Jarum jam dinding telah menunjuk pukul dua belas lebih sepuluh menit. Jin menjepit poni rambutnya sebelum menutup kepalanya dengan kain. Melangkahkan kakinya menuju ruang penyimpanan bahan makanan, Jin sudah membayangkan menu spesial apa yang akan ia sajikan untuk Alana besok pagi.
Jemari Jin memutar kenop kompor. Kemudian meletakkan panci berisi air diatasnya. Tangannya mulai mengupas wortel dan kentang, mencucinya lalu memotongnya. Sayuran itu ia rebus dalam air yang sudah mendidih sebentar, lalu ditiriskan.
Selanjutnya, dia menyiapkan saus dari bahan kacang tanah goreng, gula aren dan jeruk limau. Meraciknya bersama dengan bumbu rempah lainnya. Jin mendekatkan hidungnya, menghirup aroma sedap nan segar yang menguar.
Di atas piring, Jin mulai menata aneka sayuran menjadi bentuk hati dan meletakkan mangkuk kecil berisi sausnya tepat di tengahnya. Lalu meletakkan telur rebus matang yang telah dibelah menjadi dua di depan mangkuknya. Sebagai pelengkap, Jin menaburkan hati ampela ayam yang telah digoreng dan dirajang halus diatasnya.
Jin membawa piring saji itu dengan nampan kecil menuju ruang makan, meletakkannya di atas sebuah meja. Lalu, dia duduk di salah satu kursinya dan dengan nada seperti seorang perempuan, Jin memperagakan Alana yang pasti akan bertanya, "Apa nama menu kali ini, Mas Jin?"Jin tahu, pertanyaan Alana akan selalu begitu meskipun sebetulnya Alana tahu apa nama menu makanannya. Alana akan selalu bertanya dengan senyum manis dan bola mata yang penuh binar hingga membuat dada Jin bergetar.
Jin berdiri, dengan suaranya sendiri kali ini, dia bertanya, "Alana suka?"
Kembali duduk dan menjadi Alana, Jin berkata, "Suka. Suka sekali, Mas Jin."
Lalu kembali menjadi Jin dan duduk di depan Alana. Jin tahu, biasanya dia akan hanya berdiri di samping Alana. Tapi kali ini dia harus duduk karena ini salah satu momen luar biasa yang akan menjadi kenangan seumur hidupnya.
Mata Jin menatap Alana dengan dalam dan lembut. Degup dadanya bertalu keras. Dia menunggu Alana menyadari ada sesuatu yang tidak biasa, dan gadis itu akan balas menatapnya dengan canggung dan salah tingkah.
"Hmm... ini adalah gado-gado cinta," kata Jin tak yakin. Lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak... tidak..., harus lebih romantis." Kepala Jin sedikit mendongak dengan bola matanya keatas, kebiasaannya ketika sedang berpikir.
"Begini, Lana," kata Jin kemudian, "hatiku memiliki ragam rasa seperti gado-gado. Gurihnya saus kacang ini segurih tawamu. Manisnya gula aren ini semanis senyummu. Dan segarnya jeruk limau ini sesegar hari-hariku sejak mengenalmu. Kamu tahu kenapa?"
Jin menggelengkan kepalanya sendiri. Lalu mengangguk.
"Karena kamu, Lana, yang telah meraupkan serpihan hati yang berserak ini," tangan Jin menunjuk serakan taburan hati ampela ayam goreng, "dan menyatukannya menjadi sebuah rasa."
Jin tersenyum, "Sempurna!" soraknya. Lalu, dia melihat dua belahan telur yang ada di piring, Jin bertanya sendiri, "Lalu telur ini apa, Mas Jin?"
Kepala Jin mengangguk, "Telur... ya, telur ini adalah telur kita. Telur aku dan kamu," katanya. Lalu tertawa, "Manusia macam apa kita bertelur?" Kepalanya menggeleng lagi.
"Ini tanda bersatunya kita, aku dan kamu, sperma dan ovum," katanya lagi. Jin tertawa, "Gila!"
