"Aku udah bilang berapa kali. Kamu kalau dikasih tau, diem dulu dengerin bukan bantah semua ucapanku."
Aruna melempar baju yang sedang dia bawa. "Kenapa aku terus? Kamu juga sering nggak cerita ke aku. Kamu anggep aku nggak ada. Cuma dateng waktu bahagia aja."
"Jangan-"
"Jangan apa?" Aruna balik menantang. Dia merasa alasan Jonathan marah hanyalah hal sepele.
"Terserah. Lakuin apa yang kamu mau. Aku nggak ikut campur lagi." Pintu kamar ditutup dengan keras. Suaranya cukup membuat Aruna terkejut. Air mata Aruna bercucuran, dia sulit sekali menahan tangis.
"Aku benci kamu!" Aruna menggeram. Emosinya berada di ubun-ubun.
Aruna tidak suka bertengkar dengan Jonathan apalagi di malam yang dingin seperti ini. Dia ditinggalkan sendirian di kamar sedangkan suaminya bisa Aruna tebak berada di ruang kerja. Mereka terpisah satu lantai. Nelangsanya lagi, jarak itu terasa jauh dan menyedihkan.
Marahnya Jonathan tadi membuat Aruna menangis. Tangisan yang sangat menyakitkan sebab mengingatkannya pada keadaan ketika ayahnya sakit dan Aruna tidak punya siapa-siapa. Saat itu dia adalah gadis yang bodoh, hanya pulang pergi kuliah lalu selalu menangis sehabis ayahnya tidur. Aruna tidak tahu harus apa, dia tersesat dalam kesendiriannya. Karena itu Aruna benci menangis, sebab dia tidak bisa menebak kapan tangisnya akan membawa ke memori itu.
"Ayah," panggilnya penuh rindu.
Dia lupa suara ayahnya. Dia juga lupa suara lelaki yang menjaganya sampai bertemu dengan Jonathan. Pedih di hati Aruna mulai terasa. Rindunya makin menggunung.
"Pengen sama ayah. Kangen ayah." Pelukannya pada guling makin mengerat. Napasnya sudah tidak beraturan, kini tangisnya makin kencang.
Seperti memiliki ikatan batin, Jonathan cepat berlari ke kamarnya. Perasaannya tidak enak setelah meninggalkan Aruna. Sekarang dia makin yakin ada yang salah ketika mendengar istrinya itu menangis. Tangisan pilu, hal yang sangat dia benci.
Bertengkar adalah hal biasa.
Jonathan paham benar dengan kalimat itu. Sulitnya, Aruna adalah wanita yang cukup berani melempar kalimat-kalimat pedas ketika sudah terbakar emosi. Sedangkan Jonathan yang memang keras, akan membalikan ucapan Aruna yang akhirnya membuat istrinya itu menangis.
Tadi ketika dia meninggalkan Aruna, kondisinya baik-baik saja. Hanya bersungut-sungut naik ke tempat tidur lalu membungkus tubuh dengan selimut. Jadi Jonathan merasa aman pergi sebentar untuk meredakan emosinya.
Tapi apa yang sekarang dia dapatkan, istrinya itu menangis sampai susah bernapas. Tangis yang tidak bisa lagi dikendalikan pemiliknya. Saat menyadari Jonathan masuk ke kamar, Aruna malah makin tergugu.
"Bangun dulu. Jangan nangis sambil tiduran, jadi susah napasnya." Dengan mudah Jonathan mengangkat tubuh Aruna lalu membuat wanita itu duduk.
Dia tersenyum sambil mengusap air mata di pipi istrinya. "Maaf, aku tadi marahin kamu."
"Udah selesai belum nangisnya?" Lembut sekali Jonathan bertanya. Emosinya sudah sempurna hilang. Fokusnya saat ini membuat Aruna berhenti menangis. Dia tidak peduli lagi tentang siapa yang salah dan siapa yang benar.
"Aku sayang kamu. Tolong ingat itu, ya?"
Aruna mengangguk. Dia memeluk sang suami kemudian melanjutkan menangis di dada Jonathan. Rasa syukur memenuhi hati Aruna, dia bahagia berada di sini bersama orang yang begitu sabar mengurusnya.
"Sayang." Jonathan mengusap-usap punggung Aruna. Bibirnya terus mengecup pelipis sang istri. "Udah berapa lama tadi nangisnya?"
"Lima belas menit?" Aruna menjawab ragu-ragu.
"Nangis kenapa kalau boleh tau?"
"Karena kamu marahin tapi habis itu keinget ayah. Kangen ayah. Aku kan udah nggak punya ayah."
"Besok ke makam ayah. Kita tengokin ayah dan bawain banyak bunga."
Aruna mengeratkan pelukannya. Lucunya ketika Jonathan sudah mengalah mengajak berbicara lebih dulu, rasa sedih dan marah yang tadi Aruna rasakan tiba-tiba menghilang. Mendadak dia merasa sangat dicintai dan dijaga.
"Maaf aku cengeng dan nyebelin. Kamu masih cinta nggak?"
"Masih cinta." Rambut Aruna dirapikan. "Ke kamar mandi dulu sana, cuci muka terus ganti baju. Kita beli es krim habis itu jalan-jalan."
"Udah jam sepuluh malem," rengek Aruna. Tangannya menari-nari dia dada Jonathan. "Besok kamu kerja. Kalau capek gimana?"
"Nggak capek. Ayo buruan sebelum kelaperan perutnya."
***
"Kamu nggak pernah kangen sama mama?" tanya Aruna penasaran. "Bukan Mama May."
Jonathan mengusap sudut bibir istrinya dengan tisu. "Kangen."
"Kok nggak pernah bilang kangen? Aku aja sering ngomong ke kamu kalau kangen ayah."
"Susah," jawabnya jujur. Jonathan kesusahan mengatakan perasaannya. Menunjukkan apa yang ada di hati dan pikirannya adalah hal yang sulit. "Aku nggak pernah diajarin buat begitu. Biasa nyimpen semuanya sendirian."
Jonathan menambahkan. "Tapi, aku usahain buat sedikit-sedikit cerita."
"Aku takut kamu simpen semuanya sendiri dan tau-tau rasa cinta kamu ke aku ilang."
"Tadi kan kita berantem karena kamu bandel. Aku nggak simpen semuanya, aku marahin kamu kan?" sahut Jonathan, dia berusaha membela diri.
"Bukan gitu. Kamu kan nggak pernah kritik aku yang dalem banget. Padahal aku sering bilang perilaku kamu yang buat aku sebel."
Jonathan terdiam. Ternyata hal ini serius sekali untuk Aruna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Interaksi ; Johnny Suh AU
Fiksi PenggemarKata orang, Jonathan yang lebih mencintai Aruna. Kata orang, Aruna itu menyebalkan dan terlalu buruk untuk Jonathan yang sosoknya sempurna.