BAB I
BERANJAK
Tiada yang istimewa hari itu,seperti biasa pukul 6 pagi aku sudah siap dengan segala kelengkapan,untuk berangkat sekolah.Hanya saja ayah ku terlihat rapi sekali,begitu mau berangkat sekolah di depan teras,ku lihat ayahku,dengan pakaian yang sudah rapi.pasti ayah mau ke kota(pikirku).maklum desa ku, seperti kabanyakan desa-desa pada umumnya yang identik dengan keterbatasan(katakanlah dari segi industri) semisal pakaian,peralatan rumah tangga, moda transportasi,yang hanya di dapat di kota.Ketergantungan desa akan kebutuhan-kebutuhan industri memang tidak dapat di pungkiri lagi.
Sepeda motor misalnya,yang pada awalnya di desaku merupakan barang mewah ya jika di klasifikasikan masuk dalam kategori kebutuhan tersier,lambat laun seiring hegemoni industri akhirnya sepeda motor di desaku menjadi kebutuhan primer.mau tidak mau,sanggup tidak sanggup,tapi begitulah faktanya di desaku dan desa desa pada umumnya.
Dengan persiapan yang sudah lengkap seraya berpamitan dengan ayah,akupun berangkat ke sekolah,di jalan aku pun langsung berjumpa dengan kawan sekolah,berjalan beriringan,layaknya segerombolan unggas yang akan memasuki kandang. Di gerombalan itu ada yang riang,ada yang tertawa-tawa dengan lelucon, dan ada pula yang sibuk bertanya siapa yang belum selesai tugas sekolah biasalah mencari kawan senasib sepenanggungan.Dan pagi itu aku masuk dalam kelompok yang sedang asik berlelucon sambil tertawa.
Hari itu merupakan hari pertama kami masuk sekolah,setelah sekian lama libur panjang.aku yang sudah duduk di kelas 3 SMA. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat 11 tahun yang lalu tepat pada tahun 1989 ayah mengawani aku yang masih kanak-kanak untuk mendaftar sekolah dasar ya begitulah berdasarkan tahun sudah cukup lama,namun 11 tahun itu serasa baru kemarin.
Aku bernama zainal,anak pertama dari 6 bersaudara,tinggal di belahan dunia terpencil,dalam keluarga sederhana,sebagai anak lelaki pertama,keluargaku sangat berharap kepadaku akan adik adik ku.ayah selalu berpesan kepadaku di waktu waktu senggang ketika kami bercerita-cerita agar kelak ketika ayah dan ibu tiada aku harus bertanggung jawab kepada adik-adik ku,ayah ku memang sudah tua, 68 tahun umurnya.
Sudah 4 tahun belakangan ayahku sakit-sakitan kudengar ayah ku mengidap kanker,dan menurut seorang dokter rumah sakit tempat ayah berobat mengatakan umur ayah ku tidak lama lagi,yang sejak empat tahun terakhir menjadi bayang-bayang yang selalu menghantui ku,kadang aku berkhayal lalu menangis sendiri di kamar ku tempat biasa aku merenung.kala aku sendiri di kamar tidur ku aku memang sering berimajinasi liar,angan-angan dan khayalan tanpa batas, imajinasi memang satu bentuk kemerdekaan setiap insan,yang tak pernah terbelunggu oleh apapun.
1.20 bel sekolah ku pun berbunyi penanda waktunya pulang,dan aku pun secepat kilat,tunggang langgang meninggalkan kelas sedikit berlari tanpa menghiraukan kawan-kawanku selain lapar di perut yang membuat ku ingin segera di rumah,adalah melihat apa yg di bawa ayah sepulang dari kota,karena ayah biasanya membawa barang-barang baru kerumah ketika bepergian ke kota.dua puluh menit waktu yang kuhabiskan diperjalanan untuk sampai di rumah.
Setiba di rumah ku lihat lah barang baru yg di beli ayahku sebuah tiang tinggi menjulang di samping rumah ku tertancap. terakhir ku tahu nama nya antena.yang membuat ku bingung dan kecewa akan barang yang di beli ayahku karena aku pikir apa gunanya sebuah besi panjang,bukankah begitu banyak bambu-bambu diladang yang tak kalah panjang dengan tiang besi itu.
