Jam sudah menunjukkan tepat pukul lima pagi. Juna baru saja pulang dari malam dimana ia meninggalkan Sean sendirian dirumah. Membuka pelan pintu rumah, hidungnya mencium aroma makanan dari dapur. Yang ia yakin itu adalah Bi Rukmah yang sedang memasak. Memang wanita itu selalu datang tepat waktu memasak untuk keluarga Abimanyu.
"Bi, Mama udah pulang?"
"Eh, Den Juna. Selamat pagi Den, nyonya belum pulang den"
Terlalu lama. Itulah yang ada dibenak Juna. Untuk pertama kalinya Mama nya belum pulang sampai pukul lima pagi begini.
"Kalau gitu Juna naik dulu Bi, mau sekolah"
"Iya den, Bibi masakkan nasi goreng untuk pagi ini ya?" Juna mengangguk, kemudian meninggalkan Bi Rukmah seorang diri di dapur.
Tungkai nya berhenti ketika melihat tangan yang menjuntai kebawah di sofa ruang Televisi.
"Sean?" ia menghampiri dan benar itu adalah Sean. Ia tengah terlelap. Juna tidak habis pikir, apa ia menunggu Nyonya besar dari kemarin malam sampai pagi ini di sofa dengan tidur yang tipis dan tanpa selimut.
Tangan Juna yang hendak mengguncang pelan badan Sean guna membangunkannya berhenti. Panas. Panas sekali.
"Bi... Bi Rukmah!!"
°•°☆°•°
"Maafkan Bibi Den. Bibi tidak memperhatikan Den Sean sedang tidur di ruang TV" Bi Rukmah menunduk dihadapan Juna, rasa bersalah kurang memperhatikan Sean menyeruak di dadanya.
"Gapapa Bi, memang orang itu taunya menyusahkan aja"
Tadi setelah Juna memanggil Bi Rukmah, segera mereka membopong Sean ke kamarnya. Kondisi Sean demam tinggi, wajahnya semakin pucat, beberapa lebam tampak pada tangan dan kakinya dan hal itu masih saja tidak bisa melelehkan hati beku milik Juna.
"Seharusnya Den Juna jangan bilang begitu. Den Sean itu kakak nya Aden, jadi gak baik buat ngomong gitu" tegur Bi Rukmah pelan, Juna hanya melanjutkan sarapannya. Kemudian pamit, karena jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh.
Sepeninggal Juna. Bi Rukmah segera membereskan bekas makan tuan mudanya itu, juga bagian rumah yang perlu dibersihkan.
Sementara Sean. Ia sudah terjaga sejak Juna pergi berangkat sekolah. Ia hanya berbaring tak berdaya menatap langit langit kamarnya. Dadanya juga sesak, tidak sanggup dirinya menahan ini sendiri. Ia butuh teman.
Hingga akhirnya Sean terlelap dalam sakitnya. Sampai hari menjelang Sore. Ia masih tetap terlelap, melewatkan sarapannya dan makan siang yang membuat Bi Rukmah panik, ia sudah membangunkan Sean sedari pagi tadi untuk sarapan tetapi Sean tidak bangun bangun.
Ia juga sudah menelepon Mikha, dan wanita itu berkata akan pulang pukul tiga sore. Nyatanya sekarang sudah pukul lima sore. Wanita itu belum pulang.
"Den Juna. Bibi bisa minta tolong?"
"Tolong den. Den Sean sedari pagi belum bangun, Bibi khawatir" Juna tersentak. Ia masuk kedalam kamar Sean, mendapati lelaki itu tidur lelap.
"Ya sudah Bi, biarkan. Bibi jadi tidak usah repot mengurus anak manja kayak dia" Juna tetaplah Juna. Hati itu masih tetap beku. Ia meninggalkan Bi Rukmah bersama Sean yang masih menutup matanya.
°•°☆°•°
Sudah pukul tujuh malam. Sejam yang lalu Bi Rukmah sudah meninggalkan rumah ini karena tugasnya hari ini sudah selesai.
Juna kini sedang berada didalam kamar Sean, setelah sebelum pamit pulang tadi, Bi Rukmah memohon mohon pada Juna untuk menjaga Sean, karena Nyonya besar belum pulang sampai sekarang.
"Bibi minta tolong den, kasihan nanti den Sean bangun gak ada siapapun disampingnya. Bibi mohon ya? Nanti kalau den Sean sudah bangun, tolong panaskan bubur, juga buah sudah ada di kulkas dan sudah Bibi kupas"
Begitulah permohonan Bi Rukmah tadi. Juna tidak bisa menolak, bukan karena Sean melainkan karena wanita tua itu yang memintanya.
"Ungh.." lenguhan Sean terdengar, mengalihkan perhatian Juna yang tadi fokus pada HP nya.
"Ma..ma"
"Mama belum balik. Gak usah manja" suara berat itu mengagetkan Sean.
"Adek?"
"Tch.. tunggu disini, gue panasin bubur lo. Dari pagi lo belum makan" Juna beranjak dari duduknya. Tak lama ia datang dengan nampan ditangannya, menyodorkan nampan itu pada Sean. Sean yang tak berdaya hanya mampu melihat.
"Ambil ini. Makan"
"Suapin kakak... tangan.. kakak gak kuat"
Juna menatap kesal Sean. "Lo selalu nyusahin. Padahal lo lebih tua dari gue, harusnya lo bisa lebih kuat dari gue, bukan lemah kayak gini. Apa lo gak malu?!"
Sakit.
Hati Sean sakit mendengarnya. Tapi apa boleh buat, itu memanglah kenyataan. Ia lemah. Tapi ia tidak pernah meminta hal ini ada padanya. Ia lahir kedunia dan ditakdirkan seperti ini.
"Gak ada yang minta lo nangis. Cepet telan, gue muak lama lama disini"
Beberapa menit kemudian, piring itu kosong. Perlahan Juna memberikan Sean minum. Setelah semua selesai, Juna ingin pergi namun berhenti ketika Sean bersuara.
"Maaf. Maafkan.. kakak ya? Kakak lemah.. gak bisa.. gak bisa jaga adek. Tunggu kakak sembuh... kakak.. jaga adek... kakak.. jadi tameng buat adek.. adek.. mau kan? ... nunggu kakak dan... temani kakak.. sampai.. sembuh?"
Sean menatap punggung Juna yang membelakanginya. Tidak ada respon sampai beberapa detik, rasanya Sean ingin menangis sekeras mungkin mendengar penuturan Juna. Tapi ia tak punya kekuatan, bahkan untuk menangis.
"Harusnya lo dari tadi tidur aja, gak usah bangun sampai selamanya, karna gue gak akan pernah mau menunggu orang lemah jadi kuat. Orang lemah memang ditakdirkan jadi lemah dan untuk selamanya begitu. Gak usah berlagak mau jadi tameng buat gue, bahkan untuk sembuh. Lo orang terbodoh yang mengharapkan kesembuhan, sementara gak ada satu pun orang yang berharap lo sembuh. Bahkan gue sendiri, gak ngarepin lo sembuh"
"Harusnya lo sadar. Betapa lo nyusahin Mama, sampai Mama harus banting tulang demi lo. Biaya pengobatan lo yang pastinya itu akan sia sia pada akhirnya. Bagusan lo segera menyerah atas hidup, biar gak nyusahin. Kalau lo bener bener sayang Mama—
—juga gue, secepatnya lo pergi dan berhenti nyusahin"
Juna menutup pintu itu cukup kencang. Perasaannya puas sudah mengatakan hal yang memang patut Sean terima, menurutnya.
Tapi mungkin ke puasan itu hanya untuk saat ini. Juna tidak bisa melihat apa yang akan terjadi didepan sana.
