Tandai jika terdapat typo
...
..
.Matahari pagi mulai menampakkan diri, sinarnya samar-samar menyelinap masuk dicelah gorden rumah sakit yang tidak tertutup dengan benar, hingga mampu mengusik seorang gadis yang sedang terlelap di atas brankar rumah sakit dengan nyenyak.
Shavana Ezlyn gadis berusia 16 tahun atau lebih di kenal dengan Shava. Memiliki paras yang cantik dan manis di saat bersamaan, dengan tinggi tubuh yang semampai.
Enghh ....
Terdengar lenguhan seorang gadis yang merasa tidurnya terganggu dengan sedikit menggerakkan badannya.
Kelopak mata yang semula tertutup rapat itu kini mulai terbuka sedikit demi sedikit. Mengerjapkan matanya secara perlahan untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retinanya.
Setelah dirasa pandangannya mulai jernih, ia mulai mengedarkan pandangannya sejenak ke seluruh ruangan.
Sungguh Kerongkongannya saat ini terasa sangat kering. Ia mengalihkan pandangannya ke atas nakas dan mencoba meraih gelas berisi air yang ada diatas nakas, perlahan namun pasti Shava meminum air di gelas itu hingga tandas.
"kok sepi, kemana semua orang?" gumamnya saat menyadari tak ada satu orang pun yang ada di kamar inapnya.
Ceklek.
Suara pintu yang terbuka membuatnya menatap pintu sambil menebak siapa yang masuk. Rasa penasarannya menghilang saat melihat suster Arin masuk mendorong troli makanan kedalam.
"segera di makan, mumpung masih hangat buburnya," ujar suster Arin tersebut sambil meletakan buburnya, "oh iya ... jangan lupa obatnya juga di minum.""iya kak. Oh iya ... kak Arin tadi lihat bundaku gak ? "
" hm, bundamu tadi pamitnya mau ke kantin, mau beli sarapan katanya, " jawab suster Arin, " kalau begitu, saya balik kerja dulu."
Shava mengangukkan kepalanya mengerti dan mengucapkan terima kasih. Setelah mendapatakan jawaban dari Shava suster Arin segera berjalan keluar dengan membawa kembali trolinya.
Baginya suster Arin sudah seperti kakak baginya, ia pun mengenalnya sejak dua tahun terakhir. Setiap dirinya melakukan terapi suster Arin tidak pernah absen untuk membantunya.
Berhubung perutnya sudah berbunyi sejak ia bangun minta diisi, Shava segera mengambil buburnya. Sejujurnya ia sangat tidak menyukai makan lembek itu, namun apalah daya mau tak mau harus tetap di makan.
Shava pun segera melahap bubur yang ada di hadapannya dengan tenang. Setalah selesai tak ingin membuang waktu lebih lama ia langsung menimun obatnya.
Tak ada lagi yang bisa dilakukannya, kini shava merasa bosan. Ia melihat di sekelilingnya mencari hal yang menarik untuk menghilangkan rasa bosan.
Seketika pandangannya jatuh pada ponselnya ada di atas nakas, di samping gelas kosong. Segera Shava mengambil ponselnya untuk berselancar di dunia maya. Berharap bundanya cepat datang.
Ceklek
Suara pintu kembali terdengar, kali ini wanita paruh bayah dengan setelan kasualnya masuk dengan membawa beberapa plastik yang berisikan makan.
"loh, kamu sudah bangun sayang? " ujar wanita paruh baya itu, sambil berjalan menghampiri shava yang masih asik dengan dunianya.
Seketika Shava mengalihkan pandangannya ke sumber suara. Ternyata sang bunda yang baru saja masuk.
"bunda ngagetin Shava saja," katanya dengan mengelus dadanya pelan, "kemana bang Tian bun?" pertanyaan yang terlontar begitu saja saat tidak mendapat kehadiran kakak sepupunya itu, Sebastian Gathan Sanjaya.
"oh ... Bang Tian tadi ditelfon sama tante Anya, di suruh pulang." mendengar jawaban bundanya, Shava sedikit kecewa karena tidak dapat bertemu dengan abangnya itu.
"jangan gitu sayang, bang Tian kan sudah dari kemarin gak pulang kerumahnya. Kan masih bisa ketemu kalau sudah keluar dari rumah sakit," lanjut bunda Lista.
"iya bunda ...."
