ٞ ᜔ ‌ 🕰 ࣭ TAKKAN SUMARAHˎˊ˗ ִ֮⌛֗﹆

3 1 0
                                    

Eksistensi ini masih ada. Bernafas, masih bernyawa.

🕰️

16 tahun.
Aku telah remaja, dan aku mulai masygul.
Permainan apa yang kiranya dilakukan takdir termaktub itu padaku?

Ingin sekali aku teriakkan euforia, aku pujangga besar! Aku gadis anggara, berhasil tergenggam galaksi tanpa adorasi yang berarti. ‘Bertingkahlah layaknya wanita bermartabat tinggi.’ kata mereka. Kerumunan pandir itu sungguh lucu, karena itu, karena itulah aku dewana akan ilmu.

Ya Tuhan, diriku pengelana terluka. Jikalau aku pejuang dari Badui, kuda putihku celaka sekarang dan aku berjalan tertatih-tatih. Semuanya efemeral. Lalu, kutapaki langkah mengikuti indurasmi. Dersik angin berhembus halus, dan hidungku mendapati hidu Ibu. Ada lakuna dalam batinku, sekalipun aku kimpoidra, diri ini tetap membutuhkan dama. Cinta Ibu, dan pulang.

Wahai gemintang, temanku yang termanis dan cerah. Sebenarnya diriku bertanya-tanya apa yang kucari, kuinginkan dalam dunia fana ini? Puaskah aku merangkai euonia? Punyakah dikau jawabnya? Wahai mega biru yang bertakhta di siang hari, kau tak beri arah ke manakah sinar Dewi Malam membawaku menapak.

Visusku tak pernah meragu. Benarkah ini yang jiwaku mau? Wahai Ibu, apakah dirimu bahagia melihat pencapaianku? Apakah aku ingin kebahagiaan, apa aku ingin kekayaan, apa aku ingin kecerdasan, apa aku ingin semuanya? Atau malah, aku sebenarnya hanya ingin tenang dan terlelap di pelukmu yang selalu berhasil membuatku nyaman.

Wahai Ibu, bukan balita lagi diriku. Bukan balita lagi aku yang bisa kau timang-timang layaknya sepuluh tahun lalu. Dan aku bukan lagi bocah kecil yang memikirkan permainan apa yang harus kulakukan selanjutnya. Tak pernah lagi tersirat hal konyol di pikirku yang merencanakan lomba lari seru dan berkotor ria dengan temanku.

Apakah aku klandestin terhadap itu semua?

Adakah seseorang memiliki jawabnya?

Duhai Ibu, hatiku dirundung pilu. Begitu cepatnya waktu berlalu. Kalbuku sama sekali tidak nirmala. Rasanya aku sungguh takaluf, hai diri mengapa kau tak ingin usaha lebih keras lagi! Ingat Ibumu, rasanya tak ada yang pantas dilakukan dalam hidupku selain memenuhi kebahagiaanmu, kebahagiaanku. Anganku begitu tinggi Ibu, tapi kujamin aku bisa meraihnya.

Tak peduli apapun.

Abai pada kerikil, duri, dan jurang terjal yang memisahkan mimpi dariku. Aku punya sayap, dan jika sayapku patah, aku punya kedua kaki yang bisa kugunakan untuk berlari, jika kedua kakiku cedera, aku bisa merangkak, dan aku punya tangan untuk meraih mimpi-mimpi.

Aku tersadar, hidup tak pernah lepas dari harapan. Harapan harus tetap ada, tekad harus tetap hidup, jiwa harus tetap sejalan.

Maka Ibu, ingat baik-baik perkataan putrimu ini, akan kutapaki bumi, kuterobos bias panas matahari, kupeluk bulan, aku akan terbang meraih bintang-bintang tertinggi.

Kuberikan untukmu. Kebanggaanmu, kebahagiaanmu. Baktimu, kasih sayangmu, pengorbananmu untukku.

Akan kuberi bintang untukmu. Kurajut berlian untuk menyelimutimu. Kubangunkan intan sebagai istana tempatmu tinggal.

Ibu, anakmu tak akan pernah menyerah pada keadaan. Takkan sumarah. Anakmu adalah gadis paling hebat yang pernah ada dan kau akan menangis bahagia.

Kubunuh semua keraguan, kulewati segala rintangan. Kutaklukkan musuh.

Karena aku, adalah aku.


malam hari yang tenang
12.57 am

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Yang Kutulis saat Perasaanku BerkecamukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang