02 - Alas Kaki

223 22 15
                                    

Tik...

Tik..

Tik...

Jam yang lebih tua dari usia Arief Chandrawinata tenang mengarahkan tiap lengannya untuk berdetik.

Tik...

Tik...

Seterusnya, tak pernah berhenti, adalah waktu. Tetapi bagi meja panjang sebagai saksi ketiga orang yang duduk menghadapnya, waktu dan suara tengah tertelan oleh bunyi jarum jam tersebut. Tiga manusia dengan hubungan darah di sekitarnya diam membisu, mata mereka mematung memandang pintu yang terbuka, memperlihatkan Teras dan halaman luas yang asri.

Lalu halaman luas yang asri itu menyambut angin, terbanglah dedaunan kering yang melapisi rerumputannya. Sudah senja, tukang kebun rumah mereka pasti sudah pulang. Maka terbiarkanlah halaman asri itu teracak-acak oleh angin yang terasa lembut di kulit, namun sapuan terakhirnya meninggalkan gigil.

Tiara mengusap lengan putihnya yang hanya terlapisi sepertiganya oleh kain berenda dengan ragu di ujung. Jemarinya kemudian naik untuk menyimpan helai anak rambut yang keluar dari kumpulan legam induknya. Lalu gatal, serasa gatal pada tataan rapi rambut lurusnya. Tapi Ia tak bisa menggaruknya, tak yakin akan teratasi, dan tak yakin Ibunya akan senang jika Ia menggaruknya.

Itu akan menggagalkan tata rambutnya. Sedikit, tetapi tidak boleh. Anak rambut hingga kuku kelingking kakinya haruslah terlihat pantas, seperti mantra Ibunya pagi hari tadi setelah menata rambutnya. Disaksikan cermin, sisir, juga aroma melati lembut yang selalu menjadi saksi bisu peristiwa tujuh tahun terakhir rumah ini.

"Sempurna."

Sempurna, menggunakan titik. Tapi jika itu Selma yang mengucap pada putri semata wayangnya, ada tiga kata lanjutan yang tersembunyi, dan hanya putrinya yang tahu dan hafal.

Harus. Tetap. Selalu sempurna.

Benar, harus tetap sempurna. Maka Tiara menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan seiring bergeraknya jarum panjang menunjuk angka dua belas.

Teng... teng... teng...

Lonceng jam tua berbunyi, memecah hening meja makan. Bertepatan itu, suara halus mobil mewah terdengar dari balik jendela besar berbingkaikan selambu bermotif batik.

Tiga kepala langsung memusatkan perhatian pada mobil tersebut. Sebuah Benz hitam seperti mobil Presiden, melaju dari arah berbeda mendekati mobil merah yang sudah duluan terparkir milik Tuan Rumah. Mobil itu berjalan pelan dengan elegan, temaram cahaya dari langit mendung membuat tiap putaran rodanya teduh nan ngeri. Tiga orang di meja makan menelan ludah, seolah melihat makhluk dari hitam kegelapan berjalan pelan, mendekati mangsa yang sudah merah berdarah.

Dan kala Mobil itu berhenti tepat di depan rumah, tiga pasang kaki otomatis berdiri dengan raut tegang. Benz hitam yang tidak tahu apa-apa menjadi saksi bagaimana ketiga orang itu langsung mengubah tegang mereka jadi rekahan senyum kala sepasang kaki turun daripadanya.

Arief memimpin jalan untuk melangkah ke teras, sementara Istri dan Putrinya menyusul dengan senyum setengah rekah karena sebuah pertanyaan.

Tuan Adiwangsa sendirian?

Begitu tanya benak mereka. Karena hanya satu orang yang turun. Pria berbadan agak bungkuk, berambut putih dan garis wajah yang nenyatakan bahwa usianya lebih dari setengah abad. Tiada senyum di wajahnya, hanya cambang tipis dan mata tajam mengintimidasi.

Langkah kedua wanita keluarga Chandrawinata gentar sebentar, tidak dengan kepala keluarga mereka yang sudah menyambut dengan salam hangat dan percakapan kecil. Saat jeda itu, mata Tiara menangkap suatu bayangan pada Benz Hitam yang terparkir. Seseorang. Seseorang masih ada di dalam sana, terdiam. Ada di bangku penumpang, bukan sopir pribadi. Maka satu-satunya jawaban adalah... itu pangerannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

We're Married, Remember?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang