Bab 2. Ribet

19 6 7
                                    

Lala segera bersiap untuk ke rumah sakit, setelah tugas dari Bu Anga selesai ia rekap. Gadis itu pening bukan main, ia keramas pakai air dingin agar kepalanya dingin. Ketukan pintu Mbak Uci membuyarkan lamunannya. Ia segera bergegas keluar. Mengingat waktu mandi hanya sampai 10 menit.

Lala berdoa sepanjang jalan. Ia lupa sampai tidak makan apa-apa. Gadis itu terus memikirkan Kemi. Apakah ia baik-baik saja atau ada masalah serius yang terjadi.

"Kenapa Kemi nggak menjawab pesanku, ya?" Lala lirih berkata sembari melirik sopir angkot yang tiba-tiba menguap.

Lala keliling mencari kamar Kemi yang tak ditemukan. Ia sudah yakin bahwa sahabatnya itu berada di kamar Flamboyan nomor 3. Gadis belia itu terperanjat melihat Kemi berjalan tepat di depannya.

"Ya, ampun. Kemi! Kamu nggak papa?" Gadis itu berkata sembari menelisik tubuh Kemi.

"Nggak papa kok, La." Kemi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lala semakin dibuat pusing oleh sahabatnya itu.

"Hanya tergores saja di bagian kaki," jawabnya pelan.

"Alhamdulillah, Kemi. Kirain kamu kenapa-kenapa. Pikiranku sudah mikir yang nggak-nggak, tauk!" Kemi kembali nyengir melihat Lala yang terlihat sangat khawatir. Baru kali ini ia melihat ekspresi Lala yang seperti itu.

"Gue cuma mo minta tolong, bawa sepedaku ke kosanmu dulu." Lala mengangguk perlahan.

"Astaghfirullah, Kemi! Aku kasih berkas ini ke Bu Anga dulu, ya. Tadinya mau ijin nggak ke kampus dulu. Melihatmu yang sudah membaik, aku ijin dulu ya, ntar sore aku balik ke rumah sakit." Lala segera keluar dari rumah sakit, sementara Kemi mengusap ingus yang tiba-tiba keluar dari hidungnya. Gadis itu terperanjat, ketika mengetahui bahwa tangannya penuh darah.

Lala bersemangat sekali hari ini, setelah mengetahui bahwa Kemi baik-baik saja. Ia segera melajukan sepedanya ke kampus tercinta. Beruntung Bu Anga belum datang. Gadis itu segera meluncur ke indekos. Hari ini ada acara wisuda Mas Wisnu.

Lala sangat bersemangat. Gadis itu kemudian melihat Bu Endang yang tengah memasak untuk acara tasyakuran Mas Wisnu. Gadis itu iba terhadap Ibu kosnya itu. Ia berinisiatif untuk membantunya setelah menelepon ibunya.

Tidak ada jawaban dari ibunya setelah ia menelpon lima kali. Gadis itu sempat khawatir, apakah ibunya baik-baik saja di sana. Oni juga apakah dalam keadaan baik pula. Ia sudah mentransfer sebagian uang royalti buku ke orang tuanya itu. Ia menunda pembayaran kost sampai akhir bulan ini. Harapannya Bu Endang mau memakluminya lagi.

Lala sudah berganti dengan pakaian piyama rumahan. Ia menghampiri wanita paruh baya itu yang sedang berkutat dengan sayur mayur di dapur.

"Bu, Lala bantu, ya?" tanya Lala sopan.

"Lo, kamu nggak ke kampusnya Mas Wisnu?"

"Ntar an, Bu. Biar Lala bantu Ibu dulu sebentar." Wanita paruh baya itu tak bisa menolak permintaan Lala.

"Semalam Naka memberitahu Ibu kalau Wisnu mau wisuda. Ibu bangga sekali, La." Sorot mata perempuan paruh baya itu terlihat sangat bangga.

"Njih, Bu. Sudah diumumkan di grup."

"Kamu dari mana La, trus itu motor siapa?" Bu Endang memang selalu detail menanyakan properti anak indekosnya. Ia sangat bertanggung jawab terhadap apa pun yang terjadi meskipun ia agak cerewet.

"Oh, itu Bu. Punya Kemi, teman Lala." Gadis itu terus mengaduk nasi kuning yang masih belum matang.

"Oh, dipinjami." Lala menggeleng. Gadis itu kemudian menceritakan kronologi kejadian yang menimpa sahabatnya itu.

Bu Endang hanya mengangguk. Parasnya yang sangat bijaksana mampu mendinginkan hati Lala. Jam menunjukkan pukul 10.30 WIB dan Lala masih berkutat di dapur bersama dengan Bu Endang.

Lala pamit ke wanita paruh baya itu ketika jam menunjukkan tepat di pukul sebelas. Gadis itu kemudian bersiap. Ia kembali melihat Mbak Uci yang tampak sat set wat set ketika memoles wajahnya. Ia juga melirik kamar Pia, rupanya gadis itu sudah berangkat ke acara wisuda Mas Wisnu.

