Helaan napas lelah terdengar dari perempuan yang sedang menatap lantai keramik putih di bawah kakinya yang sedang mengayun. Hari Senin paginya terasa sama seperti hari-hari lainnya yang mengejar tanpa jeda. Hampa, lelah, jenuh, dan menyebalkan.
Seperti pagi ini, Naella Miraya Putri atau akrab disapa Mira sudah terlalu muak untuk mendengarkan ocehan yang berlanjut sepanjang hari dari abangnya, Rangga. Mira tidak bisa berbuat banyak selain mendengarkan, walaupun tak jarang ia mencoba melawan untuk membela diri.
Terkadang Mira iri kepada abang dan adiknya yang selalu mendapatkan perhatian serta kasih sayang yang lebih dari orang tuanya. Sebagai seorang anak tengah yang memiliki dua peran sekaligus sebagai adik dan kakak, Mira merasa terbuang karena keberadaanya yang terabaikan.
Pertanyaan yang sama selalu menghantuinya setiap hari, apakah anak tengah tidak cukup layak untuk mendapatkan apa yang ia inginkan layaknya kedua saudaranya dapatkan?
Perempuan bertubuh kurus itu kembali pada kegiatannya memasukkan beberapa buku paket ke dalam tas ransel hitam. Setelah selesai, ia duduk dipinggir ranjang sembari melamun. Sebenarnya Mira bisa saja berangkat sekolah sepagi ini, hanya saja Mira merasa malas untuk turun ke bawah. Ia malas menatap wajah ayahnya yang baru pulang tadi malam.
"Kalau nggak niat bantuin, mending nggak usah bantuin."
Mira menoleh cepat saat mendengar ocehan dari Rangga yang berdiri tidak jauh dari luar kamar Mira. Perempuan itu mendengus, menyaksikan tatapan sebal yang tak biasa dari abangnya.
"Niat! Kalau nggak niat, gue ogah bangun sepagi ini buat bantuin lo beres-beres. Lagipun gue nggak tau kalau kaos kotor itu masih dipake," ujar Mira yang tidak merasa bersalah atas kesalahan kecil yang ia lakukan.
Tadi pagi saat Mira ingin mengepel lantai dapur dan ruang tamu, Mira tak sengaja melihat kaos putih milik abangnya yang tergeletak di atas mesin cuci. Ia pikir kaos itu sudah tidak digunakan lagi oleh abangnya karena sudah lusuh dan kotor. Jadi Mira menggunakannya sebagai kain pel.
"Ya udah, maaf." Pada akhirnya Mira memutuskan untuk mengalah.
"Dari semalem gue belum tidur, ngerjain skripsi yang belum kelar dari minggu lalu. Pagi-pagi gue udah harus ngurus rumah, ngurus lo sama Bian," tutur Rangga sembari membalikkan tubuhnya. Ia berjalan lelah diiringi perasaan kesal saat memasuki kamar tanpa mau mendengarkan penjelasan Mira, lalu membanting pintu kamarnya hingga membuat sang adik terkejut.
Kebetulan kamar kakak beradik ini memang saling berseberangan dan letaknya berada di lantai dua, jadi Mira sudah terbiasa mendengar ocehan Rangga yang terkadang menyebalkan.
Lamunan Mira buyar ketika mendengar suara Aluna, sang bunda yang memanggil abangnya berkali-kali dari lantai bawah. Namun, abangnya tak kunjung keluar apalagi menyahut. Akhirnya Mira yang sudah mengenakan seragam putih abu itu memutuskan untuk menemui Aluna di lantai bawah sembari merangkul tas ransel hitamnya di punggung. Sesampainya di meja makan, Mira melihat bundanya sedang sibuk menyuapi Bian, adik bungsunya.
"Lho, abang mana? Kok malah kamu yang turun? Daritadi bunda manggil, tapi nggak kunjung keluar dari kamarnya," ujar Aluna. Mira mematung. Memang tidak ada yang salah, namun ucapan bundanya membuat suasana hati Mira berubah. Ia mencoba untuk mengabaikannya dan tetap duduk di samping bundanya, walaupun kehadirannya seperti tidak diharapkan.
"Hari ini Mira les, pulang jam 5 sore. Bunda bisa jemput Mira, nggak?"
"Abangmu kan ada, bunda hari ini lembur, jadi nggak bisa."
"Abang nggak bisa, katanya dia mau ngerjain skripsi yang belum kelar dari minggu lalu sama temen-temennya."
"Ya udah, kamu pesen grab aja."
Wanita itu menatap wajah putrinya dengan tatapan dingin, menandakan ia sudah muak dengan pertanyaan yang terus terlontarkan dari putrinya. Mira tersenyum tipis. Dari awal, ia sudah yakin dengan jawaban dari bundanya.
Akhirnya ia hanya mengangguk, mencoba memahami bundanya, lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selamat Tinggal
Teen Fiction"Kita sama-sama rusak, Ra." Awalnya, aku nggak menyangka kalau pertemanan kita bisa sampai ke tahap ini. Aku ngerasa terlalu banyak luka buat bisa bareng sama kalian. Aku nggak pernah tahu apa itu rumah, dan aku khawatir aku nggak bisa jadi "rumah"...