This is my first short story. Maaf kalau ga bagus-bagus amat yaa, dan tolong kalau ada salah dipenulisannya, mohon dikoreksii!! enjoy<3
-dyajanne-
***
Ditatapnya cakrawala yang nampak seperti emas yang mengalir. Angin yang berhembus lembut, menyapu wajah dengan ramahnya, seolah dapat menyita letih. Hatinya menjadi tenang bagai ombak pantai di musim panas.
Sagara Biru namanya. Remaja yang tak pernah tak mengusahakan. Layaknya pohon beringin yang tumbuh dengan tegapnya, ia akan selalu menjadi tempat berteduh bagi orang lain. Tidak ada yang tak mungkin terjadi. Sebatang pohon yang tampak kuat dan tegap juga dapat mati serta tumbang.
Asanya adalah menjadi seorang komponis. Sejak ia masih gemar menghisap jari, musik telah menjadi ketertarikannya. Tanpa pernah abai akan kewajiban, ia selalu berlatih. Tiada hari tanpa cahaya rembulan dan kerlip bintang yang indah ia lewati tanpa berlatih.
Barang kali jemari itu lelah menekan kunci setiap hari. Atau barangkali suaranya akan lenyap suatu saat nanti. Namun jika saat itu tiba, Biru meyakini dirinya, bahwa asanya takkan pernah mati. Bagai ukiran yang dilukis diatas batu, asanya akan hidup abadi selamanya.
Usia Biru baru hanya 18 tahun. Namun pundaknya telah mengemban begitu banyaknya tuntutan. Biru lelah, namun ia tak dapat berhenti. Jika ia melepas segalanya. di mana adik-adiknya akan berteduh? Dimana bundanya akan bersandar?
Di usia seperti ini, remaja sebayanya mencipta asa setinggi langit untuk diwujudkan. Biru juga ingin. Ingin sekali asanya wujud. Ingin sekali letihnya terbayar dengan teraihnya asa biru. Ia sangat ingin membuat adik-adiknya bangga. Ingin sekali asanya diwujudkan agar bundanya tak perlu menjual nasi bungkus keliling lagi. Sangat banyak 'ingin'nya biru yang ingin ia raih.
Namun, seperti penggalan lirik lagu "Sea" oleh Beyond The Scene, "Where there is hope, there is always hardsip". Di mana ada harapan, senantiasa ditemukan kesulitan. Di setiap langkahnya, di setiap hirup napasnya, dan di setiap malam yang akan ia lewati.
Biru bukanlah anak dari keluarga berada. Untuk bayar listrik pekan depan saja masih bingung cara mengusahakannya. Mungkin biru terlalu banyak menaruh asa pada langit. Mungkin biru tak tahu diri karena asanya yang setinggi langit, sementara keluarganya masih bingung akan makan apa mereka di hari esok. Namun, yang mungkin tidak biru miliki adalah kata menyerah.
***
Diketuknya beberapa kali pintu kayu rapuh yang tua itu. Berharap dibukakan dan memang akan begitu. Lalu munculah sang ibunda setelah beberapa waktu. Tidak ada percakapan di antara mereka. Ingin sekali mendengar sapaan "Kamu lelah, nak?" dari bunda namun mungkin bunda terlalu canggung entah malu.
Tanpa ada basa-basi, Biru melepas sepatu kazoot usang miliknya dan menyandarkan gitarnya pada tembok. Raga ini begitu lelah. Lelah itu lalu perlahan hilang saat adiknya, Jingga menyapa, "Kakak, ingin teh hangat?" ucapnya sambil meraih tangan kiri sang kakak yang tingginya jauh di atas dirinya.
Menunduknya sedikit kepala biru untuk mencium dahi Jingga. Melebarnya senyumnya saat adiknya tahu bahwa ia lelah seharian.
"Kakak jadi senang karena melihat Jingga," diusapnya kepala adiknya, "PR Jingga sudah selesai?" sambungnya. Jingga tertawa cekikikan. Begitu dinikmatinya usapan sang kakak pada dirinya. "Kakak seperti langsung tahu kalau PR jingga belum jadi," sahutnya sambil tersenyum.
Gemas sekali saat melihat senyum itu mengembang. Matanya hilang seperti bulan sabit dan pipinya mengembang bagaikan roti. Dicubitnya kedua pipi Jingga oleh Biru, "Kamu ini terlalu mudah untuk ku tebak, Jingga." ejeknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asa Yang Tak Pernah Mati [SHORT STORY]
Short StoryBarang kali jemari itu lelah menekan kunci setiap hari. Atau barangkali suaranya akan lenyap suatu saat nanti. Namun jika saat itu tiba, Biru meyakini dirinya, bahwa asanya takkan pernah mati. Bagai ukiran yang dilukis diatas batu, asanya akan hidup...