"Gue bukan gus, cuma orang biasa! Nama gue emang Guspi, udah dibilangin lima kali juga."
"Tsk. Nggak ada yang bilang kamu orang istimewa juga."
"Jadi gimana? Mau jadi partner gue?"
"Mau."
"Ngobrolnya pakai aku-kamu?"
"Nope. Nggak perlu ada yang berubah dari cara bicara, Gus."
---o---
"Mau beli ini?"
Kepala berbalut rambut lembut itu mengangguk seraya bersedekap−kebiasaan ketika menunggu sesuatu. Kini dilakukannya untuk seporsi kerak telur di pasar malam. Dia berlagak serius memperhatikan pembuatan makanan khas Betawi itu hingga akhir. Tanpa disadari, perempuan di sebelahnya menahan gelak tawa.
"Guspi...," bisik si gadis usil dan disambut dengan terperanjatnya seorang Guspi. SPKT, Si Pecinta Kerak Telur. Begitulah panggilan eksklusif dari Hayu−sang kekasih.
Merasa bulu kuduk menegang, lantas lehernya bergerak cepat, mengarah ke sumber suara. Hayu tersenyum, merasa gangguannya berhasil.
"Sesuka itu ya melihat orang bikin makanan?"
Pria berbalut kemeja denim lengan panjang itu mengangguk pelan dan tersenyum. "Jangan bosan ya," katanya disusul tangan kanannya menangkup pundak perempuannya.
Satu menit sebelum pesanan siap, Guspi merogoh saku celana. Diambillah kunci mobil di dalam sana. Di waktu beriringan, gerombolan laki-laki sebayanya melintas, sembrono pula tingkahnya sampai-sampai bahu kanan Guspi tertabrak salah satu di antara mereka. Membuat kunci yang belum tergenggam total terpental ke tengah jalan. Sontak kedua pihak saling kontak mata. Sorot pandang Guspi tenang, sementara si 'penabrak bahu' tampak penuh amarah.
Aneh, sebagian hal di dunia memang sudah terbalik.
"Biar aku ambil, kamu tunggu kerak telurnya," utus Hayu. Tidak menunggu diiyakan, ia cepat-cepat mendatangi benda kecil tergeletak milik Guspi itu.
Di tengah hiruk-pikuk pasar malam, syukurlah tak ada tanda-tanda api perkelahian antara Guspi dan sosok di hadapannya. Akan tetapi tetap saja, belum ada kata maaf terlontar di antaranya. Sementara di sisi lain, Hayu tengah menegaskan mata bersama sebuah kunci mobil dalam genggaman. Ia merasa familier akan satu orang terdepan yang menghadap Guspi.
"Kerak telurnya udah?" tanya Hayu basa-basi selepas kembali. Spontan lelaki itu memalingkan tatapan dan segera memberi selembar uang pada bapak pedagang. Dengan artian, makanan sudah di tangannya.
"Ayo pergi."
Belum sempat menyeret satu langkah, lengan seseorang lebih dulu menghalangi Hayu. Tingkahnya seolah sedang meneliti wajahnya.
"Hayu?" Orang itu melirik Guspi yang berdiri di belakangnya, "Pacar kamu? Udah punya yang baru? Cepat juga, ternyata nyari yang lebih ganteng ya, Hay."
Hayu memilih masa bodoh terhadap pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Secepat mungkin, tangannya merengkuh lengan Guspi. Menggeretnya pergi sejauh mungkin dari pandangan pria beralis tebal itu.
Beberapa kali teriakan muncul menyebut namanya, bersaut-sautan dengan cakap-cakap orang dan suara kendaraan. Namun Hayu tetap pada pendiriannya−enggan membuang waktu bersama orang yang tak punya adab dan prinsip.
...
Gemerisik kantung plastik memenuhi mobil, siapa lagi kalau bukan ulah Hayu. Guspi merasa sah-sah saja jika kendaraannya dibuat bising, asalkan Hayu di sisinya. Ia membiarkan sang tambatan hati membuka satu per satu apapun yang telah mereka beli.
KAMU SEDANG MEMBACA
[SHORT STORY] Milik Si Cantik
Short Story"Dunia hanya milik orang cantik." "Kamu cantik, kamu aman." Begitukah kesahihan buana yang diisi butiran manusia? pic. (on header) by : me