Prolog

323 32 0
                                    


Mata yang telah terpejam selama kurang lebih tujuh bulan itu mulai terbuka perlahan. Irisnya bergerak kemana saja untuk mengenali tempat tersebut. Dinding penuh dengan warna putih dan suara dari alat patient monitor terdengar nyaring di telinganya.

Rumah sakit, itu sebuah kata yang terpikirkan dibenaknya setelah melihat ke seluruh ruangan bernuansa putih itu. Dirinya coba mengingat apa yang terjadi sebelum ia bangun di atas bangsal rumah sakit.

Kecelakaan. Benar, dirinya sangat ingat bagaimana kecelakaan itu merenggut kesadarannya. Setelah itu, hanya gelap dan suara samar orang-orang berteriak.

Prank

Suara benda jatuh membuat irisnya beralih ke arah suara tersebut. Iris warna silver itu mendapati seorang pemuda dengan pakaian coklat dan hitam, anak gaul mungkin akan menyebut pemuda itu sebagai 'anak bumi' sesuai dengan style yang sedang dikenakan.

Pemuda itu mendekat, matanya berkaca-kaca dengan bibir yang gemetar, "Solar? Solar kamu sadar? Alhamdulillah ya Allah."

Solar, pemuda yang baru saja membuka matanya itu tersenyum melihat salah satu saudaranya berada di sisinya. Berapa lama dirinya tertidur? Hingga menyebabkan saudaranya ini menangis sesenggukan.

Jari telunjuk milik saudaranya itu menekan tombol merah yang berada di atasnya. Tombol itu adalah tombol untuk memanggil dokter. Benar, Solar harus diperiksa terlebih dahulu.

"Alhamdulillah, keadaan Solar sedikit demi sedikit mulai stabil. Ini diluar dugaan kami, kami mengira bahwa Solar akan koma selama bertahun-tahun untuk menerima organ tubuh barunya, tapi mungkin organ itu sangat cocok untuknya sehingga hanya butuh waktu tujuh bulan untuk sadar," begitu kata dokter setelah memeriksa keadaan Solar.

Tunggu, organ baru? Sebegitu parahkah kecelakaan sehingga ia harus menerima organ baru? Organ mana yang rusak dan harus diganti? Siapa yang merelakan organ berharga untuk dirinya?

"Terima kasih dokter."

"Sama-sama, kalau begitu saya permisi dulu. Cepat pulih ya, Solar," ucap sang dokter sebelum beranjak dari ruangan tersebut.

Saudara Solar sekarang sudah duduk di bangku yang berada di sebelah bangsalnya. Senyum manisnya itu merekah, membuat Solar merasa tenang.

"Kak Gem," ini adalah suara Solar setelah tujuh bulan menghilang.

"Iya? Solar butuh apa?" tanya Gempa dengan senyum manisnya.

"Yang lain mana kak?"

"Ada, sebagian dari mereka lagi dalam perjalanan kesini dan sebagiannya lagi gak bisa kesini karena urusan penting."

"Duri, termasuk yang mana kak?"

Gempa terdiam beberapa saat, "Duri lagi ada di luar negeri untuk riset beberapa bunga yang ada disana."

Kecewa, itu yang Solar rasakan sekarang. Kembarannya itu, apa tidak rindu dengannya yang selama tujuh bulan tak sadarkan diri? Kenapa dia malah ke luar negeri?

***

Seminggu sudah berlalu sejak Solar membuka matanya kembali. Dirinya mulai curiga pada saudara-saudaranya.

Bukan apa-apa, tapi dari keenam saudaranya hanya Duri, hanya Duri yang tak pernah hadir. Begitu pula saat dirinya bertanya tentang Duri kepada saudara-saudaranya, jawaban mereka seperti kurang meyakinkan. Lalu ketika dirinya meminta untuk menghubungi Duri, mereka bilang Duri sedang tidak bisa diganggu.

Oh ayolah, Solar pusing memikirkan semuanya.

"Kak Taufan, Duri tahu belum sih kalau aku sudah sadar?"

Hari ini Taufan lah yang menemani Solar di rumah sakit.

"Udah kok, tiap malam Duri nanya keadaan kita," jawab Taufan untuk meyakinkan adiknya.

"Kenapa harus tiap malam?"

"Solar tahukan kalau setiap negara itu punya waktu yang berbeda? Nah, kalau disini malam ditempat Duri sana masih pagi, begitupun sebaliknya."

"Oh begitu."

"Kak Taufan, boleh aku titip pesan ke Duri?"

"Tentu dong! Mau titip pesan apaan? Nanti aku sampaiin."

"Bilang ke Duri, cepet pulang, aku kangen," ucap Solar dengan nada sendunya.

"Iya, nanti kakak sampaiin!" jawab Taufan dengan senyum lebarnya.

"Maaf Solar, maafin kakak."

***

Kali ini manik mata silver milik Solar hanya memperhatikan setiap cairan infus yang tetes secara bertahap. Ia bingung harus berbuat apa, karena Solar tidak diperbolehkan untuk memegang ponsel atau sejenisnya, dengan kesehatannya sebagai alasan utama.

Dua remaja memasuki ruangan yang sedang Solar tempati. Dirinya menghela nafas lega, akhirnya dirinya tidak akan mati kebosanan.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam," ucap Solar menjawab salam dari dua kakaknya.

"Ngelamun aja, kayak gak punya semangat hidup," ejek salah satu dari dua pemuda yang baru saja datang dengan baju polos berwarna merah.

"Kenapa aku gak boleh pegang ponsel?"

"Untuk kesehatan," jawab orang yang memakai hoodie biru laut.

"Aku udah sembuh, tinggal masa pemulihan aja kan?"

"Itu namanya belum sembuh total!"

"Tapi kak, sebentar aja juga gak boleh? Aku mau ngomong sama Duri."

"Kalau kak Hali bilang nggak ya jangan dibantah, Solar!"

"Udah-udah, mending kamu makan dulu, kita udah buang-buang tenaga buat cariin kamu makan," kata Blaze yang menengahi perdebatan kedua adiknya.

Solar hanya bisa menuruti perkataan dan ucapan kedua kakaknya.

Pagi hari ini Solar memang belum makan, jadi dia harus makan meskipun hanya beberapa suap. Solar termasuk pasien yang ribet, karena dia tidak suka dengan masakan rumah sakit. Blaze dan Ice tahu hal itu, tetapi mereka lupa membawakan Solar satu kotak bekal dari rumah. Makanya, mereka pergi ke luar rumah sakit untuk membeli makanan.

"Duri... entah kenapa perasaanku hampa, aku doakan kamu baik-baik aja disana."

---

Tbc.

Jangan lupa tinggalkan jejak! 🐾

ROBOT [hiatus] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang