satu

3.2K 321 33
                                    

Dia suami Aruna. Laki-laki yang sekarang terbaring di ranjang rumah sakit dengan selang infus di punggung tangan. Demamnya tak kunjung turun sejak pertama kali masuk ke ruang rawat inap.

"Cepet sembuh, ya. Aku bingung sendirian di sini," kata Aruna pelan. Dia setia mengusap-usap lengan suaminya.

"Kamu tuh kenapa kalau sakit langsung parah banget."

Jonathan tersenyum di tengah perjuangannya menahan pening. Ingin menjawab tapi kondisinya terlalu lemah. Jadi dia hanya mendengarkan dengan apa yang Aruna ucapkan.

"Aku ninggalin Julian di rumah. Nggak mungkin aku bawa ke sini, soalnya sekarang aku udah capek banget." Aku memajukan kursinya lalu meletakkan kepala di samping lengan Jonathan. "Numpang tidur, ya. Kasur yang di sana serem, takut ada pocong."

Demi Tuhan, Jonathan sangat gemas ingin mencubit pipi Aruna lalu memeluk wanita itu. Tapi kantuknya datang kembali. Dengkuran halus milik istrinya segera menjadi pengantar tidur untuk Jonathan.

"Saya ganti infusnya, Pak." Seorang suster masuk ke dalam ruangan sekitar pukul empat.

"Silakan." Jonathan membenahi posisinya. "Suster, saya tes darah lagi besok siang, ya?"

"Iya, Pak. Untuk obat dan menu sarapan sudah saya jelaskan ke istri Bapak."

Jonathan termenung di pagi yang hening itu. Dia memikirkan pertengkarannya dengan Aruna beberapa hari lalu yang sempat membuat mereka tidak saling bicara selama dua hari penuh. Andai waktu bisa diulang, dia tidak akan memarahi Aruna hanya karena wanita itu menolak makan malam.

"Kamu bangun? Mual atau pusing?" tanya Aruna yang sudah bangun dari tidurnya.

"Tidur lagi aja, aku nggak apa-apa."

Aruna mencoba tersenyum lebar seperti biasa. "Bukanya kenapa-kenapa? Kan lagi sakit."

"Jangan maksain senyum, kalau masih marah ya udah."

"Kamu tuh kadang kebiasaan deh. Kalau aku udah begini ya artinya nggak marah lagi dong. Mana bisa juga sih aku marah pas kamu sakit. Tapi aku jadi sebel lagi soalnya kamu keliatan nggak ada perubahan walaupun aku udah bawa kamu ke sini setelah semalem kamu keras kepala banget nggak mau ke dokter."

Aruna mengatur napasnya yang berkejaran setelah mengucapkan semua keluh-kesah. "Mau minum atau makan roti?"

Jonathan kembali berbaring. "Nggak usah."

"Harusnya aku nggak ngomong gitu. Kamu kan lagi sakit."

"Kamu juga lagi capek," timpal Jonathan. "Sana tidur di kasur, nanti sakit punggungnya kalau di sini."

Setengah jam berlalu, tidak ada dari mereka yang berhasil tertidur. Aruna memunggungi Jonathan, dia terus menenangkan hatinya agar tidak terbawa emosi. Sekarang ini kalaupun dia marah itu tidak pantas, dia harus menahan setidaknya sampai Jonathan sehat kembali.

Tapi tidak sekali dua kali.

Ini sering terjadi.

Ada apa dengan makan? Kenapa Jonathan sering mengomeli Aruna hanya karena itu.

"Padahal wajar kalau males makan," bisik Aruna sangat pelan. Dia memejamkan mata, ingin cepat tidur karena nanti harus pulang sebentar untuk memberikan ASI pada Julian.

Aruna bangun pukul tujuh setelah mendengar suara berisik petugas yang membawa sarapan ke kamar. Dia segera duduk lalu melihat ponsel. Ada beberapa pesan dari Refal dan pengasuh Julian.

"Aku suapin kamu terus pulang. Kasian nanti Julian laper, stok ASI di kulkas cuma cukup buat pagi."

"Pulang aja, nanti aku makan sendiri."

Tunggu.

Suasananya masih seperti tadi sebelum Aruna tidur. Entah dimana yang salah. Tapi setahu Aruna, Jonathan tidak akan kesal terlalu lama. Apalagi ini sudah empat hari kalau dihitung dari pertama mereka berselisih pendapat.

"Mau buat aku jadi istri durhaka?"

"Ke Julian dulu aja. Refal udah nunggu di luar."

"Aku bawa mobil kok." Aruna membuka penutup piring dan mangkuk tempat sarapan Jonathan dihidangkan. "Kamu makan dulu."

"Aku bisa sendiri."

"Terus kalau bisa sendiri, kamu nolak aku suapin gitu?"

Jonathan mendengus. "Kemarin kamu juga nolak waktu aku bujuk buat makan. Apa susahnya makan? Selain buat kesehatan kamu, itu juga buat Julian. Nggak sekali dua kali kita ribut karena kamu males makan."

Aruna menggertakkan giginya. Dia lelah, mengantuk, lapar, belum lagi pikirannya terbagi dua antara Julian dan Jonathan. "Iya, aku salah. Besok aku nggak gitu lagi. Aku minta maaf."

Untuk pertama kalinya Jonathan merasa dia lah yang bertingkah seperti anak-anak.

Untuk suamiku, sekarang jam dua pagi dan aku masih mencintaimu sama seperti kemarin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Untuk suamiku, sekarang jam dua pagi dan aku masih mencintaimu sama seperti kemarin.

Interaksi ; Johnny Suh AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang