23. Merasa Gagal

4K 322 10
                                    

Siap ketemu Papa Janu?

Janji nggak hujat doi ya!















Nada menggeram kesal begitu turun dari angkutan umum dan menemukan mobil Janu berhenti tidak jauh dari posisinya. Tak lama waktu berselang, pria itu turun, menghampirinya sambil melepas kacamata hitam yang bertengger di hidung bangirnya, menyelipkannya diatas kancing kemeja.

"Kok, ke sini? Emang kamu nggak kerja?" tanya Janu, heran, berhenti di hadapan Nada.

Wanita itu memang berniat melipir ke toko buku sembari menunggu anaknya pulang. Tapi ternyata Janu mengikutinya. Sial! "Mas, urusan aku kerja atau enggak, kamu nggak berhak ikut campur. Dan ngapain juga kamu ngikutin aku?"

"Tadinya aku mau ketemu sama gebetanmu itu. Mau bilang supaya dia jangan terlalu caper sama anakku," kata Janu, yang entah kenapa bikin perut Nada tergelitik pengin ngakak detik itu juga. Apa katanya? Caper?

"Bukannya kamu?" balik Nada, menaikkan satu alis. "Yang kemaren dateng lagi ke rumah cuma buat nganterin sepeda," imbuhnya, sarat akan sindiran. "Agaknya kamu perlu ngaca deh, Mas."

"Kalau kamu lupa, sebelum si Resti itu dateng-"

"Namanya Restu," koreksi Nada, memotong.

Janu mengibaskan tangan tak peduli. "Whatever!" Meneruskan pembelaan. "Aku udah janji bakal bawain sepeda Eila ke rumahmu, makanya aku dateng. Mana ada aku caper. Itu tuh bentuk pembuktian janji seorang ayah ke anaknya."

Cih!

Nada memutar mata. Berdebat dengan Janu adalah hal paling menyebalkan. Tiga bulan menjalani bahtera rumah tangga dengan pria itu, sering terlibat cekcok-baik karena hal sepele maupun sepele banget, buat Nada paham bagaimana mantan suaminya itu. Janu tipikal manusia yang ingin selalu dianggap benar-sekecil apa pun kesalahannya. Tapi kalau lawan bicaranya yang salah, dia akan dengan senang hati mengulitinya hingga ke akar-akar. Oleh sebab itu, Nada memilih menyudahi. Balik badan-bermaksud pergi, kalau saja pergelangan tangannya tidak sigap digapai oleh sang mantan. Nada mendesis, kepalanya tertoleh ke Janu. "Apa lagi?"

"Aku ikut."

"Ini toko buku."

"Ya terus?" balik Janu, suaranya agak meninggi, terkesan sewot.

"Isinya buku-buku semua. Orang kayak kamu mana betah di sini?"

"Namanya toko buku, ya pasti isinya buku. Kecuali kepalamu tuh; isinya Resti melulu!" timpal Janu, masih saja sewot.

Memancing kerutan di dahi Nada. "Apaan sih! Nggak nyambung banget!"

"Ayo, masuk!" ajak Janu, meraih pergelangan tangan Nada, dipaksanya wanita itu masuk ke mobil untuk diparkirkan, lantas keduanya memasuki toko buku. Deretan buku dari berbagai macam genre dan kategori, menghiasi pandangan. Janu mengikuti Nada yang berderap ke rak khusus novel fiksi. "Dulu aku sering lihat kamu baca novel," katanya.

Agak kaget, Nada menoleh. Langkahnya terhenti. Buat Janu yang tak siap dengan refleksnya, kontan menabrak dadanya. Nada langsung mundur-sedikit salah tingkah, sementara Janu mengacak surai legamnya sambil memalingkan muka.

"Maksud aku, nggak sengaja lihat," ralat Janu, buru-buru.

"Ada buku yang ketinggalan di rumahmu nggak?" Entah kenapa Nada justru menanyakan bukunya yang hilang. Bertepatan dengan hari pernikahannya, tulisan yang berisi sekumpulan puisi satire, yang ia publish di salah satu platform menulis, terbit dalam bentuk buku. Tapi jangan salah. Seperti yang sudah dijelaskan, buku itu terjual sekian ribu ekslempar, dan Nada mendapat dua sampel dari penerbit-walau itungan royaltinya tidak jelas.

Repair [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang