_Nicholas pov_
Di dunia ini terlalu banyak hal baru. ada hal yang bisa diterima namun rasa sesaknya masih tersisa.
Ada pula hal yang mungkin dianggap biasa saja, tapi nyatanya memberikan goresan luka yang tak terhingga.
Dan entah sudah seberapa sering aku merasakan luka itu, hampir-hampir rasanya diri ini seperti mati rasa, padahal luka itu jelas terasa.Sudah bertahun-tahun aku hidup terbelenggu nestapa berselimut luka. Setiap hari bagiku hanyalah keributan, pertengkaran, caci maki dan tuntutan.
Jika orang lain merasa rumah adalah tempat ternyaman maka bagiku tidak, rumah bagiku adalah tempat awal mula hancurnya kehidupan.
Sejak kecil, apapun yang aku lakukan terlihat salah Dimata mereka. mengungkapkan pendapat dianggap melawan, bekerja keras demi mendapatkan prestasi dinilai terlalu berambisi, Bahkan ketika diamku pun dianggap salah oleh mereka.
Menghancurkan mental jauh lebih kejam rasanya dari pada membunuh. Karena hidup dengan mental yang sudah hancur itu sangat menyiksa. Rasa-rasanya ingin menyerah saja.
Hari ini diruang yang terlihat cukup luas, lagi-lagi aku dihadapkan dengan setumpuk berkas-berkas di meja kerja yang sama sekali tidak ada niatan untuk aku sentuh. Hampir setiap hari aku dituntut untuk menandatangani kontrak perusahaan yang bahkan aku tidak mengerti apa isi kontrak itu. Sejak usiaku 18 tahun, laki-laki tua yang orang lain sebut sebagai ayahku memaksa aku untuk menghandle pekerjaan ini.
Aku mengalihkan perhatianku ketika mendengar bunyi notifikasi dari handphone yang terletak diatas meja. Terlihat bahwa laki-laki tua itu yang mengirimkan pesan. Dengan sedikit tidak berminat aku membaca pesan yang tertera tanpa membukanya. Lagi-lagi pesan itu berisi tuntutan dari laki-laki tua itu yang selalu saja memaksaku untuk menghadiri rapat petinggi perusahaan.
Tok tok tok
Astaga apa lagi ini, pasti salah satu dari anak buah laki-laki tua itu.
"Masuk."ucapku.
"Permisi." Jawab Aji, asisten pribadi yang ditunjuk ayahku untuk membantuku mengurus perusahaan ini. Usianya tidak jauh beda dariku, hanya terpaut satu tahun dibawahku.
"Ada apa?"tanyaku.
"Rapat akan dimulai 15 menit lagi, Pakaian anda sudah saya siapkan."
"Tidak bisakah kamu yang menghadiri rapat itu?"
"Tapi ini rapat penting, orang tua anda pasti akan marah kalau anda tidak menghadiri rapat itu."
"Aku sudah terlalu sering dimarahi, jadi apa peduliku?"jawabku, aku sudah mulai malas menghadapi Aji, lama-lama dia jadi seperti ayahku, pemaksa.
"Tapi__"
"Sudahlah, hari ini aku benar-benar pusing. Kau saja yang menghadiri rapat itu, aku akan pergi sebentar menjernihkan pikiranku." Ucapku memotong ucapan Aji, aku mulai mengambil kunci motor dan handphone diatas meja, memasukinya kedalam kantong celana jins ku.
Kalau kalian mengira aku mengenakan stelan jas seperti karyawan kantor pada umumnya, maka kalian salah. karena nyatanya aku hanya mengenakan celana jins, kaos hitam polos dan jaket jins. Sangat jauh dari kata rapi, ditambah lagi dengan rambut yang agak panjang dan beberapa tato yang menempel di tubuhku. Mungkin aku lebih cocok disebut preman dari pada anak dari pemilik perusahaan.
"Anda mau pergi kemana, rapat sebentar lagi akan dimulai."
"Bukan urusanmu, tugasmu sekarang gantikan aku untuk menghadiri rapat yang membosankan itu."
"Tapi kalau orang tua anda marah saya harus bagaimana?"
"Ya itu bukan urusanku."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMIT
Teen FictionBuat kalian yang suka baca cerita beda agama wajib baca ini sih ** Tuhan, sebenarnya apa mau mu? Aku sudah pernah mencoba untuk melupakan nya. Namun mengapa kau seolah tak mengijinkan aku tuk lupa padanya? Aku tak mungkin merebutnya dari Tuhannya. I...