Bab 8

38 4 0
                                    


Aku pulang dan mereka masih menunggu. Bapak memijit kepala di ujung sofa, sedangkan Ibuk dan Intan saling berangkulan. Terselip sebuah penyesalan sudah membuat keluargaku sekhawatir ini.

"Mbak!" Intan bangkit berdiri dan memelukku. Tangisnya pecah lagi.

"Mbak gak papa, Tan." Aku menepuk pundaknya. "Bapak sama Ibuk juga istirahat aja," ucapku lagi.

Dua orang di sana mengangguk dan menatap satu sama lain sebelum akhirnya masuk kamar. Mungkin pembicaraan tentangku akan berlanjut di sana, berdua saja. Tidak ada yang berani mengajakku membahas persoalan tadi. Mungkin takut atau sengaja ditahan sampai perasaanku membaik.

"Intan tidur sama Mbak, ya."

"Mbak masih perlu menyendiri."

"Tapi--"

"Tan, tolong ngertiin, Mbak." Dia memang manja dan pecicilan, tapi saat aku galau dia akan maju paling depan untuk berbagi kekuatan.

"Ya, udah. Tapi kalau ada apa-apa panggil aku, ya!"

"He'eum."

Aku tidak jadi masuk ke kamar, tapi melangkah ke ruangan lain. Sebuah ruangan  berukuran lebih kecil dari kamar lainnya. Dulu, jauh sebelum rumah direnovasi, Ayu kecil yang menempatinya. Sekarang beralih fungsi jadi tempat menaruh pakaian-pakaian kering yang belum dilipat atau disetrika.

Ada jendela kaca yang terhubung dengan view gang kecil dan tembok rumah Budhe Marni. Aku membuka tirai lebar-lebar, seperti yang kulakukan dulu jika ingin melihat bintang-bintang kemudian menghitungnya. Sayangnya, kerlip-kerlip itu tertutup oleh mendung pekat.

Mataku beralih ke arah lain, pada salah satu  jendela rumah sebelah yang baru saja dibuka oleh seseorang. Lampu yang terang memperjelas siapa yang tengah kulihat sekarang. Sebuah kebetulan yang sama sekali tidak direncanakan. Dan kami sedikit terkejut satu sama lain ketika akhirnya bertemu pandang.

Mas Dewo!

Untuk beberapa saat kami sama-sama  memaku dalam situasi yang membingungkan. Tanpa senyum, tanpa tahu harus memasang ekspresi yang bagaimana. Sebelum akhirnya aku melihat pergerakan Mas Dewo mengambil ponsel dari saku celana lantas sibuk mengusap-usap layarnya.

Aku menarik tirai hingga sempurna menutupi kaca. Kemudian berbalik dan meluruh ke lantai dengan perasaan entah. Apa pantas rasa ini disebut kecewa?

Jika berharap pada manusia itu seperti patah hati yang disengaja. Aku tidak mau mengulanginya. Jika pertemuan ini akan berujung pada hasil akhir yang sama seperti enam tahun lalu, aku tidak mau jatuh cinta untuk kedua kalinya.

Namun bagaimana ini? Aku takut tunas kecil itu akan terus bersemi dan tumbuh. Sedangkan lelaki di sana sepertinya ingin  memasang sekat.

Bukankah kami memiliki kesamaan? Sama-sama sedang terluka. Bedanya, aku mati-matian ingin segera terlepas dari semua hal yang menyiksa. Sedangkan dia masih menikmati keterpurukannya. Jika Mas Dewo sedalam itu merasakan sakit, aku gak bisa mengukur dan mengira-ngira sedalam apa cintanya pada Mbak Ratri.

Ponselku berdering. Mas Dewo memanggil ...

Aku membulatkan mata dan memastikan sekali lagi nama kontak di layar. Memang tidak salah.

Ikon hijau kuusap dengan ragu-ragu. "Hallo, Mas!"

"Belum tidur, Yu?"

"Belum, Mas."

"Terus, kenapa tirainya ditutup?"

"Hah!"

Aku mengusap kedua mata dengan ujung lengan kaus. Lalu membuka kembali tirai yang menutup jendela. Kupikir Mas Dewo hanya ingin mencari udara segar. Aku takut mengusiknya, takut mengganggu pemandangan. Untuk itu aku menghindar.

Duda Lima Langkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang