Wajah pucat Sean menatap kosong kolam hias yang ada di halaman rumah nya. Tubuh ringkih nya duduk pada kursi roda yang sudah menemani nya selama 2 bulan.
"Kakak" seorang wanita paruh baya—ibu Sean—mikha menghampiri anak sulung nya itu. Memberikan pelukan hangat kemudian berjongkok disebelahnya.
"Cuaca dingin, kita masuk ya?" ia mengangguk. Kemudian senyuman terpatri pada wajah cantik Mikha, ia mulai mendorong kursi roda itu perlahan. Memastikan Sean tidak merasakan sakit.
Kini Mikha tengah berkutat di dapur. Sean ingin makan buah. Sembari menunggu, Sean menonton televisi, fokusnya tiba tiba saja terpecahkan ketika adiknya membuka pintu utama.
Wajah nya yang terkena air hujan begitu datar. Baju nya basah kuyup, sepatu yang basah kini ia pegang ditangan kirinya. Menatap Sean di ruang televisi yang juga menatap kehadirannya.
Juna—nama adik Sean, segera membuang pandangan. Ia acuh pada Sean yang memanggil namanya berulang ulang. Tungkai nya tetap ia bawa menaiki tangga.
"Juna.." lirih Sean, matanya menyiratkan kesedihan. Sikap adik satu satunya selalu dingin terhadap nya dan sampai sekarang Sean tidak tau apa alasannya. Tetapi, kalau di ingat-ingat semasa kecil, Juna tidak pernah ingin jauh dari Sean.
Walau ia dan Juna tinggal diatap yang sama, tetap saja Sean tidak bisa merasakan kehadiran sang adik dalam hidupnya. Ia merindukan adiknya itu.