Bab 10

734 378 150
                                    

Tandai typo!

Pasti semua orang mempunyai masa lalu yang kelam, sebuah kisah yang tertutup rapat di balik kesibukannya dalam bekerja. Mungkin itu hanya sebuah kenangan pahit yang tak ingin mereka ungkap, atau bisa juga sebuah rahasia kelam yang mereka sembunyikan dengan tekun. Siapa tahu, di balik wajah dinginnya itu tersembunyi luka lama yang belum sembuh. Setiap orang memiliki kisah yang tak terungkap, sebuah misteri yang terkunci rapat di dalam hati mereka.

Seperti daun kering yang tertiup angin, masa lalu itu bisa tiba-tiba menyeruak kembali, membawa perasaan sedih, kecewa, atau bahkan kemarahan. Mungkin itu adalah sebuah kekecewaan yang mendalam, sebuah kehilangan yang tak terlupakan, atau sebuah kesalahan yang tak termaafkan. Namun, setiap orang memiliki cara mereka sendiri untuk menghadapi masa lalu itu, ada yang memilih untuk menghindarinya, ada yang memilih untuk menerimanya, dan ada yang memilih untuk berdamai dengannya.

Seperti Artaya, ia pergi meninggalkan negara itu setelah dua hari kedua orangtuanya dan adik pertamanya dimakamkan. Kesedihan yang menyergap tak mampu dibendungnya lagi. Ia takut, takut akan terjebak dalam kesedihan yang tak berujung. Ia ingin mencari tenang, mencari tempat di mana ia bisa bernapas lepas tanpa terbebani kesedihan yang menghancurkan jiwanya. Ia berharap dengan meninggalkan negeri itu, ia bisa menemukan ketenangan yang ia butuhkan untuk menyembuhkan luka yang terukir dalam hatinya.

Bagaimana rasanya ketika pulang-pulang, harapannya disambut oleh orangtuanya, malah disambut dengan banyak darah yang berada di lantai? Adiknya, Rey, terbaring di dekat sofa dengan tubuh yang terdapat senapan. Artaya terpaku, tubuhnya menegang. Darah di lantai, senapan di samping Rey, semuanya menjerit ketakutan dalam hatinya. Sebuah rasa dingin menyerbu jiwanya, seolah dunia berhenti berputar. Dia ingin berteriak, ingin mencari jawaban, tapi kata-kata terjebak di tenggorokan. Hanya kesunyian yang menyeramkan yang menghiasi rumah yang dulu merupakan sarang kehangatan dan kebahagiaan. Ingatan tentang senyum Rey, tawa yang merdu, dan pelukan hangat tiba-tiba bercampur dengan bau anyir darah yang menyeruak ke hidungnya. Seolah-olah dunia telah berbalik, menunjukkan sisi gelap yang tak pernah ia bayangkan.

-oOo-

12 tahun yang lalu ....

Malam itu, Artaya kerja kelompok untuk projek kelasnya di salah satu rumah temannya. Hingga pukul 10 malam, ia baru saja pulang dan menaruh sepedanya di garasi rumah. Ia masuk lewat pintu garasi yang menghubungkannya dengan rumah. Betapa terkejutnya ia melihat rumahnya yang sangat berantakan, pecahan vas bunga berserakan di mana-mana, tembok yang tadinya mulus kini retak entah karena apa. Ia melangkah masuk, memanggil nama semua orang rumah, namun tak ada sautan.

Hal itu membuat Artaya merasa aneh dengan rumahnya. Suasana yang sunyi senyap itu semakin membuat jantungnya berdebar kencang. Saat di ruang tengah, matanya melihat Rey, tergeletak di belakang sofa dengan tubuh yang dipenuhi darah. Darah itu mengalir seperti sungai kecil, mengotori lantai marmer yang bersih. Artaya terpaku, napasnya tercekat di tenggorokan. Seolah-olah dunia berhenti berputar, hanya tinggal keheningan yang menusuk jiwanya.

"REY!!" Artaya berlari menghampiri adiknya, matanya berembun melihat keadaan bocah 13 itu.

"R-Rey! Dengan Abang! Dengar Abang, Rey!" Seketika Artaya memeluk tubuh lemas itu, menangis meraung-raung. Tangisnya pecah, membasahi pipi Rey yang pucat. Tangannya gemetar, meraba tubuh Rey yang dingin. Ia mengusap kening Rey yang ternoda darah kental itu, berharap ada sedikit tanda kehidupan.

"Bangun, Rey! Jangan tinggalkan Abang! Jangan tinggalkan Ayah sama Ibu!" seru Artaya.

Seketika ia teringat dengan kedua orangtuanya, ia melepas pelukannya dan mengusap kasar air matanya. "Bunda ... Ayah ...." bisiknya, suara itu terengah-engah, tertelan oleh rasa sesak di dadanya. Ia ingin menemui kedua orangtuanya, mencari ketenangan yang tak pernah ia temukan sejak keduanya pergi. Lantas beranjak, pandangannya menatap sekitar, kelimpungan ingin kemana. Matanya beralih ke ruangan lain, mencari jejak orangtuanya. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah-olah ia sedang menelusuri jalan yang dipenuhi duri. Hatinya hancur berkeping-keping, ia tak tahu harus berbuat apa lagi.

Leno Alendra [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang