Bab 4

16 1 0
                                    

Lampu ruangan Zaid masih menyala, padahal jam sudah menunjukkan pukul 20.00. Lampu ruangannya masih cukup kuat untuk bisa menerangi kerja lembur. Dia masih menunggu laporan dari Reza. Ponselnya pun menari-nari dengan getaran dan nama Ishaq muncul di layar. Zaid segera mengangkat.

"Assalaamu'alaikum. Halo, Za?" sapa Ishaq.

"Wa'alaikumussalam. Bagaimana liburanmu dengan keluarga?" tanya Zaid.

"Alhamdulillah. Makasih atas cutinya. Ini sedang dalam perjalanan ke rumah," jawab Ishaq, "anak sama bini suka. Setidaknya mereka senang diajak liburan bersama."

"Syukurlah kalau begitu. Aku juga berterima kasih atas banyaknya aku absen kemarin," kata Zaid, "kau menggantikan aku selama itu."

"Halah, bro. Santai saja. Lagian perusahaan ini juga kita rintis sama-sama. Setidaknya aku juga ada saham di sini. Aku bawa oleh-oleh, besok aku bawa ke kantor," ucap Ishaq.

"Nggak usah repot-repot."

"Istriku yang punya ide. By the way, belum pulang?"

"Masih di kantor mengaudit data dari Reza. Banyak klien yang belum ditagih."

"Waduh. Trus?"

"Ya sudahlah, besok kamu bantu. Aku nggak terlalu cakap ngomong soal tagih menagih. Aku lebih senang kalau ngobrolin soal project daripada harus nagihin orang. Mana aku orangnya nggak tegaan."

"Makanya, kau itu mbok ya ubah sifatmu itu. Ada anjing pura-pura pincang juga kau simpati. Tidak setiap orang bisa kau kasihani. Terkadang, memang mereka perlu dibiarkan," ucap Ishaq.

"Makasih nasehatnya. Aku berusaha."

"Ya sudah, ini aku mau nyampe rumah. Sampai besok di kantor," kata Ishaq mengakhiri teleponnya.

Tubuh Zaid menggeliat. Meregangkan otot-ototnya yang sudah kaku, protes karena sedari tadi hanya duduk tanpa ada peregangan. Pemuda itu melakukan beberapa gerakan, meregangkan tangan, memutar pinggangnya hingga persendiannya berbunyi. Bererapa saat kemudian, dia duduk lagi untuk memeriksa data tagihan.

Tak terasa malam begitu cepat, hingga jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Lampu di kantor seberang pun telah padam. Pertanda kantornya sudah tutup dari sejak tadi. Zaid tidak melihat Mei pulang hari itu, karena sudah sibuk dengan berbagai angka-angka di monitor laptopnya.

"Sebaiknya aku pulang," gumam Zaid. Dia rapikan mejanya, memberesi barang-barang, menata mejanya, lalu memasukkan laptop ke ransel. Dia kunci ruang kerjanya, kemudian menuruni tangga. Di lantai satu dia bertemu dengan petugas sekuriti yang memang berjaga malam. Tampak pria paruh baya tersebut sedang menikmati siaran televisi yang ada di ruang loby.

"Eh, Pak Zaid. Pulang, Pak?" sapa satpam bernama Khoirul tersebut.

"Iya, Pak. Sampai nanti ya, Pak. Duluan," ucap Zaid.

"Iya pak. Hati-hati."

Langkah Zaid berikutnya mengantarkan dirinya ke basement yang menjadi tempat parkir gedung ini. Pemuda ini tidak naik mobil, melainkan sebuah sepeda motor matic. Beberapa saat kemudian dia menstarter sepeda motor itu, kemudian melaju membelah kota Surabaya di malam hari.

Di jalan, Zaid sempatkan mampir di salah satu penjual bakmi langganan dia. Sebungkus bakmi di malam hari untuk mengisi perutnya yang keroncongan gara-gara terlalu sibuk bekerja. Ingat kata ibunya agar jangan sampai telat makan, sebab pemuda ini punya penyakit maag.

Surabaya di malam hari adalah salah satu pemandangan yang sangat disukai oleh Zaid. Lampu-lampu temaram, hawa yang lebih sejuk ketimbang siang hari, serta cahaya dari lampu-lampu malam yang lebih ramah menyapanya daripada sang surya yang panas membakar. Tempat tinggal Zaid tidak begitu jauh dari kantornya, hanya 15 menit perjalanan, berada di salah satu gang di daerah Semolo Waru.

Rumah tempat tinggalnya jadi satu dengan tempat kos mahasiswa. Saat dia hendak masuk pagar sudah digembok. Hal itu tidak aneh, sebab memang ada jam malam di kos tempat dia tinggal. Bukan, Zaid bukan penghuni kos. Tinggal di rumah Pakdenya—punya kamar eksklusif di lantai atas, sedikit terpisah dengan kamar anak-anak kos—tidak membuat Zaid merasa berbeda dengan merekka. Di Surabaya ini merantau untuk mencari nafkah, sedangkan keluarganya yang menunggu kiriman uang setiap bulan ada di Kediri. Kota Tahu hanya berjarak tiga jam perjalanan, sebulan sekali dia sempatkan untuk pulang menjenguk orang tuanya.

Terlihat beberapa anak kos masih terjaga. Sebagian sibuk main game, sebagian sibuk mengerjakan tugas kampus. Setelah melepas sepatu, Zaid masuk kamar untuk berganti baju. Dia memakai celana pendek dan kaos oblong yang biasa dia gunakan kalau di rumah. Dia pun keluar untuk mengambil handuk yang ada di jemuran.

"Baru pulang, Bang?" sapa Agus salah satu penghuni kos yang tampak sedang bersantai sambil merokok di depan kamarnya.

"Ya, begitulah. Masih belum tidur?", sapa Zaid balik.

"Hahaha, biasalah, Bang. Push rank," kata Agus, "Ini istirahat dulu sebentar. Dapet tim payah mulu."

"Mandi dulu," ucap Zaid. Agus mengangguk sambil meneruskan acara sebatnya. Kamar mandi kos ada di bawah dan biasanya kalau pagi mengantri panjang. Walaupun sudah ada tiga bilik, tetap saja anak-anak kos mengantri. Mana kebiasaan buruk mereka terkadang main game di HP sambil buang air.

Setelah mandi, Zaid kembali ke kamar untuk makan malam. Entah kenapa bakmi yang disantapnya malam itu terasa nikmat. Iseng sambil menyantap makan malamnya dia buka ponselnya untuk melihat CV dari Putri.

Nama lengkap Putri Nirwana Giardi. Lulusan SMK dua tahun yang lalu ternyata. Pekerjaan sebelumnya menjadi admin di sebuah online shop. Pengalaman organisasi hanya menjadi anggota PMR dan Pramuka. Ada juga beberapa sertifikasi. Yang menarik dari CV Putri adalah bagaimana gadis itu bercerita tentang dirinya.

"Nama Saya Putri Nirwana Giardi. Saya berasal dari Sidoarjo, anak pertama dari tiga bersaudara. Ayah saya bekerja sebagai satpam dan ibu saya menjalankan jualan frozen food. Saya seorang pekerja keras dan telah menempuh banyak sertifikasi guna membantu saya mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Tidak mudah untuk jadi anak pertama, tapi saya punya moto tidak akan menyerah. Manusia berusaha dan Tuhan yang akan menentukan."

Seutas senyum membentuk di bibir Zaid. Dia mengamati wajah Putri, cantik. Kalau ditimbang dengan rata-rata wanita yang dia kenal, kecantikan Putri di atas rata-rata. Apa dia masih single?

Setelah menghabiskan makan malamnya, Zaid membuka laptopnya. Mencari tahu tentang Putri. Tak banyak yang dia ketahui selain dua akun sosial media di Facebook ataupun di Instagram. Kebanyakan foto-foto alay gaya anak SMA. Namun, yang jelas Zaid bisa menilai kalau Putri benar-benar cantik, lucu dan secara tak dia sadari, dia mulai tertarik kepada gadis ini.

Dengan sedikit cara tertentu, Zaid berhasil mendapatkan beberapa foto tentang gadis ini. Dia berpikir, "Aku ini freak nggak sih? Macam ngambil-ngambil gambar orang lain tanpa izin?"

"Tapi, itukan di sosmednya. Dipublish pula, berarti seharusnya itu konsumsi umum kan? Ah, sudahlah. Aku mau menyimpannya sendiri," gumamnya.

Cowok jakung ini pun menyimpan beberapa foto milik Putri di laptopnya. Disimpannya foto tersebut di folder rahasia. Padahal juga tidak ada yang akan membuka laptopnya. Setelah itu Zaid merebahkan diri di kasurnya dan terlelap

* * *

Siksaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang