Chapter: 3

3 0 0
                                    

- Jangan pernah sandingkan impianmu dengan Ego mu atau hidupmu akan hancur sia-sia -

.....

Wawan melepas sepatunya memasukki rumah, rasa lelah menghinggapi tubuhnya. Bagaimana tidak, penumpang hari ini lebih banyak dari hari-hari lalu.

''Wis mulih le? Piye narik e? Rame ora mau?'' Tanya ibu Nia, ibu kandung Wawan. (Sudah pulang nak? Gimana narik angkotnya? Rame apa gak tadi?)

''Alhamdulillah buk. Rame pol, ibu-ibu gang pitu wonten acara wau,'' balas Wawan. (Alhamdulillah bu. Rame banget, ibu-ibu gang tujuh ada acara tadi)

''Ya wis, dang adus, sholat yo le,'' ujar bu Nia, kemudian beranjak menuju dapur, meninggalkan Wawan yang masih terduduk kelelahan di kursi kayu.

....

Wawan berjalan menuju ke dapur menyusul ibunya kala selesai menjalankan sholat ashar. Berniat membantu ibunya memasak atau sekadar menemani.

''Le, besuk nggowo pecel yo?'' Ucap u Nia disela ia memasak. (Nak, besok bawa pecel ya?)

''Nggih buk. Panjenengan nopo pun sehat, buk? Mboten usah dipekso lek tasik kurang penak badan e,'' jawab Wawan. (Iya bu. Ibu apa sudah sehat, bu? Gak usah dipaksa kalau masih kurang enak badannya)

''Ora opo-opo, ibuk wis waras.'' (Gak apa-apa, ibu sudah sembuh)

''Nggih, buk.'' (Iya, bu)

Sunyi. Ibu Nia melanjutkan kegiatan memasaknya untuk makan malam mereka sedang Wawan hanya duduk di lantai berlapis tikar tipis yang menghalangi dirinya dengan tanah kotor dibawahnya.

Wawan sangat suka jika harus menemani ibunya memasak, aroma masakan sederhana yang dibuat oleh tangan ibunya sendiri begitu nikmat dihirupnya. Aroma gurih ikan asin yang menguar, begitu pula nikmat sayur daun ketela memenuhi ruangan ditambah sambal ulek rumahan yang pedas, sangat menggodanya.

Tak butuh waktu lama masakan sang ibu sudah jadi, Wawan membantu menata dan membawanya kembali ke atas tikar untuk dimakan bersama.

''Wan, yok sholat disek, mari ngono maem bareng. Adek-adekmu celuk en, ayo jamaah,'' tutur bu Nia, dibalas anggukan sigap Wawan. (Wan, ayo sholat dulu, habis itu makan bersama. Adik-adikmu panggil dulu, ayo jamaah)

Wawan beranjak memanggil kedua adiknya dan menuju ke kamar mandi, mengambil wudhu kemudian disusul ibu dan kedua adiknya, retno dan bayu.

....

''Wihh rek, mas Wawan teko iki, wayah e sarapan!'' Seru joko memancing perhatian seluruh kelas Wawan. (Wih guys, kak Wawan dateng ini, saatnya sarapan!)

Kelas 12 ips 2, Wawan sedikit merasa beruntung terpilih menjadi anggota kelas tersebut. Walau banyak cacian dan makian yang dilontarkan guru pengampu mata pelajaran di kelasnya, namun kekompakan anggota kelas membuatnya betah berada di sana. Terutama kompak membeli pecel spesial buatan ibunya. Yang bahkan selalu ludes sebelum ia titipkan di kantin sekolahnya.

''Mesti wan, pecel gaweane buk mu iku paling sedep sak dunyo, jempol loro. Debes wis!'' Ujar salah satu teman kelasnya, wahyu. (Selalu wan, pecel buatan ibu kamu itu paling sedap sedunia, jempol dua. The best udah!)

''Yoi, suwun yu. Tuku teros makane ben iso ngerasakno ben dina pecel e bukku sak urunge lulus,'' balas Wawan dibalas anggukan kecil Wahyu sembari mengunyah pecel sebagai sarapannya. (Yoi, terima kasih yu. Beli terus makanya biar bisa merasakan pecelnya ibu aku setiap hari sebelum lulus)

''Wan! Digoleki arek kelas sebelah!'' Seru putri memanggil Wawan. (Wan! Dicari anak kelas sebelah)

Wawan bergegas menyimpan uang bersama tas pecelnya dibawah meja, menemui murid yang mencarinya.

''Ono opo rek?'' Tanya Wawan. (Ada apa?)

''Koe digolekki bu Yul, Wan. Dikongkon nang ruang bk mengko mari ngaso,'' ujar siswi perempuan menyampaikan pesan. (Kamu dicari bu Yul, Wan. Diminta pergi ke ruang bk nanti habis istirahat)

''Oalah, suwun yo wis ngomongi,'' balas Wawan. (Oh, terima kasih ya sudah kasih tahu)

Anggukan kecil menjadi balasan jawaban dari Wawan, dua siswi tersebut beranjak pergi meninggalkan kelas Wawan dan kembali ke kelasnya, pelajaran pertama hendak dimulai. Lonceng sekolah akan dibunyikan beberapa menit lagi.

....

''Assalamu'alaikum,'' salam Wawan, membuka pintu ruang konseling di sekolahnya, mencari keberadaan bu Yul yang memanggilnya tempo waktu tadi.

''Wa'alaikumsalam. Lenggah kene le,'' jawab bu Yul meminta Wawan duduk di kursi di depan tempatnya duduk saat ini. (Wa'alaikumsalam. Duduk sini, nak)

''Nggih bu. Wonten nopo bu?'' Tanya Wawan sesaat setelah mendudukkan dirinya di kursi. (Iya bu. Ada apa bu?l

''Le, kan wis tak omongi, ndek sekolah ora oleh bakulan. Koe iki lak dituturi pisan langsung manut iso ora? Ora pisan pindo koe mlebu bk, ora isin karo konco-koncomu? Sekolah iku duk pasar, ga ono tempat gawe bakulanmu!'' Jelas bu Yul. (Nak, kan sudah aku kasih tahu, di sekolah gak boleh jualan. Kamu ini kalau dikasih tau sekali bisa langsung nurut bisa gak? Ini gak sekali dua kali kamu masuk bk, gak malu sama teman-temanmu? Sekolah itu bukan pasar, gak ada tempat buat barang jualanmu!)

Wawan hanya mengangguk pelan, mengiyakan saja segala penyataan bu Yul, tak membantah. Ia tak pernah berada di posisi bisa membantah, lagi dan lagi. Ia tak merasa salah, ia juga benar-benar tak salah. Jika ia tak berjualan ia takkan menginjakkan lagi kakinya di sekolah. Lantas harus bagaimana?

''Nggih, bu,'' tutur Wawan pelan. (Iya, bu)

''Koe iki kelas rolas, arep lulus. Belajar! Duk bakulan!'' (Kamu ini kelas dua belas, sebentar lagi lulus. Belajar! Bukan jualan!)

Anggukan pembenaran lagi-lagi menjadi tamengnya tetap selamat dari amukan guru. Meski ia tak sepenuhnya salah, tapi mau bagaimana lagi, ia hanya seorang kebo!

.....

- Guru bukanlah dewa dan murid bukanlah kerbau -

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 13, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang