Bab 1

114 7 2
                                    

"Berarti Mas Sadewo GGM ya, Tan? Ganteng-ganteng Menduda," bisikku pada Intan, saat lelaki penghuni rumah sebelah  tengah menikmati secangkir minuman di teras.

"Kalau dibikin judul FTV, paling pas kaya gini, Mbak, Mendudakan Suami Demi Duda." Adikku ini memang paling antusias kalau diajak ghibah tentang cogan-cogan.

Aku jarang mendengar kasus seperti yang dialami Mas Dewo. Kalau menjandakan istri demi janda lain barulah sering berseliweran di aplikasi Tokotok. Entah untuk kepentingan konten atau nyata aku malas bertanya. Biar sesat di jalan gak papa, yang penting gak tersesat menuju hatimu. Ehem!

"Maksudnya ... Mbak Ratri berselingkuh?"

"Kata Budhe Marni sih, gitu."

Budhe Marni adalah mantan Mama mertua Mbak Ratri yang pernah melahirkan seorang putra bernama Bagus Sadewo.

"Kasihan."

"Sebelum kasihan sama orang lain, kasihani diri sendiri dulu, Mbak."

"Maksudmu?"

"Kaya kasus situ gak memprihatinkan aja."

"Iya, ya. Mbak lupa."

Lupa kalau nasibku tak kalah mengsedihkan. Batal menikah menjelang akad karena calon mempelai pria ternyata masih sah menjadi suami orang.

Mengenaskan!

Pesan untuk kalian, Wahai para wanita single. Jangan mudah percaya dengan status 'Belum Kawin' yang tertera di KTP. Karena data sepenting apapun bisa dimanipulasi demi kepentingan tertentu. Contohnya seperti Mas Burhan sang Penipu itu. Lelaki perantau yang mengaku single, gak tahunya malah dobel. Meninggalkan istri sah di kampung dan mencari wanita lain di tanah rantau. Kemaruk!

Sudahlah! Aku memutuskan pulang bukan untuk meratap tapi untuk menyembuhkan luka. Kapok. Serius!

Aku ingin move on dengan memulai kehidupan baru di sini. Di tanah kelahiran. Lucu, dulu pernah nekat melanglang buana ke luar pulau karena ingin move on dari seseorang. Dan sekarang kembali dengan kasus yang sama. Pergi terluka, pulang membawa luka.

Mas Dewo--lelaki yang kami bicarakan masih duduk di tempatnya. Mengusap-usap layar ponsel tanpa menyadari jika dari jarak beberapa meter ada yang diam-diam mencuri pandang, sekilas. Serius, hanya  sekilas.

"Jadi Mas Dewo pindah ke sebelah lagi, Tan?" Aku meneruskan update info terbaru tentang tetangga sekitar karena baru seminggu pulang kampung.

"Cieee, kepo juga."

"Yawes gak jadi tanya."

"Iya, iya, baperan. Kata Budhe Marni sih,  rumah Mas Dewo dijual terus hasilnya dibagi dua sesuai kesepakatan sama Mbak Ratri. Makanya dia pindah ke sini lagi."

Rumah sebelah adalah rumah lawas milik  Budhe Marni sebelum beliau pindah ke Kediri. Rumah sederhana yang banyak merekam kenangan-kenangan silam.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu, di halaman yang ditumbuhi satu pohon mangga sebagai peneduh. Tempat di mana Ayu kecil bermain-main bersama teman sebaya.  Permainan sederhana semacam petak umpet, lompat tali karet atau rumah-rumahan.

Termasuk rumah tangga ala-ala.

.

"Sakti, kamu jadi Bapak anaknya Ayu, ya!" Dewi membagi peran, sambil menimang-nimang  boneka plastik berambut pirang ala noni-noni Belanda yang berperan jadi anak bohongan.

Sakti--bocah lelaki dekil dan ingusan itu pringas-pringis memamerkan gigi depannya yang ompong dua. Sedangkan Intan kecil cuma jadi anak bawang yang suka ikut-ikutan. Paling sering jadi tukang rusuh dan tukang nyimak. Maunya kutinggal saja di rumah biar anteng. Namun resikonya aku harus siap mendapatkan tabokan sendal dari Ibuk karena gak mau momong adiknya.

"Gak mau, aku gak mau Sakti jadi Bapaknya." Aku menolak dengan sombongnya.

"Terus maunya sama siapa, dong? Agus kan udah jadi bapaknya anak aku." Dewi menggandeng bocah pendiam yang manut-manut saja disuruh berperan jadi apapun.

"Aku maunya sama Mas Dewo aja." Aku menunjuk remaja berseragam SMA yang baru melintas masuk halaman dengan mengendarai sepeda motor.

"Mas Dewo! Main, yuk!" teriak Dewi.

Mas Dewo yang baru melepaskan helm  menggelengkan kepala, cuek. Dia melenggang masuk begitu saja tanpa memedulikan perasaanku sebagai bocil.

Aku menundukkan kepala, kecewa dan berujung menangis karena suami idaman menolak. Sakti yang tak peka dengan kegalauan hati ini malah sibuk jahilin Intan. Mungkin dalam hatinya mengumpat. Sukurin! Siapa suruh gak pilih aku.

"Udah jangan nangis, nanti anak kamu ikutan nangis, loh. Kasihan!" Dewi mengelus boneka bayi berkepala botak di pangkuanku, bayi yang belum jelas siapa bapaknya nanti. 

"Ya udah, kalau gitu kamu sama Agus aja, gimana?" Bestie kecilku kasih solusi dengan mengalah dan rela berbagi suami.

"Eh, ada apa ini kok Ayu nangis? Kalau mainan gak boleh kelahi loh, ya!" Budhe Marni sampai keluar rumah mendengar aku menangis.

"Enggak kelahi kok, Budhe. Kita lagi main anak-anakan," terang Dewi.

"Anak-anakan?" Wanita dengan tatanan rambut cepol itu mengernyit.

Aku dan Dewi saling lirik dan tersenyum malu-malu bingung mau jawab permainan apa. Anak-anakan? Bapak-bapakan? Atau Ibu-ibuan? Mungkin waktu itu pun kami masih bingung kenapa di dunia ini ada sosok ayah, ibu dan juga anak. Tanpa berpikir jauh  bagaimana permulaannya. Hanya menjadikan orang tua dan keluarga sendiri  sebagai role model.

"Iya, ini anaknya Dewi dan ini anaknya Ayu." Agus yang sedari tadi diam, akhirnya membuka suara seraya menunjukkan boneka-boneka kami.

"Oh, jadi begitu maksudnya?" Budhe Marni terpingkal-pingkal hingga bahunya yang tebal sedikit berguncang. "Lalu, kenapa Ayu menangis?" lanjut beliau, sembari  mengendalikan tawa.

"Ayu ngajak Mas Dewo main, tapi Mas Dewonya gak mau." Dengan polosnya aku mencurahkan isi hati ini.

"Oalah begitu ceritanya. Sebentar, ya! Coba budhe panggilkan Masmu." Budhe Marni menoleh ke pintu rumah. "Dewo!" panggilnya pada sang anak.

"Iya, Buk!" Tak butuh waktu lama, remaja yang sudah mengganti seragam sekolah dengan pakaian rumahan itu muncul di teras.

"Sini sebentar!"

Dengan langkah yang dipaksakan, Mas Dewo merapat ke base camp kami. 

"Ada apa, Buk?"

"Mereka kepengin main sama kamu."

"Dewo kan sudah besar, Buk. Masa iya main sama anak-anak." Pemilik jerawat yang tumbuh di pipi kiri itu gusar luar biasa.

"Halah, cuma sebentar aja, biar mereka senang. Biar kamu tahu bagaimana rasanya punya adik." For your information, Mas Dewo ini bungsu dari tiga bersaudara.

"Emangnya kalian lagi main apa?" Walaupun kelihatan enggan, tetapi Mas Dewo sedikit  melunak.

"Mas Dewo mau, ya, jadi Bapak anaknya Ayu!"

.

Aaaargh!

Aku memukul pelan kepala dengan kedua tangan. Kenapa yang diingat harus di bagian itu?

"Bocah SD gak beradab memang!" Aku mengutuk diri sendiri, malu dengan Ayu kecil. 

"Kenapa, Mbak?"

Intonasi Intan sedikit naik setengah oktaf dan sepertinya suara cempreng itu terdengar hingga teras rumah sebelah. Mas Dewo menoleh tepat saat aku juga tengah menolehnya.

Bertemu, deh, mata kita.

Jangan-jangan dia ingat kalau waktu kecil pernah jadi suamiku.

Tidaaak!

Bersambung

Duda Lima Langkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang