Kediaman: Marquess Haruno, 1921.
kaki kecil berlari larian, di kastil utama melewati lorong dengan gaun putih simple yang bergerak mengikuti pemakainya. Tawa bebas terdengar, senyum bahagia menghiasi bibir, emeraldnya berbinar ceria.
Putri bungsu Marquess Haruno itu terus berlari, memasuki sebuah ruangan di samping kiri, bola mata emerald bulat memandang ke kiri dan ke kanan.
Senyum dibibir gadis mungil kembali merekah, dia berlari kembali bersembunyi di balik piano hitam.
"Kakak tidak akan menemukanku."
Haruno Sakura, bergumam kecil menatap ke penjuru ruangan penuh alat musik, derap ketukan langkah kaki semakin terdengar mendekat.
Bungsu keluarga Marquess memejamkan kelopak matanya.
"Ku mohon, itu bukan kakak." Dia berdoa, menyatukan tangan kecilnya di depan dada dan berharap harap cemas.Bruk!
Dua daun pintu kayu yang semua terbuka, tiba tiba tertutup dengan kuat, meninggalkan dentuman kelas sebagai jejak.
Manik emerald itu terbuka kaget, dua pasang kaki adalah hal pertama dapat dia lihat dari balik piano.
"Tidak tahu kah kau, dimana kau berpijak?!" pemilik kaki dengan balutan sepatu kulit mahal itu berjalan cepat.
Suara tinggi bentakan terdengar, membuat kelopak mata Sakura kembali spontan terpejam untuk beberapa detik.
"Dan tidak tahu kah kau, betapa hinanya tempat yang ku pijak sekarang setelah kau membawa wanita itu kemari!" suara nyaring wanita yang menggunakan high heels ikut menjawab dengan intonasi tinggi.
Suara keduanya begitu familiar, Sakura sedikit bergeser lebih jauh ke depan, mengintip menatap pada dua orang dewasa yang dari tadi hanya dapat Sakura lihat kakinya.
Marquess dan Machioness Haruno. pemimpin wilayah Haruno itu saling menatap.
"Tutup mulutmu!" Kizashi membentak, dia lalu menghembuskan kasar menatap istri yang telah di nikahi selama lebih dari 10 tahun dan melangkah mendekat.
Langkah kaki mundur menjauh, menjadi hal pertama yang di lakukan Marchioness Mebuki, "Menjauh dariku!"
Mebuki berteriak, "Harum mu jelas sama dengan sampah," lanjutnya memaki dengan sinis, tidak ada rasa takut untuknya memaki kepala pemimpin wilayah.
Manik mata Kizashi di penuhi amarah, "Wanita sialan ini," desisnya melangkah mendekat.
"Ugh!" Dia meringis, dan memegang tangan suami sekaligus ayah dari putra putrinya yang kini mencekik lehernya."k-kau, lepaskan... aku."
meronta-ronta, nafasnya terasa sulit. Dia juga turut merasakan sakit di punggung dan kepala bagian belakang kala Kizashi mencekik dan mendorongnya dengan kuat menghantam tembok beton kastil.
"Tahu dirilah sialan," ucap Kizashi, kemudian melepaskan tangannya yang baru saja mencengkram kuat leher putih Machioness Haruno.
Jatuh menghantam kerasnya lantai, Mebuki menghirup udara dengan rakus, beralih menatap pada mata dingin suami yang begitu cepat memalingkan wajah 180 derajat.
Tanpa berbalik, tanpa peduli membuka pintu dengan kasar, menutupnya pula dengan bantingan.
Tangan putih salah satu perempuan bangsawan kelas atas terkepal, dia menatap tajam ke pintu yang baru saja di lalu Kizashi. Liquid bening jatuh, dari manik mata membuat sungai di pipi meski dia tidak terisak sedikit pun.
"Ibu." Panggilan suara manis dengan nada yang cukup bergetar membuat dia menoleh.
"Sakura?" Putri bungsu berlari menerjang, pada pelukan hangat sang ibunda yang terkejut akan kehadiran dia di dalam ruangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The crown
FanfictionMahkota, tentu berkilau tapi apa untuk dapat memakainya, sebuah kilau akan cukup?