Lala menghela napas panjang. Ia lupa kalau ia hanya memiliki satu setel kebaya berwarna hijau pupus. Warnanya sungguh sangat mencolok untuk gadis seperti Lala. Ibunya membawakan satu setel kebaya untuk Lala agar kalau ke undangan keluarga bisa di pakai. Itu adalah pemberian almarhum Ayah Lala untuk ibunya.

Ia merias dirinya dengan cepat. Maklum ia tak bisa menggunakan make up. Ia hanya memoles pipinya dengan bedak juga lipstik tipis.

Kepriwen olah e mlaku. Nyong kayak kejiret.

Gadis itu berusaha berjalan dengan susah payah. Kebaya yang dipakainya seperti pakaian ke undangan dan benar benar ribet bawahannya. Lala sempat ingin melepas baju itu tetapi ia ingin menghargai keputusan anak indekos untuk mengenakan kebaya.

Rasa tak percaya diri, tiba-tiba menghinggapinya. Ia melihat banyak orang melihat ke arahnya. Apakah bajunya terlalu mencolok? Gadis itu tetap melajukan sepeda Kemi. Ia tiba menjelang pukul 12.00 WIB.

Astaghfirullah....

Bawahan Lala ternyata sobek sampai hampir selutut. Pantas saja orang-orang melihat ke arahnya. Ia berniat membetulkan hijabnya.

"Ya Allah!" Lala lupa tidak mengenakan helm dan hijabnya membuka sehingga rambutnya terlihat seperti dalaman hijab. Beruntung dalaman hijabnya tidak jatuh. Gadis itu merapikan hijabnya sebelum bertemu dengan teman indekosnya.

Ia terperanjat ketika melewati seorang wisudawan yang di iringi oleh ondel-ondel. Suara Bang Naka yang menggelegar mengagetkan, Lala. Akhirnya ia bisa bergabung dengan yang lain tepat waktu, karena, Mas Wisnu baru keluar jam 12.00 WIB.

"Ya Allah, Mas Wisnu." Lala menutup mulutnya rapat-rapat. Ia tak ingin tertawa melihat lelaki yang baru wisuda itu diiringi oleh ondel-ondel.

Ia segera berbaur dengan yang lainnya. Beruntung suara Bang Naka mampu membuatnya segera bergabung tanpa kesusahan.

"Kenapa terlambat, La?" tanya Mbak Uci.

"Lala bantuin, Bu Endang."

Sorot mata penghuni lain seolah melihatnya dengan tatapan aneh bin ajaib. Pasalnya kenapa belahan bawahannya sangat panjang dan warna bajunya itu membuat silau. Terlebih payet berwarna senada yang memenuhi tiap helai kain itu, menambah kilauan baju Lala terpancar.

Lala mengabaikan tatapan aneh itu, ia melihat sorot mata Mas Wisnu yang terlihat tidak bahagia di hari wisuda. Lala tahu jika ia tidak ditemani oleh orang tuanya, meskipun begitu Mas Wisnu tetap terlihat ganteng dan keren.

Lala baru menyadari ternyata dari tadi si Bontot sama Reza yang kabur dari sekolah bukannya ijin. Entah, dipersulit atau bagaimana sampai keduanya kabur. Kedua adik indekosnya memang sangat lucu dan menggemaskan tetapi kadang tingkah lakunya yang membuat pusing tujuh keliling.

Pertunjukkan ondel-ondel yang merupakan inisiatif dari Mas Nanang ternyata sangat menarik dan menghibur penghuni indekos Bu Endang. Pakaian hijau pupus bak sinden ala Lala pun nyaris tak menyita perhatian penghuni indekos yang lain. Mereka asyik akan pertunjukan ondel-ondel tersebut.

"Mas Wisnu selamat ya, semoga ilmunya berkah dunia akhirat, aamiin." Lala menyelamati Mas Wisnu dengan hormat.

"Makasih La, btw bajunya warnanya asyik juga." Mas Wisnu mengatakan sembari tersenyum.

Lala segera menarik diri sebelum pipi merahnya terlihat oleh penghuni yang lain terutama Mas Wisnu. Ia sangat malu akan pujian atau sindiran itu. Gadis itu kemudian sibuk menutup bawahannya yang tertiup angin.

Sudah bajunya berwarna hijau pupus dengan Jarit berwarna coklat dan kaus kaki yang berwarna merah muda. Baju yang terlihat seperti bunga yang terbalik itu membuat Lala ribet bulan main.

Mereka akhirnya memutuskan untuk segera pulang. Lala pulang dengan selamat. Setelah memarkirkan sepedanya, ia melihat notifikasi ponselnya. Ibunya meneleponnya sampai sepuluh kali. Ia segera menelpon balik ibunya.

Lala semakin penasaran, kenapa setiap ia telepon selalu tidak diangkat.  Ia agak kesal sambil berjalan masuk ke kamarnya untuk berganti baju.










3MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang