Aku terduduk sendirian di kursi tunggu ruangan putih ini. Ada 5 orang yang sedang menunggu. Dua pasang, mungkin suami istri dan aku sendiri. Sesekali aku membuka pesan Whatsapp group tim-ku, sambil curi-curi dengan kalau namaku di panggil.
Tautan Mental Health Center. Plang nama yang bersinar di belakang meja resepsionis. Yup, aku sedang berada di praktek psikologi. Untuk apa? Untuk memuaskan Papiku kalau aku sudah melakukan saran, tepatnya paksaan, untuk mengecek diriku. Padahal setelah kulihat di internet, konsultasi seperti ini tidak boleh dalam keadaan terpaksa. Tapi terserahlah.
Tak paham kenapa tempat ini dipenuhi pasangan. Oh mungkin ada konsultan perkawinan di tempat ini. Entahlah.
Ini janji pertamaku bersama psikolog. Istri Papiku yang menyarankan tempat ini. Katanya psikolog terbaik di Bali.
Aku memutuskan kembali ke Denpasar. Tinggal menetap dan melanjutkan firma arsitek yang sudah aku bentuk sejak aku menamatkan studi magisterku di Jepang bersama seniorku dulu ketika masih kuliah S1. Jakarta sudah tidak ada siapa-siapa. Sebenarnya, Bali-pun sudah tidak ada siapa. Tapi setidaknya pekerjaan tidak membuatku merasa sendiri.
"Erika Valentina Rungkat," Aku menoleh ketika namaku dipanggil. "Silahkan." Ketika resepsionis melihat responku. Aku mengangguk dan berdiri menuju pintu yang ditunjuknya.
Oh mungkin 2 pasangan tadi hendak melakukan konsultasi lainnya.
Aku memasuki ruangan yang dikatakan besar juga tidak, kecil tentu bukan. Ada sofa coklat, rak buku di belakangnya, kursi dan meja di dekat sofa. Jadi seperti ini ruangan konsultasi. Terlalu sederhana. Aku belum pernah mendesign ruangan seperti ini, bisa kujadikan refrensi nantinya. Tentunya akan kutambahkan furniture lain.
"Selamat pagi, Mbak Erika." Sapa pria didepanku. "Saya Theo." Lanjutnya.
Aku mengangguk, "Erika." Kemudian menjabat tangannya. "Boleh duduk?" Tanyaku kemudian.
Theo tertawa kecil kemudian mengangguk.
"Jadi, hari ini kita mau bicara tentang apa?" Tanya Theo.
Dahi otomatis mengernyit. Apa itu pertanyaan retorik? Aku bahkan tidak tau kenapa aku bisa kemari.
"I don't know." Jawabku setelah jeda cukup lama.
Theo tersenyum kecil. Sembari menggunakan kacamatanya. "Baik, kalau gitu saya tanya-tanya bisa?"
Kembali ku mengendikkan bahu, "Terserah sih." Jawabku.
Aku tau aku akan membayar cukup mahal sekali sesi ini. Tapi itu demi keinginan Papiku saja. Aku merasa tidak ada masalah dengan kesehatan mentalku, jiwaku dan ragaku. Semua kurasa baik-baik saja.
"Kamu sendiri mau bicara tentang sesuatu? Mungkin hal yang mengganggu dihidupmu?" Tanya Theo.
Kugelengkan kepalaku. Apa aku harus memaksakan diri dengan mengatakan iya kalau ada sesuatu yang menggangguku? Karena jelas-jelas tidak ada.
"Yakin?"
"Ya yakin. Saya kesini karena permintaan orang tua saya aja, saya merasa nggak ada masalah dalam hidup saya. Lagipula kalau saya ada masalah, saya pasti cerita ke teman dekat saya aja. Gratis." Jawabku.
Teman dekat.
Dua kata itu. Apakah aku punya?
**
Ku habiskan waktu berhargaku selama 90 menit diruangan itu bersama Theo, yang katanya psikolog terbaik di klinik itu. Kami hanya duduk dalam diam, tidak berkata apapun setelah ucapanku.
Theo hanya membalas dengan senyuman. Sementara aku duduk sembari melipat tanganku di dada dan melihat sekitar. Selama 90 menit. Sesekali tentunya aku bermain handphone. Sementara Theo berkutat dengan buku tulis dan pulpen yang dibawanya. Mungkin sedang membuat kesimpulan tentangku, seperti di film film ketika adegan psikolog dan pasien.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terlalu Jauh
General Fiction"E, please deh. Kalau kelauan kamu terus seperti ini, kamu bisa mati sendirian." Beragam nasehat sudah kudengar, banyak cacian sudah kuterima, lebih dari 10 orang menyumpahiku tidak akan hidup tenang. Tapi hanya satu kalimat yang langsung membuatku...