Jin kembali dalam sikap berpikirnya. Matanya berbinar, "Lana, ini adalah benih atas bersatunya kamu dan aku dalam pernikahan."
"Mas Jin melamarku?"
"Ya, Lana."
Jin merasa jiwanya terbang. Semua kesenyapan menjelma menjadi keriuhan. Dalam imajinasinya hadir para pengunjung. Mereka berdiri dan menyenandungkan lagu cinta. Lalu para pengunjung bertepuk tangan riuh. Tepuk tangan yang kemudian menjadi tepuk tangan sepasang tangan saja. Dan keadaan kembali pada semula, keheningan restoran yang telah tutup.
Ben menoleh pada sumber tepukan. Menemukan Jimin sedang diambang pintu penghubung tangga ke lantai atas, tempat ia tinggal.
Tepuk tangan Jimin berhenti dan bertanya, "Sedang apa kau, Jin?"
Jin menjadi canggung. "Aku... aku sedang membayangkan sajian menu baru kita, Jim."
"Itu?"
"Ya. Ini gado-gado cinta,"
Tawa Jimin pecah. "Kau sinting dan semakin sinting. Kau kira semua orang yang memakannya akan menganggap itu istimewa?"
"Filosofinya kan bisa kita cantumkan di menu, Jim. Orang akan merasakan keistimewaannya."
Jimin mendekat, lalu duduk di kursi tempat Alana dalam imajinasi Jin. Dia menusuk sayuran, mencelupkan pada sausnya, dan membawanya ke mulutnya. Hanya dua kali kunyahan, lalu dilepehkan ke lantai.
"Kau tahu rasanya seperti apa?" tanya Jimin pada Jin yang diam. Jimin mendekatkan wajahnya, "Ini seperti racun, Jin. Bisa mati kalau menghabiskannya."
"Kau selalu bilang begitu pada setiap menuku, Jim. Tapi tidak ada pengunjungmu yang mati," sahut Jin.
Jimin mendengus, "Omset kita semakin menurun, Jin. Semua karna menumu."
"Ekonomi memang sedang labil, Jim. Semua harga memang sedang tidak stabil."
Jimin melangkah menuju meja bar. Dia mengambil buku menu dan melemparkannya ke arah Jin, jatuh tepat di kakinya. "Ambil dan lihatlah," katanya, "orang-orang sekarang maunya menu yang bercita rasa luar negeri, bukan menu kampungan norak begitu. Ini apa?" Jimin menunjuk gambar di buku menu.
"Cah sayur semarak," sahut Jin.
"Ini...," Jimin menunjuk gambar lain.
"Itu... cap cay merona."
"Ini iga balut cinta. Ini ayam ceria." Jimin membaca nama yang ada di bawah gambar sambil menggelengkan kepalanya. "Semua ini nggak pantas jadi menu restoran, Jin."
Jin menelan ludahnya, "Nanti aku bikin menu baru, Jim. Tapi tidak menu luar karna Almarhum Ayahmu berpesan untuk melestarikan menu nusantara."
"Itu urusannya, dan urusannya sudah selesai. Ayahku sudah mati dan tidak tahu perkembangan tren saat ini."
"Jim...."
Jimin bangkit, "Jin, aku akan menutup Restoran Lidah Nusantara."
Jin tersentak, "Jim..."
"Dan akan menggantikannya dengan restoran baru bercita rasa luar negeri."
"Tapi aku tidak --"
"Dengan atau tanpamu, Jin," tandas Jimin sembari membalik badan dan berjalan menuju ruangannya.
Jin menghela napas berat. Dia tahu, dia tak akan bertahan lagi disini.
Jin pulang ke apartemennya, melunglaikan badannya pada tempat tidurnya. Dia tidak lagi tinggal di gedung itu bersama Jimin sejak Karina menjadi istri laki-laki itu.
Dalam kamarnya, Jin mengenang masa lalu. Masa yang penuh racun dalam hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Kau Kawin
FanfictionKejutan terindah dari empat laki-laki patah hati untuk mantan terindah.