part 1

34 1 0
                                    


Rasanya sudah terlalu lama Ervan memendamnya di dalam hati dan akhirnya, pengakuan itu tercetus juga. Memang sangat sulit. Menyukai seseorang yang selama ini selalu dilabeli sebagai sahabat karibnya. Ervan dan Galih seolah tidak bisa terpisahkan, selalu bersama kemana-mana, bahkan di pertemanan mereka hampir tidak pernah ada pertengkaran.

Tapi pertemanan itu menjadi mengerikan ketika satu di antara mereka malah melihat hubungan yang terjalin lebih dari sekadar teman. Mengharapkan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih intim.

"Ini... gue gak salah dengar, kan?"

Pertanyaan Galih itu rasanya bisa mencabut nyawa Ervan saat ini juga. Bibir Ervan sudah kelu, tenaga dan keberaniannya sudah habis setelah dengan nekat ia lontarkan pengakuan perasaan terpendamnya pada Galih.

Kepala Ervan akhirnya hanya bisa menggeleng. Ragu-ragu kemudian ia menoleh ke arah Galih. Hal yang paling ia takutkan sepertinya akan terjadi. Terlalu naif Ervan beberapa minggu terakhir. Hanya karena Galih bersikap lebih lembut kepadanya, memberikan perhatian yang lebih ke Ervan malah dianggap sebagai tanda kalau pria itu punya kemungkinan memiliki perasaan yang sama seperti yang ia rasa. Padahal kalau dipikir-pikir lagi sekarang, perhatian Galih adalah hal yang wajar dilakukan pria kepada teman sesama jenisnya.

"Van, lihat gue!" pinta Galih agak memaksa. Nada suaranya tajam. Dalam sekali, bagai palung yang bisa menarik Ervan sampai dasar.

Ervan rasanya tidak punya pilihan, menoleh dia. Matanya bertemu dengan manik hitam legam milik Galih, namun hanya sebentar, karena langsung Ervan putus dengan cara menundukkan wajahnya.

"Gue lagi diprank, kan? Sumpah gak lucu!" Mata Ervan makin bergerak-gerak gelisah. Kepalanya menggeleng lagi.

"E-Enggak, kok. Gue serius tadi." Suaranya akhirnya terdengar. Bercicit seperti tikus kejepit. "Tapi gue hanya mengutarakan perasaan gue aja, Lih. Gak ada niat lain. Maksudku, i knew you are straight. Punya hubungan sama sesama cowok pasti gak pernah terpikirkan sama lo."

"Tunggu!" sambar Galih dengan mata terpejam sedetik. "Ini maksudnya... lo gay? Ini seriusan?"

Entah keberanian dari mana, Ervan kini malah menatap balik mata Galih. Duduk bersisian mereka di taman kampus, di tengah remang pencahayaan di sana yang minim. Kalau ada yang melihat, jelas bisa tercetus kesalahpahaman.

"Bukannya udah kelihatan banget, ya?" tanya Ervan dengan kedua alisnya terangkat. "Semua anak angkatan kita kayaknya udah duga kalau gue homo. Lo sendiri pasti sering dengar bisik-bisik mereka setiap kita makan di kantin berduaan."

Kening Galih mengerut, kepalanya menggeleng samar. "G-Gue gak ngerasain itu. Semua kayaknya aman-aman aja."

Ah! Gak berhasil. Ini penolakan. Ervan seolah memberitahukan pada dirinya sendiri di dalam hati, bahwa keinginannya untuk bersama Galih dalam ikatan lebih dari teman, sepertinya harus kembali ia kubur dalam-dalam. Tidak boleh terkorek lagi.

Dibarengi satu desahan napas, Ervan berdiri dari tempatnya duduk. Berjalan beberapa langkah, sebelum kembali terhenti. Sudah tidak mampu ia menoleh ke arah Galih. Sudah tidak punya muka. Rasanya mau meninggal saja. Aduh, please, semoga pas gue jalan, gue kesandung terus meninggal.

"Maaf, Galih. Pasti lo kaget. Gue juga gak nyangka bakal berani banget ungkapin perasaan ini ke lo. Seharusnya terus aja gue kubur di dalam hati. Gak perlu segala diungkapin. Padahal, gue sendiri tahu lo gak mungkin bisa balas." Mata Ervan terpejam. "Please, ya. Setelah ini lo pura-pura ilang ingatan aja. Anggap aja tadi itu gak pernah terjadi. Oke? Bisa kan?"

"Eh, bangsat! Tunggu bentar!" tahan Galih dengan nada kesal ketika melihat Ervan berancang-ancang hendak melanjutkan langkah kakinya. "Gue kaget banget, nih. Gak bisa mikir."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 17, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

F.A.T.E ?Where stories live. Discover now