Bab 9: One Day, One Girl.

1.2K 307 12
                                    

"Bisa kita bicara sebentar?"

Aku terpaksa keluar dari mobil karena Harvey kayaknya bakalan nekat mengejarku kemana pun sampai ia mendapatkan keinginannya. Lelaki itu menungguku dengan sabar sampai aku benar-benar berdiri tepat di hadapannya.

"Oke. Apa yang mau kamu bicarakan?" tanya tak sabar.

"Soal perkataan kamu tentang saya tadi pagi."

"Yang mana?" tanyaku pura-pura amnesia.

"Kamu memang punya masalah dengan memori kamu atau memang senang aja pura-pura lupa?" sindir Harvey. Kulihat rambutnya yang tadi pagi tertata rapi kini sudah sedikit berantakan yang mana justru semakin membuat penampilan Harvey menarik.

Aku meliriknya ogah-ogahan. Takut kepincut. "Bagian 'itu' cuma kecelakaan?"

"Setelahnya."

"It's just a kiss?"

"No, it's more than a kiss," kata Harvey jelas menolak melupakan kecelakaan kemarin. Sesaat pandanganku jatuh pada bibir Harvey, bibir yang kemarin... sssttt Darby!!

"Tapi, bukan bagian itu yang saya maksud."

Aku menggigit bibirku—sedikit frustrasi karena kebingungan antara ingin mencium Harvey saat ini juga atau berlari sejauh mungkin dari pria itu. "Kamu seorang womanizer?"

Harvey langsung menunjukku. "Persis, tapat bagian itu. See? Ternyata kamu memang senang pura-pura lupa," katanya berapi-api. "Kenapa kamu bisa berpikir begitu tentang saya?"

Because it's all on your faceee! Masa dia nggak bisa lihat dengan jelas, sih?

"Aku mengangkat bahuku. Itu kesan yang aku dapat, terutama setelah pertemuan pertama kita yang awkward itu."

Tiba-tiba Harvey menyunggingkan senyum tipis di wajahnya. "Pertemuan mana yang kamu maksud? Waktu kamu mengintip saya mandi saat masih pakai seragam SMA atau waktu kamu tersungkur di pintu ruangan saya setelah mengintip hal yang nggak seharusnya kamu lihat?"

Meski suasana di sekitar kami minim penerangan, aku yakin Harvey masih bisa melihat wajahku yang merah padam karena malu.

"Selain hobi pura-pura amnesia, kamu juga suka mengintip, ya? Sayang banget, padahal kalau kamu memang tertarik sama saya kan tinggal bilang aja." Mataku melotot mendegar ucapan Harvey yang penuh rasa percaya diri itu. Untuk sesaat, kami hanya berpandangan, berusaha mendorong magnet kuat yang menarik diri kami masing-masing untuk mendekat. Kalau sampai aku kehilangan kewarasanku malam ini, itu semua salah Harvey. Aku pun menarik napas dalam-dalam.

"Apa percakapannya bisa kita sudahi sekarang?" tanyaku mulai malas meladeni keinginan Harvey. Atau... tidak. Lebih tepatnya, berusaha menjaga diriku agar berhenti memikirkan Harvey. Semakin lama bersama dengan lelaki itu, aku benar-benar khawatir dengan keselamatanku sendiri.

"Sudah malam, aku perlu istirahat kalau kamu nggak mau dapurmu kebakaran besok."

Kulihat wajah Harvey tampak enggan melepaskanku malam itu. Tapi, akhirnya ia tetap membiarkanku pulang, setelah ia mengucapkan "Selamat malam, Darby" dan membukakan pintu mobil untukku.

Setelah percakapan kami yang nggak menyenangkan itu, aku melihat Harvey berbicara dengan seorang perempuan yang berbeda setiap harinya di Golden Plate. Mereka akan makan siang bersama, mengobrolkan sesuatu entah apa itu yang berhasil membuat si perempuan tersenyum terus-terusan dan tertawa sesekali sambil menyentuh tangan Harvey. Lalu, akhirnya Harvey akan membawa perempuan-perempuan itu ke ruangannya. Persis seperti apa yang kukatakan kepadanya, dia adalah seorang womanizer.

Chasing DarbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang