Part 1

33 0 0
                                    

Setiap manusia pasti mempunyai cita-cita, sedangkan untuk mencapainya membutuhkan sebuah perjuangan atau usaha yang tidak mudah  Hal ini lah yang dirasakan oleh Naila, dimana ia ingin sekali menjadi penulis, namun kedua orang tuanya menentangnya.
“Intinya mama sama papa tidaksetuju kalau kamu jadi penulis Naila! Memangnya hanya dengan menulis bisa menjamin kamu akan sukses?!” tanya sang papa yang kini tengah berdiri di depan putrinya dengan tatapan mata yang tajam sedangkan Naila hanya mampu menunduk sambil menahan isak tangisnya.
“Kamu pilih … mengikuti kata-kata papa atau koleksi novel-novel kamu akan dibakar? “
Seketika Naila mendongak, terkejut saat mendengar kalimat yang cukup menyakitkan baginya. Disamping itu, ia juga tidak tahu harus menjawab.
“Diam berarti papa anggap kamu lebih memilih novel-novel itu,” ucap papa sambil berjalan masuk ke kamar sang putri dan mengambil beberapa novel, kemudian membawa nya keluar rumah dan naila sudah tahu apa yang terjadi selanjutnya sebab kini tercium bau asap.
Sedih. Marah. Kecewa. Semuanya menjadi satu. Sebegitu susahkah ia dalam menggapai impiannya ??? Naila akhirnya memilih untuk masuk ke kamarnya dan menutupnya kemudian melihat ke arah rak buku yang sudah kosong, padahal itu adalah tempatnya menyimpan semua novel favoritnya.
Rasanya ia ingin sekali menangis tapi itu tak dapat mengubah keadaan hingga hal yang bisa dilakukannya hanyalah berbaring sambil menatap langit-langit kamar dan lama-kelamaan rasa mengantuk mulai menyerang, sehingga ia pun tertidur dengan air mata yang tak sengaja menetes dari ujung matanya.
                                

********

Keesokan harinya, Naila terbangun dan langsung segera bersiap-siap untuk berangkat sekolah meskipun rasaya sangat malas. Setelah selesai, ia keluar dari kamarnya kemudian berjalan ke arah meja makan. Di sana sudah ada kedua orangtuanya, dirinya duduk dan langsung memakan roti selai yang sudah disiapkan oleh mamanya. Rasanya sangat canggung akibat kejadian kemarin, akhirnya dengan sedikit keberanian ia mulai mengucapkan sebuah kata yang sebenarnya sangat tidak diinginkannya.
“Maafin Naila ya Pa karena tidak mau menuruti keinginan Papa. Kalau begitu mulai sekarang Naila akan ikutin semua kata-kata Papa, “ ucapnya
“ Maafin papa juga karena udah terlalu keras sama kamu kemarin, terus dengar kamu yang mau menuruti kemauan Papa rasanya senang sekali. Terimakasih ya, kamu memang anak kesayangan papa, “ jawab ayahnya sambil tersenyum
Melihat bagaimana ekspresi sang papa yang begitu bahagia membuat Naila semakin sedih, sebenarnya apa alasan papa nya begitu tidak menyukai cita-citanya menjadi seorang penulis ?? Entahlah, memikirkan hal itu lagi membuat nya ingin menangis.
Setelah mengakui kesalahannya, Naila langsung berpamitan kepada kedua orangtuanya untuk berangkat sekolah.                                

*******

Sesampainya, ia sama sekali tak bersemangat. Tapi dirinya harus bisa mengesampingkan masalah nya saat di sekolah. Akhirnya ia pun berusaha untuk tersenyum meskipun sulit, namun sepertinya usahanya gagal ketika tiba-tiba sahabat laki-lakinya berjalan menghampirinya, sebab setiap kali menghadapi masalah kemudian melihat Revan sahabatnya entah mengapa ia ingin sekali menumpahkan kesedihannya.
“ Hai La, kenapa mukanya lesu gitu?” tanya Revan merasa ada yang aneh dari raut wajah Naila.
Matanya seketika berkaca-kaca, sementara Revan yang mellihatnya langsung tahu pasti ada yang tidak beres.
“Coba ceritakan ada masalah apa? Akan aku dengarkan, “ jawabnya.
Namun gadis itu tetap diam sambil menggelengkan kepalanya pelan. Akhirnya mau tak mau Revan menggenggam tangan Naila untuk mengajaknya ke suatu tempat.

********

Kini keduanya berada di taman belakang sekolah dengan suasana yang begitu sepi. Revan sengaja membawanya ke tempat seperti ini agar Naila dapat meluapkan seluruh kesedihannya. Karena ini bukan pertama kalinya bagi mereka, Revan sudah sering menjadi buku diary gadis itu.
“Sekarang kamu boleh cerita apa pun.”
Namun yang didapatinya justru kini Naila menangis tanpa mengeluarkan sepatah kata. Tapi dengan melihatnya cukup membuat Revan paham bahwa masalah yang dihadapi sahabatnya bukanlah sesuatu yang sederhana.
“A … ayah … melarang ku menjadi pe ... penulis … dan … se … semua … novel ku dibakar.”
Revan hanya diam dan menunggu sampai Naila berhenti menangis, karena jika ia bertanya lebih jauh lagi maka akan semakin memperburuk keadaan.
“Pasti semua orangtua mengharapkan yang terbaik untuk anaknya La, makanya ayah kamu bersikap seperti itu, “ balasnya
“Terbaik? Mungkin bagi ayah iya … tapi aku? Enggak! Menjadi penulis adalah mimpi aku dari SMP van, “ jawab Naila masih dengan air mata yang mengalir.
“Terus apa yang akan kamu lakukan sekarang ? Menyerah begitu aja ? “ tanya Revan sengaja, sebab dirinya ingin melihat seberapa serius Naila dalam memperjuangkan impiannya.
Namun sahabatnya hanya diam, yang justru membuatnya gemas
“Kamu harus bangkit La, buktikan ke orangtua kamu kalau dengan menjadi penulis bisa membuat sukses. “
“Gimana caranya? Ayah udah membakar semua koleksi novelku, padahal dengan aku membacanya itu membuat aku mendapatkan ide untuk menulis cerita, “ jawab Naila yang sampai sekarang masih dalam kondisi setengah menangis.
“Kalau gitu, akau yang akan membelikannya lagi, bahkan kalau kamu ingin membelinya sendiri, aku siap untuk mengantarnya, “ tutur Revan yang seketika membuat tangisan Naila sedikit mereda
“Tapi sampai ayah lihat aku beli novel lagi, pasti akhirnya akan sama aja Van. “
“Kamu enggak perlu membacanya di rumah, kamu bisa bawa novelnya ke sekolah dan kalau kamu berpikir itu tidak akan berhasil karena kondisi kelas yang berisik, aku bisa kok ajak kamu ke taman belakang sekolah ini supaya kamu bisa membaca dengan tenang,” jelasnya tapi terdengar nada keseriusan dalam kalimatnya
“Lalu kalau kamu bosan? “ tanya Naila
“Aku bisa mengerjakan tugas sekolah, bermain game, tidur atau mungkin mendengarkan musik. Oh iya bahkan aku bisa ajak kamu ke tempat lain. Tapi tenang aja, tempatnya pasti sepi. Jadi kamu ga perlu khawatir. “
Naila tidak tahu kenapa Revan sampai ingin melakukan hal itu. Bersikap seolah-olah ia ingin berperan penting dalam hidupnya.
“Tapi kenapa kamu mau melakukan itu semua Van?” tanyanya penasaran akan alasan sahabatnya
“Agar kamu tidak seperti ku. Impianku adalah menjadi pelukis yang bisa menghasilkan berbagai lukisan indah, tapi seluruh anggota keluargaku melarangnya, mereka ingin aku menjadi dokter, karena dokter adalah impian ayahku yang tidak terwujud. Jadi mereka ingin anaknya yang mewujudkannya,“ jawabnya yang terdengar sedih tapi dirinya berusaha menutupinya
“Aku cuma enggak mau kamu mengalami hal yang sama, cukup aku aja, “ ujarnya lagi
Bolehkah Naila merasa bahagia sekarang? Ia pikir Revan hanya akan memberinya kata-kata semangat tapi setelah mendengar semua perkataannya dari awal hingga akhir, membuatnya diam. Dirinya merasa beruntung bisa mendapatkan sahabat sepertinya yang rela melakukan apapun demi dirinya dan mengesampingkan masalahnya sendiri
“Yaudah masuk kelas yuk. Udah mau bel, tapi hapus dulu air matanya. Nanti cantiknya ilang, “ celetuk Revan yang justru disambut dengan decakan kesal Naila
Melihat bagaimana gadis itu merespon ucapannya, membuatnya merasa senang daripada ia harus melihat menangis.

*******

My Sunshine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang