V

979 67 12
                                    

Setelah apa yang terjadi tadi malam di rumah kaca, aku jadi bisa tidur malam dengan nyenyak. Kantung mataku juga sudah memudar. Hebat. Barangkali, aku harus sering-sering menghadapi hal-hal aneh agar bisa tidur.

Corby.

Jadi, itu nama pria sialan itu. Dan aku baru mengetahuinya tadi malam. Akan kuapakan dia kalau kami bertemu lagi nanti? Menonjoknya saja tidak akan cukup. Mungkin aku harus menghancurkan wajah gantengnya. Itu pasti cukup.

Pintu kamarku diketuk ketika aku sedang memakai sepatu. Sedetik kemudian, pintu terbuka dan sebuah kepala dengan rambut panjang muncul dari balik pintu. Kepala itu tersenyum ketika melihatku. Lexa.

"Hei," sapanya. "Kau sudah siap?"

Aku memakai almamater sekolah dan mengangguk. Sesaat kemudian, aku dan Lexa sudah menyusuri lorong asrama menuju ruang makan.

"Jadi, apa kau sudah merasa baikan?" tanya Lexa ketika kami sedang menuruni tangga.

"Yeah, kurasa. Tidurku nyenyak," jawabku.

"Bagus! Kita bisa membahas yang kemarin. Aku dan yang lain akan melatihmu menggunakan kekuatanmu," ucap Lexa, ceria seperti biasa. Aku hanya bergumam.

Di depan pintu ruang makan, Lev sedang mengobrol dengan dua orang cewek. Begitu dia melihatku dan Lexa, dia tersenyum simpul dan berkata sesuatu kepada dua cewek itu sebelum menghampiri kami berdua.

"Hei," sapanya.

Lexa menatap saudara kembarnya dengan alis terangkat. "Tadi itu siapa?"

Lev menoleh sebentar ke arah dua orang cewek tadi yang sedang berbicara sambil sesekali melirik kami, atau mungkin lebih tepatnya Lev, sambil melemparkan senyum sok manis. Ih.

"Ah, mereka? Biasalah, para penggemarku," ucap Lev sambil mengangkat bahu.

Lexa memutar bola matanya dengan tampang jengkel. "Yeah. Penggemar," ujarnya.

Lev nyengir. "Kenapa? Kau cemburu padaku, ya?"

Lexa mendecakkan lidahnya. "Kau berharap sekali aku cemburu padamu? Silakan bermimpi selamanya. Aku hanya tidak suka melihat cewek-cewek centil itu mendekati adik kecilku."

"Hei, jangan panggil aku dengan sebutan itu!" protes Lev

"Jadi, kau lebih tua daripada Lev?" tanyaku pada Lexa.

Lexa mengangguk. "Meski hanya tiga setengah menit."

"Tapi lihat! Tampangku lebih dewasa daripada dia, kan?" ejek Lev sambil merangkul saudarinya yang langsung ditepis cewek itu.

Selama beberapa saat, aku menyaksikan mereka saling tatap. Lexa menampakkan wajah garangnya, sedangkan Lev menatap 'kakak'-nya dengan tampang mengejek.

"Uh, teman-teman? Kurasa kita sebaiknya tidak melewati sarapan. Kita lanjutkan kontes saling tatapnya nanti. Aku lapar," ucapku memecah keheningan.

"Yeah, kau benar. Aku juga sudah lapar," ucap Lexa padaku, lalu dia menatap Lev lagi dengan sorot mata pembunuh. "Awas kau nanti," ancamnya.

Lev tertawa kecil. "Oh, kau membuatku takut, Kak," ucapnya dengan memberi penekanan pada kata "Kak". Lexa mendengus kesal.

Oke, sepertinya aku berhasil mencegah terjadinya perang saudara di sini. Aku tidak mau berubah menjadi patung es karena mereka.

◇ ◇ ◇

"Pokoknya, kau bakal langsung menyukai mereka! Mereka semua sangat asyik!"

Lexa berkata dengan penuh antusias. Aku hanya mendengarkan sambil terus berjalan ke rumah kaca. Lev daritadi hanya diam tanpa berusaha menghentikan ocehan Lexa. Serius. Lexa sudah berkali-kali membahas tentang anak-anak yang memiliki 'bakat' seperti kami bertiga. Ini sudah yang kelima kalinya, dan sepertinya tidak ada tanda-tanda dia akan berhenti. Harusnya, aku bawa lakban.

FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang