Pagi weekend, nggak ada kegiatan apapun dan hujan lebat; sungguh hari yang sempurna untuk melanjutkan tidur lagi dan lagi."Mau dimasakin apa?" Gumam Jay dengan mata terpejam di bawah selimut, tapi yang diajak bicara malah tak menanggapi.
"Jake?" Panggilnya lagi, lalu menoleh pada Jake yang tidur tengkurap; sementara TV di depan mereka masih menampilkan film The Adventure of Tintin.
"Hm?"
"Mau dimasakin apa?"
"Nanti masak sendiri."
Jay mendengkus kecil,
"No, thank you. Abang belum mau tinggal di kolong jembatan kalau rumah ini jadi abu."Agak trauma dia, soalnya Jake pernah ngerebus telur terus ketiduran; pulang-pulang Jay malah liat telur api neraka, alias telur gosong sampai ke cangkang-cangkangnya. Selain itu, Jake juga nggak becus pakai pisau; jadi yaudah lah, daripada menantang bahaya, lebih baik Jay aja yang mengambil alih urusan dapur.
Sementara itu, Jake tau diri dan tidak memaksa; ya emang bener sih dia nggak bisa masak, mau gimana lagi.
"Emang di kulkas ada apa aja, sih?"
"Telur, sosis ... keknya ramen juga masih ada."
"Yaudah ramen aja."
"Pake telur, nggak?"
"Iya."
Lalu hanya suara TV yang mengisi ruang di antara mereka, Jake kira Jay akan langsung masak; tapi setelah beberapa lama, tidak ada satupun pergerakan yang dilakukan Jay.
"Nggak jadi masaknya?"
Jay membuka matanya, lalu sedikit menurunkan selimut.
"Katanya nanti?""Oh, yaudah nanti."
Jay tertawa kecil setelahnya, lalu menatap langit-langit rumah mereka dalam diam.
Tiba-tiba saja memorinya berkelana ke masalalu ketika rumah mereka terasa ramai di hari libur; bunda bakalan masak, jadi dia nggak usah mikirin mau masak apa. Nanti selesai main basket di halaman belakang sama ayah, dia bakal langsung nyomot kue kering di meja makan, lalu dilanjutkan oleh Jake yang males banget mandi pagi.
How nice it was.
"Dek?" Panggilnya pelan, Jake pun membalas dengan gumaman tak kalah pelan; soalnya dia masih ngantuk.
"Kangen nggak?"
Jake mengernyit, dasar Jay enggak jelas.
"Kangen apa?""Diri kita, pas dulu; pas ayah sama bunda belum balik kanan bubar jalan."
Jake tak serta merta menjawab; bukannya tak mengerti, tapi dia hanya ... entahlah; tidak mau mengingat kalau orangtua mereka sudah berpisah, yang dia mau tau ya cuma fakta dia dan Jay hanya tinggal berdua; soalnya ayah sama bunda kerja di luar kota.
Nanti juga pulang.
"Enggak."
Lebih tepatnya dia enggak merasa kalau dulu itu nyata.
"Kenapa?" Tanya Jay lagi, sengaja; soalnya dia nggak pernah tau gimana perasaan Jake selama ini. Jake cuma menjalani kehidupannya kayak biasa, belajar, bergaul, kadang bandel dan ngebuat Jay naik pitam; nggak sekalipun dia mempermasalahkan ini dan itu.
Emosinya juga gitu-gitu aja, nggak ada ambisi; terus ya sisanya boros.
He buys everything he wants.
Dan baik ayah atau bunda mereka pun nggak pernah marah.
"Nope. Apa juga yang mau dikangenin?"
Sebab, Jake tak merasa punya sesuatu yang bisa dia rindukan di masa yang udah lewat.
Bunda ngejek-jelekin ayah, terus sebaliknya. Saling neriakin, dan tiada hari tanpa bilang kalau mereka menyesal memilih satu sama lain sebagai pasangan.
Basi lah pokoknya, Jake merasa kehidupannya lebih baik di waktu yang sekarang.
Jay terkekeh, dia pun tidak menemukan jawaban yang tepat- pun tidak merasakan hal yang sama; Karena jauh di dalam lubuk hatinya; jujur, hidup tanpa figur orang tua itu Agak sulit. Dia tidak bisa sesantai Jake.
"Udah ah ngomongin beginian."
Jake berdecak, kantuknya benar-benar tak tersisa.
"Kamu mulai duluan."lalu hening menyita ruang di antara mereka sebelum Jay bangkit, tak lupa melempar bantal yang dia gunakan ke wajah Jake; tindakann yang bagus untuk memulai pertikaian. Setelah itu dia cepat-cepat berlari menuju dapur sambil tertawa-tawa.
sementara Jake; kayaknya jiwa tantrumnya belum muncul di pagi hari. Jadi dia cuma berdecak kecil dan memejamkan mata lagi sambil memeluk bantal yang Jay lempar.
"Setress!"
Namun bukannya bisa tidur lagi, Jake malah kembali membuka matanya, dan beralih memandang televisi dalam diam dan menghela napas kecil; terlalu banyak yang dia pikirkan sampai-sampai kalau orang tanya 'lagi mikirin apa?' ... Jake bakal jawab kalau dia lagi eggak mikirin apa-apa.
Too many thoughts go unsaid.
kebiasaan banyak orang.
Merasa bosan, dia bangkit menyusul Jay ke dapur dan menidurkan kepalanya di atas meja makan. Lumayan lah; suara Jay memotong daun bawang yang beradu dengan suara hujan di luar sana, anggap aja ASMR.
"Bang ..." panggilnya pelan.
"Hmm?" jawab Jay tak kalah pelan, sementara mataya masih fokus pada duan bawang di tangan.
"Meurut kamu, ayah mau ngapain ya pulang?"
Jay tak langsung menjawab, dia mengernyit pelan; sedikit berpikir aneh, tak biasanya Jake bertanya demikian.
"Ya kangen sama kita? kayak biasanya."
Jake mengangguk-angguk, lagian kok dia mikirnya aneh-aneh. Kalau ayah pulang, ya berarti kangen mereka, 'kan.
"Hmm"
Gumam Jake tak jelas karena dia menggesek-gesekan wajahnya ke dalam lipatan tangan.Jay tak menanggapi lagi, dia hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Jake.
Namun tak lama kemudian, Jake kembali bersuara;
"Bang?""Apaahh?"
Belum aja Jay tebalikin pancinya.
"Enggak jadi, 'deh"
Yaelah ...
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cotton Candy
FanfictionCerita keseharian adek Jake; si anak baru dewasa, dan abang Jay yang berusaha menjadi abang yang baik walau emosi dikit.