Selama hampir dua semester berada di jurusan yang Jefan pilih, entah kenapa akhir-akhir ini dia merasa keputusan yang dia ambil salah. Jurusan ini sepertinya tidak cocok untuknya. Segala hal tentang perkuliahan terasa sangat berat dan sulit buat dia jalani. Materinya yang sulit untuk dipahami, tugasnya yang tiada henti, laporan praktikum yang menggunung dan ujian yang bikin pusing tujuh keliling. Hal itu membuat Jefan stress karena seberapa keras dia berusaha, dia belum pernah mendapatkan hasil yang bisa membuatnya puas. Hasil yang dia dapatkan nggak sebagus teman-temannya.
Apa masuk jurusan ini adalah pilihan yang salah? Jefan sulit buat memahami segala hal yang dia pelajari hingga saat ini. Situasi makin sulit ketika sampai saat ini dia belum memiliki teman yang benar-benar dekat dengannya. Hanya sekedar tahu namanya tapi tak ada yang sungguh dikenalnya. Jefan bukan anti sosial, tapi dia terlalu malu dan tidak cukup percaya diri untuk memulai sebuah pertemanan. Jefan takut dikhianati, takut terluka dan takut ditinggalkan. Dia nggak merasa pantas untuk menjadi teman siapapun. Dia seolah tidak memiliki kekuatan bahkan hanya untuk menyapa teman yang berpapasan dengan dirinya. Selagi bisa menghindar, Jefan akan mencari jalan lain agar tidak bertemu dengan orang yang dia kenal. Jefan juga ingin punya teman, tapi entah kenapa di dalam dirinya kayak ada sesuatu yang memerangkap diri dia. Seolah dia terjerat dan nggak bisa keluar. Dia juga merasa sesak. Jiwanya seperti terkungkung dalam lorong tak bertepi. Sepi dan gelap.
Minggu pagi yang cerah ini, Jefan rela bangun pagi demi mengerjakan laporan praktikum tentang Fisiologi Pohon.
"Rajin banget, Fan. Pagi-pagi gini udah ngerjain tugas aja. Mbok ngopi-ngopi sek lho." Suara medok dari Bang Migel menginterupsinya saat ia baru saja akan mulai menggambar fisiologi dari pohon gaharu.
"Aa iya Bang nanti. Mau ngejar deadline laporan dulu." Jefan melanjutkan gambar-menggambarnya yang justru bukan berbentuk pohon gaharu tapi malah seperti pohon yang mau tumbang. Sedangkan Migel, berjalan ke teras depan sambil membawa kopi buatannya dan berniat menghabiskan sedikit minggu paginya untuk membaca buku yang baru kemarin dia beli.
"Bang Migel!!"
Migel menghela nafas, baru saja dia membuka halaman pertama. Tapi, suara cempreng Helmi dari dalam kontrakan mengganggu kegiatannya pagi ini.
"Bocah kui meh ngopo meneh, ya Allah. Tulunglah. Aku gur pengen menikmati minggu pagiku thik susah banget." Migel komat-kamit dan sudah wanti-wanti akan ada drama atau keributan macam apalagi hari ini.
"Ana apa?"
"Bang, gue boleh pinjem kemeja lu yang dua hari lalu pernah lu pake itu?"
"Buat apa?"
"Buat ngelap motor gue boleh bang?"
"Heh!"
"Ya buat gue pakelah Bang, Ya Allah. Boleh ya Bang, ehehehehe." Helmi menaik-turunkan kedua alisnya. Tak lupa juga dengan gestur tubuhnya yang diimut-imutin.
"Baru gue jemur tuh di belakang. Ambil aja sana. Tapi, jangan lupa dibalikin. Dalam keadaan bersih. Tanpa kurang suatu apapun!"
"Oke abang sayang. Makasih yaaaa. Lopyu sekebon Abang Migel." Ucap Helmi dilanjutkan dengan mengecup sekilas pipi sebelah kanan Migel kemudian lari tunggang langgang ke belakang sebelum mukanya disiram kopi panas oleh Migel.
"Helem anjing!!! Awas kowe yo!!!"
"Bang Migel, tolong bukain pintu gerbangnya dong!"
Migel hampir saja melemparkan bukunya kepada Helmi kalau saja Janu dan Cetta yang baru saja pulang dari pasar tidak memanggilnya dari depan kontrakan. Sepertinya mereka belanja terlalu banyak sampai-sampai buka gerbang saja tidak bisa.
Sambil mengelap bekas cipokan Helmi di pipi kanannya, Migel berjalan ke depan kontrakan untuk membuka gerbang. "Hilang sudah rencanaku untuk menikmati minggu pagi ini", ucap Migel begitu melihat Cetta yang duduk di belakang Janu dengan membawa satu kantong ikan nila di tangan kanannya dan satu kantong kresek besar berisi sayur-sayuran. Di bagian depan, ada kantong kresek hitam yang bergerak-gerak. Migel tidak tahu apa itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kontrakan Dream
FanficKontrakan dream emang cuma sebuah bangunan lantai dua yang disewakan Pak Bambang. Tapi, di tempat itulah anak dream memiliki rumah untuk pulang.