Bunda Lista hanya membalas dengan senyuman singkat. "gimana keadaan kamu sekarang, Sudah mendingan?"
"Alhamdulillah, shava sudah baik kan bun," jawabnya menganggukan kepala santai.
"syukurlah, kalau begitu bunda panggil dokter dulu ya." bunda Lista mengelus rambut Shava dengan sayang.
Shava menganggukkan kepalanya singkat. Jujur saja dia mulai sudah sangat bosan dengan aroma obat-obatan rumah sakit.
Selepas bunda Lista pergi, tiba-tiba rasa mengantuk menyerang Shava tanpa bisa di tahan lagi, ia akhirnya terlelap kembali dalam tidurnya.
Menandakan bahwa obatnya telah bereaksi.******
Bumi tidak pernah berhenti berotasi, hingga bulan mulai menunjukan eksistennya untuk menggantikan tugas matahari.
Dengan bintang yang senantiasa menemani bulan, hingga langit malam kembali memancarkan rasa sepi namun terasa tenang secara bersamaan, bagi sebagian manusia yang mempunyai banyak beban namun enggan untuk membagi beban dengan siapapun.
Hal itu juga berlaku bagi gadis bersurai hitam legam, hanya malam yang mampu menjadi saksi bisu semua keluh kesahnya selama ini, tak ada satu orang pun yang bisa Ia percaya sepenuhnya.
Saat ini Shava berada di kamar pribadinya. kamar bernuansa hitam bercorak abu-abu, dan di lengkapi beberapa furniture yang senada.
Sejak sore tadi Shava sudah di perbolehkan pulang oleh dokter, dengan syarat rutin meminum obat dan vitaminnya.
Shava merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara, dari pasangan Dimas Arsaloka dan Lista Trinan. Memiliki kakak laki-laki bernama Gatra neveres Arsaloka berusia 18 tahun dan adik bernama Karel Abiyaksa berusia 13 tahun.
Shava membaringkan badannya dengan terlentang, memandang secara lamat langit - langit kamarnya, "sampai kapan gue gini terus?" ujarnya dengan lirih, ia juga ingin hidup normal seperti kebanyak orang, tapi kenapa sulit sekali!
Ia bangkit dari tidurnya dan berjalan ke arah meja belajar, sedikit membungkukkan badannya untuk membuka laci meja. Kemudian mengambil sebuah figura berisikan foto keluarga kecil yang tersenyum bahagia.
Sebelum semua berubah menjadi hancur tanpa sempat di cegah.
"gue benci lo bang! semua yang gue alami itu semua karena lo! Seharusnya lo gak pergi gitu aja, gue belum buat lo menderita!!" Ara menatap tajam figura dengan sorot mata serat akan kebencian.
Rasa sesak memenuhi dadanya, nafasnya mulai tidak beraturan, kedua tangannya meremas figura dengan kuat berharap dapat mengurangi emosi yang akan meledak.
Ingatannya kembali saat dimana keluarga yang dulunya harmonis berubah, ketika kedua orang tuanya sering bertengkar dan berakhir memilih untuk berpisah, hak asuh Shava ada pada bundanya sedangkan kedua saudaranya ada pada ayahnya.
Kini Shava mengalihkan tatapannya pada sosok ayah yang saat ingin ia gapai sejak dulu. Sejauh ini ia tidak membencinya, mungkin belum! Saat ini Shava hanya kecewa, bahkan sangat kecewa.
Di saat ia sangat membutuhkan sosok ayah, berharap bisa merasakan dekapan hangat dan menenangkan dari cinta pertama seorang anak perempuan, justru malah mendapatkan punggung dingin dan sikap yang kasar.
Memejamkan mata sejanak kemudian menghirup udara dalam dan menghembuskan napasnya secara perlahan. Hingga teratur.
"gak. Gue gak boleh kebawa emosi!! Gue gak mau kembali ketempat sialan itu lagi." segera Shava menyimpan kembali figura itu di tempat semula.
Memilih untuk kembali mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang sangat lelah dan jenuh. Berharap ada hal baik yang ia dapatkan esok hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delusi
Teen FictionDelusi merupakan gangguan mental yang membuat penderita sulit membedakan mana yang nyata dan yang semu. Bahkan penderita delusi tetap menyakini apa yang ada dalam pikirkannya benar, meskipun sudah terbukti salah. Ada begitu banyak foktor yang dapat...