Tak berapa lama pikiran ku tentang tiang tak berguna itu pun terbantahkan ternyata tiang(antena) yang di bawa ayahku itu adalah alat pembuat sinyal untuk benda yang di sebut telephone sebuah alat komunikasi suara yang membuat orang dapat terhubung meski berjauhan bukan main riang nya hati ku saat itu,di tambah lagi ayahku membeli sebuah mesin yang dapat yang menghasilkan listrik yang dapat menghidupkan benda benda kuning yng di beri nama lampu.
Kecanggihan alat-alat yang dibawa ayahku dari kota membuat ku merasa sial hidup tinggal di belahan dunia terpencil yang aku sebut,kami sebut desa. Alangkah hebatnya kota, gumam ku dalam hati.
Beberapa petuah,nasehat dari keluarga telah terhimpun dengan hikmat di dalam kepala,dan beberapa prosesi kultural seperti upah-upah telah dilaksanakan,berpamitan dengan keluarga, kota medan harus ku taklukkan gumam ku dalam hati.Diperjalanan mengendarai sepeda motor ayah memboncengku mengantar ke simpang jalinsum(jalan lintas sumatera) di sepanjang perjalanan aku seperti menghayati setiap apapun yang kulihat baik itu kebun karet maupun kebun sawit terasa semacam rasa sedih menyelimuti hati karena harus berpisah dengan kampung halaman.
Akhirnya aku masuk perguruan tinggi aku akan menantang hebat nya kota dengan segala fasilitas lengkapnya serta jangan lupa kesombongan dan kepongahannya.sekitar jam 4 sore akhirnya aku sampai di medan dengan sigap setelah bus yang ku tumpangi parkir di loket akupun menaiki angkot(angkutan kota) menuju kos kosan.
Kos kosan sudah ada jauh sebelum aku masuk kuliah aku dan ayah mencari di sekitaran yang dekat dengan kampusku setiba di kos aku merapikan semua barang- barangku dan tidak sabaran akan segera kuliah dan berstatus mahasiswa
Akhirnya aku menemukan teman baru namanya fariz teman satu kelompok dalam ospek yang akhirnya menjadi teman akrabku sampai tamat kuliah bakan sampai usia senja,satu waktu aku nongkrong di depan kampus bersama fariz dan teman teman lainnya sambil merokokok dengan santai menikmati waktu senggang ketika tidak ada mata kuliah waktu itu si fariz kebetulan tidak ada rokok ,rokok ku pun tinggal satu ketika dia minta santingan(kongsi rokok) ku bilang aku pemakai narkoba lantas dia tidak mau santingan rokok dengan ku padahal aku berbohong kalau aku pemakai narkoba ya begitulah sekelumit candaaan kami.
Hari-hari awal ku di kampus ku jalani dengan riang gembira berbagai kegiatan kampus seperti organisasi kampus pun kuikuti , berkenalan dengan teman baru serta berteman dengan orang –orang dengan latar belakang berbeda namun ada satu hal yang mengganggu pikiranku bahwa terjadi dikotomi pertemanan antar berbagai kalangan tapi yang menarik perhatian ku dalah adanya pembeda antar anak desa dan anak kota juga antara si hedonis dan juga ya katakanlah proletar.
Yang kaya cenderung akan berteman dengan yang kaya dan si miskin pun teman nya dari kalangan miskin si anak desa sepertiku berteman dengan anak desa, nyatanya sekat-sekat sosial kita masih terbelenggu oleh klaster yang demikian.yang seharusnya menjadi refleksi nilai pancasila yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia,bukankah si anak desa ataupun si miskin juga merupakan bagian dari rakyat indonesia?
Katanya kota hebat satu contoh dengan fasilitas gedung- gedung mewahnya namun akan terasa kontras dengan realitas sosial yang ada, dimana aku melihat kemiskinan dimana- mana di jalanan kota medan pengemis bertebaran,pernah sekali aku baca berita bahwa berdasarkan survei yang dilakukan pemerintah angka kemiskinan kita sudah berkurang drastis dalam hatiku yang disampaikan pemerintah hanyalah bualan semata yang ada di kepalanya angka kemiskinan yang bahkan kebenaran datanya kuragukan atas realitas sosial yang ku temui.
Berapa banyak generasi muda yang harus putus sekolah karena tidak sanggup membayar biaya nya yang mahal berapa banyak yang untuk sekedar makan pun tak bisa karena tidak adanya uang disebabkan pengangguran,jumlah sekolah dan gedungnya yang mumpuni di kota nayatanya tak mampu menampung semua anak bangsa yang membutuhkannya,lapangan pekerjaan yang katanya banyak di kota ini nyatanya tak mampu menyerap seluruh masyarakatnya untuk menjadi tenaga kerja. Di desaku lapangan pekerjaan tak sebanyak kota namun tenaga kerja nya selalu kurang jika di buat perbandingan sebenarnya desa lebih mampu mengakomodir dan menyerap jumlah tenaga kerja namun yang aku bingung kenapa orang-orang berlomba ingin ke kota apakah orang desa keranjingan atas sombong dan pongahnya kota? Entahlah.
Berapa banyak sarjana muda yang luntang- lantung tebar lamaran kesana kemari tak kunjung di terima di suatu pekerjaan apapun seperti lagu iwan fals saja yang berjudul sarjana muda,sesekali aku berpikir tentang kemandirian pangan, pernah di desa karena tidak adanya uang ibu mengambil sayuran di ladang dan juga ayah menangkap ikan di sungai untuk kemudian menjadikannya lauk untuk kami makan dari situ aku berpikir bahwa uang bukan segalanya uang menjadi kebutuhan yang manipulatif pikirku.
Sore waktu itu aku fariz dan teman kampus lainnya bermain futsal tanding antar kelas menjadi semacam rutinitas kami dan untuk menjadi ajang menjalin pertemanan dengan kelas lain namun tak jarang juga berujung perkelahian,maklum darah muda, sore itu ada irwansyah yang hampir berkelahi karena ia terjatuh di buat pemain lawan.lantas terjadi perkelahian yang lebih besar layaknya mau tawuran disini juga kemudian terlihat irwansyah ketakutan karena lawan kami bermain futsal dan yang berkelahi dengan irwansyah ada lah anak konglomerat dan akhirnya team kami di ciutkan karena tau lawan kami ternyata salah satu anak konglomerat karena sewaktu-waktu kami bisa di pukul oleh suruhan bapaknya, teringat kata almarhum kasino emang anak orang kaya gaya nya suka tengil kaya duit bapaknya halal aja.
Irwansyah di pukuli hingga babak belur dan kami tidak bisa berbuat apa-apa setelah pengawal bapak si fauzul (anak konglomerat) ikut berkelahi dengan kami.kemudian kami membawa irwansyah ke rumah sakit dengan kondisi yang memprihatinkan,seminggu setelah kejadian kami kuliah lagi seperti biasa namun ada semacam traumatis bagiku juga bagi fariz irwansyah jika melihat orang sejenis fauzul(orang kaya) equality before the law merupakan asas hukum yang tak kami terima ketika berhadapan dengan si fauzul karena jangankan melaporkan permasalahannya dengan pihak berwajib, membahas kejadiannya sesama kami saja kami takut sebab pengawal yang berkelahi dengan kami merupakan salah satu oknum polisi merupakan salah satu aparat penegak hukum.fauzul dengan santai kembali berkuliah seperti biasa tanpa ada rasa bersalah sedikitpun kepada kami padahal irwansyah hampir meninggal di aniaya olehnya.lagi-lagi ketidak adilan atas impunitas orang-orang kaya di negeri ini di pertontonkan di hadapanku para praktisi hukum seperti di berita berita tv bukan menegakkan keadilan malah memperdagangkannya yang kaya dan berkuasa cenderung melenggang bebas dengan segudang hak dan minimnya tanggung jawab mereka fasilitas dan pelayananan orang kaya dan penguasa menjadi prioritas sedang si miskin selalu tertindas hanya bermodalkan identitas warga negara indonesia tanpa identitas sebagai orang kaya dan orang berkuasa keadilan hanya akan menjadi dongeng bagimu di negeri ini.