Part 19

890 42 29
                                    

Aku tidak bisa bergerak. Meskipun otakku meneriakkan tubuhku untuk bergerak dan menghajarnya, tubuh ini sama sekali tidak menurutinya. Seolah rasa sakit pada bahuku membuatku mati rasa. Terlebih, dengan teriakan pilu ibuku saat pisau Jaejong kembali menancap pada perutnya.

AAAAAAGGGGGHHHHH!

Jaejong sama sekali tidak menghiraukan teriakan penuh derita ibuku. Ia sama sekali tidak berhenti meski ia mendengarnya, tangannya terus bergerak hingga membelah perut ibuku kemudian ia memasukkan tangannya di celah perut ibuku.

Kedua mataku membulat saat ia mengeluarkan sesuatu dari sana. Merah, besar dan penuh dengan darah. Ada sebuah tali yang menghubungkan benda itu dengan perut ibu dan Jaejong memutuskannya begitu saja dengan mudah, membuat ibu kembali berteriak sambil menangis keras.

Jaejong tersenyum keji pada benda yang ada di tangannya. Aku tau benda apa yang di pegangnya. Bukan, bukan benda. Tapi siapa, siapa yang ia pegang. Aku tau itu, itu adalah adikku.

Ibu berhenti berteriak dan aku tau, ia akan menyusul ayah dan adikku yang tak bernama ke tempat yang tidak bisa ku gapai lagi. Dan semua karena pria itu.

"Aku mengeluarkannya sekarang, tidak ada lagi penerus keluarga JEON, JUNGKOOK!" ujar Jaejong.

Aku tidak mau mendengarkan lebih lama kegilaan pria itu. Ku bawa tubuhku merangkak ke pintu kamar dan berusaha untuk mencari bantuan. Aku tidak bisa membunuh pria itu tanpa satu pun senjata, aku harus mencari seseorang.

DOR! DOR!

Jaejong menembakkan peluru padaku yang sayangnya ku hindari dengan berhasil membuka pintu kamar kemudian keluar secepat mungkin. Ku tutup pintu sebelum Jaejong menyusul dan aku terjatuh dengan kaki yang bergetar.

Aku tidak bisa bergerak, kakiku bergetar karena otot yang terkejut dan terlalu dipaksakan sehingga gemetar. Tidak ada jalan lain, aku harus berteriak.

"TAEHYUNG! NAMJOON! JIMIN! JIN! HOSEOK! YOONGI! ATAU SIAPA SAJA!" Teriakku.

BRAK!

Seperti yang kuduga, Jaejong keluar dengan pistol di tangannya. Penampilannya yang semula rapi dan bersih, kini telah ternodai dengan darah. Di tangan kanannya ia memegang pistol dan di tangan kirinya ia memegang adikku.

Kedua mataku menantangnya yang menatap dingin dan merendahkan ke arahku. Tubuhku bergerak mundur hingga menabrak dinding. Mungkin sudah saatnya aku menyusul orang tuaku dan adikku? Apakah suaraku tidak terdengar oleh mereka?

"Kau menyedihkan sekali.." ejek Jaejong.

"Diam kau... aku bersumpah, aku akan membunuhmu.. meski harus bangkit dari neraka sekalipun!" Ujarku geram.

"Oh ya? Kita coba saja dengan melubangi kepalamu sekarang-" ucap Jaejong terpotong karena mendengar suara tembakan.

DOR!

"JANGAN BERGERAK!"

Sebuah tembakan berasal dari sisi kiri yang hampir mengenai Jaejong, membuatku langsung menoleh dan tersenyum lega. Namjoon datang menyelamatkanku dengan kedua pistol di tangannya. Suaraku berhasil ia dengar.

"Ck, aku tidak menyangka suaranya berhasil membangunkan kalian.." ucap Jaejong.

"Aku tidak tidur! Aku sedang berjaga.." ucap Namjoon.

"Apa yang kau tunggu? Kemarilah dan tembaklah aku dan akan ku tembak kepalamu.." tantang Jaejong.

Aku benci ini. Aku sama sekali tidak berdaya, tubuhku bergetar hebat hanya karena satu tembakan dan semua darah di dalam kamar itu.

Enjoy The Pain (NC21+) [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang