dan takut yang menyergap Draco.
Takut karena ternyata, salah satu alasan mengapa Draco merasa begitu bebas bercerita pada Ze adalah anonimitas yang ditawarkannya. Bahwa Ze sama sekali tidak mengenalnya sebelum ini dan mau mengenalnya lebih dekat untuk berteman. Kenyataan bahwa ternyata Ze tahu identitas aslinya seperti menampar Draco, menyadarkannya bahwa pertemanannya selama ini ternyata tidak pernah dibangun berdasarkan anonimitas itu.
"Hei..." sebuah suara familiar terdengar di telinga Draco, membuatnya terkesiap dan luar biasa kaget. Belum selesai persoalan dengan Ze, tiba-tiba Harry muncul begitu saja di hadapannya. Draco pikir degup jantungnya sudah tidak bisa memompa lebih keras lagi, tapi rupanya dia salah. Dia lupa kalau niat awalnya kesini adalah karena kabur dari Harry yang tengah mencarinya, dan kini saat Harry berhasil menemukannya, maka Draco harus sudah siap untuk menjawab segala pertanyaannya soal kelancangan Draco mengajak Ginevra tadi.
Permasalahan antara Harry dan Ze bertumpuk-tumpuk di kepalanya. Membuat matanya panas karena tidak siap.
"Lo nggak apa-apa kan?" tanya Harry lagi, kini sudah menarik kursi dan duduk di depannya.
Draco bingung. Alih-alih mengancamnya, Harry malah bertanya seperti itu dengan nada yang begitu lembut. Sungguh di luar nalar.
Draco lalu menghela napas.
"Maaf tadi gue ajak Ginevra..." ujarnya pada akhirnya. "Meskipun lo bilang nggak ada apa-apa sama dia, tapi gue sadar gue lancang."
Harry menatapnya tidak percaya, lalu menggeleng pelan.
"Lo mau gue beliin minum?" tanyanya kemudian. Draco melongo. Kenapa respon Harry malah ngaco? "Lo kayak lagi panik dan dalam keadaan nggak baik-baik aja. Kalo gini, harusnya lo minum dulu. Baru ngobrol." tambahnya.
Draco malah tambah bingung.
"Uh... lo kesini bukan mau ngelabrak gue?" tanya Draco sambil menelengkan kepalanya. Harry mendengus, lalu berdehem dan menghela napas.
"Ngelabrak buat apa emangnya?" tanyanya geli. Draco mengedikkan bahu.
"Karena udah ajak Ginevra ke pesta Pansy di depan elo?" tanya Draco, menebak.
"Kenapa gue harus ngelabrak elo?" tanya Harry lagi. Draco memutar otaknya.
"Karena... dia gebetan elo?" tebak Draco lagi. Harry kembali menghela napas, lalu bangkit berdiri.
"Gue mau beli minum dulu buat elo. Tunggu di sini bentar." katanya.
Tanpa di suruh pun Draco tidak akan kemana-mana. Memangnya Draco bisa kemana saat lututnya sudah seratus persen lemas begini? Taruhan, kalau Draco berdiri sekarang, pasti kakinya tidak kuat menopang tubuhnya saking gemetarannya.
Ketika akhirnya Harry kembali dan menyodorkan sebotol air mineral dingin dan menyuruh Draco untuk meneguknya, tidak ada yang bisa Draco lakukan kecuali mematuhinya. Butuh lima kali tegukan sampai Harry mengangguk puas dan mulai menyilangkan tangannya kembali.
"Soal Ginny..." mulai Harry lagi, membuat Draco sedikit mengernyit. "Kan gue udah bilang gue ga ada apa-apa sama dia." tambahnya.
Memang benar. Tapi raut wajah Harry yang seperti ingin meledak ketika Draco tidak sengaja mengajak Ginevra mengatakan sebaliknya.
"Ga ada yang mau lo omongin sama gue?" tanya Harry lagi ketika Draco tak kunjung berkomentar. Keringat dingin di telapak tangan Draco makin membanjir walaupun nada Harry terdengar begitu lembut.
Harry menghela napas lagi, lalu tiba-tiba, tangan Draco yang terkepal di atas meja dilingkupi oleh tangan Harry. Draco seperti tersengat listrik. Apa dirinya sedang mimpi?
Dan kalau Draco merasa tidak bisa lebih kaget lagi dari itu... satu kata yang diucapkan Harry setelahnya adalah klimaks dari semuanya. Satu kata yang membuat Draco ingin pingsan tiba-tiba.
"Levi..." panggilnya.
Ya Tuhan.
Apakah bisa manusia mati karena rasa malu dan terkejut?
Kalau bisa... apakah sudah saatnya Draco meninggalkan dunia ini?
Semuanya rasanya kabur, Tuhan.
.
Harry mengamati ekspresi Draco lekat-lekat saat memanggilnya dengan Levi. Dalam sepersekian detik, raut Draco seperti kebingungan, lalu berganti menjadi tidak percaya, dan yang terakhir pucat pasi.
Harry buru-buru membelai punggung tangan Draco dengan ibu jarinya dan menggenggamnya lebih erat untuk menenangkannya.
"Gue nggak bohong waktu gue bilang baru hari ini gue yakin lo adalah Levi..." ujar Harry hati-hati, masih mengamati raut wajah Draco dengan lekat. Ketika Harry sudah akan berujar lagi saat tak didapatinya tanda-tanda Draco ingin berkomentar, tiba-tiba Draco melepaskan tangannya dari genggaman Harry dengan perlahan, lalu menyilangkan tangannya di atas meja dan membenamkan wajahnya ke sana.
"Gue mau menghilang di telan bumi aja," bisiknya parau, seperti berujar pada dirinya sendiri. Harry tidak bisa menahan dirinya untuk terkekeh.
"Lo nggak apa-apa? Ada yang mau ditanyakan ke gue?" tanya Harry lagi. Dia melihat Draco menggeleng keras-keras dengan kepala masih terbenam di kedua lengannya. "Gelengan lo barusan untuk menjawab pertanyaan gue yang pertama atau yang kedua?" tanya Harry lembut.
"Dua-duanya." jawab Draco lagi pelan. Harry refleks mengusap-usap punggung Draco dalam usahanya untuk menenangkannya. Dia tidak membayangkan bagaimana perasaan Draco sekarang, karena kalau Harry di posisinya, dia pasti juga ingin agar bumi menelannya bulat-bulat.
"Minum lagi?" tawar Harry. Draco menggeleng lagi. "Oke... gue bakal ada di sini sampai lo siap ngobrol sama gue, oke?"
Draco tidak menjawab, Harry tidak keberatan. Dia diam di sana selama hampir lima belas menit menunggu Draco siap sambil tidak berhenti bergantian membelai punggungnya dan belakang kepalanya.
Ketika akhirnya Draco mengangkat wajahnya, warna pucatnya kini telah berganti menjadi merah padam. Entah karena malu atau alasan yang lainnya.
"Gue belum siap bicarain sekarang," ujarnya pelan. "Gue masih butuh waktu untuk memproses." katanya. Harry langsung mengangguk.
"Gue tunggu." ujar Harry, membuat Draco menghela napas begitu lelah.
"Jangan tunggu di sini, Harry... gue nggak bisa mikir kalo elo di samping gue..." katanya. Kalimat itu membuat perut Harry bergejolak, seperti ada ratusan kupu-kupu yang terbang di sana, dibarengi dengan perasaan hangat di dadanya.
Ratusan kupu-kupu di perut.
Dada yang menghangat.
Harry merasakan semua itu. Perasaan yang sebelum ini hanya bisa diketahuinya lewat pengalaman orang lain yang bercerita padanya. Harry menahan rasa senangnya yang membuncah demi untuk membalas kalimat Draco.
"Oke..." jawab Harry tercekat. "You have all the time in the world, Draco..." tambahnya. Kalimat yang membuat Draco menatapnya sangat lama sampai akhirnya dia menghela napas lagi.
"Malam nanti gue DM," ujarnya, sebelum bangkit dan pergi dari situ dengan lunglai.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
✓ Alter & Disguise
FanfictionZeus, dewa petir. Leviathan, monster seperti naga yang ada di lautan. Dua nama itulah yang dipakai Harry dan Draco di akun alter mereka. Singkatnya, mereka mutualan di Twitter tanpa tahu identitas asli satu sama lain. Kacaunya, Harry adalah crush Dr...