Milik Si Cantik

34 4 0
                                    

Panas tak pernah melunturkan baharinya, mendung tak sekalipun menggelapkan binarnya, seisi jagat pun tahu betapa elok parasnya. Dia tetap melangkahkan kaki, dipenuhi pengakuan diri. Menjadi buah bibir itu sudah pasti. Menjadi pihak yang dituduh sia-sia, dan menjadi tidak bisa berbuat apa-apa, itu juga dirinya.

Sebab ia adalah penduduk desa.

Seperti biasa, perempuan itu tindak ke lahan bapaknya, lagi-lagi mengenakan gaun biru muda sebetis−yang ia pakai ke sawah juga minggu lalu. Ada beberapa potongan kain kecil dijahit di sana, sebagai penambal bagian yang sebelumnya bolong. Entah berapa kali Umi menggerutu, pasti ada saja bagian rusak pada pakaiannya tiap kali balik dari  sawah.

Memangnya anakku bermain dengan tikus sawah? Pikir Umi.

"Bapak, nasi uduk!"

Begitu menangkap suara sang putri, diletakannya benih-benih padi di genggamannya. Hendak menghampiri Halim, secuil nama indah pemberiannya.

"Anakmu lagi yang membawa makanan? Mana istrimu?"

"Di rumah, sedang merawat kulitnya," jawab Bapak seolah menyombongkan diri, meski bukan itu maksudnya.

"Kenapa tidak anakmu saja yang kau biarkan merawat diri? Agar bisa dijodohkan dengan anakku kelak."

Bukannya menimpali, Bapak menepuk punggung pria paruh baya seumurannya itu. Lantas menaiki gundukan tanah bergelimang rumput di tepi sawah.

"Cok, biarkan anakmu bersekolah dan kumpulkan uang dahulu. Jangan memikirkan kawin saja. Lagipula anakku sudah cantik, pun dia lebih suka sekolahnya daripada anakmu," ucap Bapak dengan menekankan kata kawin pada pria bernama Ucok itu. Disambung gelak tawa Bapak, menandakan bahwa dia berkelakar.

Di sisi lain, Ucok menggeleng, matanya mengikuti langkah perginya Bapak. Lantas pria tua itu komat-kamit tanpa seorangpun dengar, "Buat apa sekolah? Ujung-ujungnya buat cari kerja, kalau gitu langsung kerja saja biar tidak penat dua kali.  Perempuan itu juga, cantik-cantik semestinya di rumah dan di dapur. Udah mau kepala tiga, bukannya kawin, malah belajar melulu."



---o---



Halim telah bersila di gubuk. Rantang berisi nasi uduk dan ayam goreng lengkuas dihiasi lalapan sudah ditata berjajar. Serta merta ia memberi jarak agar Bapak bisa melahap makan siang sembari bertemu tatap dengannya.

Melihatnya makin dekat, Si Gadis menyodorkan sebotol air dari sumur guna membersihkan tangan terlebih dulu. Selepas usai, Halim kembali menyodorkan botol air besar lain. Kali ini isinya untuk diminum Bapak.

"Pak Ucok ngomongin anaknya lagi, Pak?"

Bapak terkekeh, tampak kerutan-kerutan di ujung matanya. "Kamu tahu, kamu justru mau dinikahkan sama dia."

"Nikah sama Pak Ucok-nya?"

Baru sepotong daging ayam dibalut nasi yang masuk ke mulut, Bapak tersedak sesaat. Ia tergesa-gesa menenggak air, memaksa gumpalan nasi itu masuk ke perutnya.

"Bukan, Nak. Maksud Bapak anaknya, mau dijodohkan dengan kamu." Halim tergelak sebentar sebelum akhirnya suasana hati berubah.

Mengingat umur raganya tak lagi bisa dibilang muda, 'kepala dua' menjebaknya dalam alur hidup sebenarnya. Apalagi dia di desa, tetangga seakan menerornya untuk secepat kilat menjalin akad. Walau kedua orang tua tidak bersikap serupa, tetap saja tetangga Halim lebih banyak dari bapak-umi-nya.

"Kenapa ya, Pak? Orang selalu ingin aku cepat-cepat menikah? Padahal aku sudah bilang, aku belum siap dalam hal apapun untuk hal satu itu."

Bapak diam, lantas meletakkan rantang di tangan kirinya. "Yang paling penting itu mengenal diri sendiri, Nak. Halim sudah besar, sudah mengerti kan gimana hidup jadi orang dewasa?"

"Sulit, Pak."

"Betul. Makannya Bapak sama Umi selalu hargai pilihan Halim. Bapak biarkan Halim memilih apapun selama itu bermanfaat untuk diri sekaligus orang lain. Supaya Halim makin pandai menentukan pilihan sendiri di kehidupan yang mungkin semakin sulit juga ke depannya nanti."

"Menurut Bapak, ada banyak hal yang lebih penting dari kawin, Nak. Pendidikan, teman-teman, atau se-sederhana bawakan Bapak makanan ke sini?" lanjutnya.

Perempuan itu mengulum senyum, setuju akan pendapat sang ayah. Sekuat tenaga Halim meyakinkan diri dalam hati−melanjutkan studi di kota pendidikan setelah beberapa tahun memikul gelar sarjana dan menyongsong pekerjaan alit. Ia ingin meneruskan langkah lebih banyak dari sebelumnya, tuk menjadi psikolog terpercaya.

"Oh iya. Jadi bagaimana? Tetap mau mengambil S2?" Si Gadis mengangguk, yakin akan pilihannya sedari lama. Bapak tersenyum sambil menyantap gumpalan nasi uduk yang ke-sekian, lalu meletakkan rantang itu.

"Anak cantik Bapak bakal jadi dokter."

"Bukan dokter, Pak," rengek Halim.

"Sama saja. Kerja di rumah sakit, 'kan?" Lagi-lagi Bapak memancing tawa dengan umpan jenakanya.

"Sudah. Bapak makan saja dulu, bicara lagi nanti," suruh Halim.

Memandangi bapak dengan antusiasnya melahap masakan Umi, mendadak tergoyahnya hati perempuan itu. Ia meremas ujung gaunnya guna menahan pecahnya bendungan tangis. Merekam memori masa lalu, bagaimana Halim merasa rendah, bagaimana Halim merasa kalah. Sebab pada nyatanya, menjadi buah bibirnya orang-orang desa tak segampang itu.



Tampaknya Bapak sudah menyelesaikan suapan terakhir. Silih berganti, kini Bapak yang memandangi sang putri tengah menatap hamparan sawah di sisi mereka.

"Sudah, tidak usah memikirkan apa kata orang. Kalau menjelekkan, anggap saja seperti suara dangdut di kondangan," ucap Bapak seolah menjadi pendengar suara hati Halim.

"Tapi suaranya begitu mengganggu, Pak."

"Tinggal menjauh dari sana, Nak," pintanya seraya menutup telinga perlahan, "Atau tutup telinga." Bapak menggaris bawahi poin penting dari perbincangan mereka.

Sang anak manggut-manggut, cepat mengerti.



"Ayo, kita pulang."

.

.

.

.

.

the end



"Kita beruntung, Nak. Kita punya semua, dapat merasakan banyak. Tumbuh sehat, tumbuh di bawah atap rumah. Berapa banyak manusia di luar sana yang selalu hidup hanya beratapkan langit?"

"Diberi otak intelektual, ratusan kegiatan penting yang Bapak tidak tahu seberapa penatnya kamu melakukan, wajah rupawan, pujian, hingga kecaman pun ada. Bapak tahu, Halim sudah punya dan mengalami semua itu di umur yang masih muda ini. Iya kan, Nak?" 

"Bak mekar di antara bunga-bunga yang sama, tetapi kamu dianggap paling indah, Nak. Di satu sisi, ada apresiasi atas kecantikan yang kamu miliki. Di sisi lain, kamu dijadikan bahan iri dengki. Namun, bukan salah kita jika dibenci. Itu urusan mereka yang tidak mampu menata isi hati."

"Bapak tahu Halim kesulitan, Bapak tahu Halim bersedih hati. Makannya, Bapak sama Umi selalu di sini menemani."







Pada akhirnya "Si Cantik" menjadi pemilik separuh bentala. Suka, duka, cercaan, sanjungan, pendidikan, gagasan, dan yang terpenting, kecantikan. Tidak semua orang memiliki, dan tidak semua orang mengalami. Yang melalui akan mengerti, yang tidak akan mengkritisi.

.

.

.

.

.

I'm back with a new username and new me‼️

Up ma new story before get the exam next weekk omg, just relax first with this hehe^^

🦦✨️Kalo mau joki dibikinin cerpen, mampir ke ig aku aja kali ya sksksk
IG @gbrtaamm🌙🎀

Kritik dan saran sangat3 diperbolehkan, kesan dan pesan juga bolehh

enough, byee👋


23/05/2023

[SHORT STORY] Milik Si CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang