Bagaskara. Sambutan manis itu tak ada henti. Bertapak diantara galaksi. Entah bagaimana binarnya menghangatkan pertiwi. Gatra pun tak mampu menggeraikan keelokannya. Menyinari istana kecil dengan beribu kisah. Anindya, nama yang indah dengan segenap pancaran kegembiraan. Peri kecil itu dipangkuan rajanya. Penuh kebahagiaan dan kehangatan, disusul kedatangan ratu dengan tiga cawan susu dan kue madu di atas nampan.
Tawa riang menjadi sambutan keceriaan gadis 10 tahun itu, timang manja dari sosok ayah dan bunda menyelimuti setiap lekukan senyumnya. Anindya yang lincah berlari mengejar kelincinya pada tanah rerumputan yang basah, kemudian dengan tawa puas ia menggendong kelinci putih itu dengan rasa kegemasannya. Untuk kesekian kalinya gadis manis itu membuat bundanya begitu banyak bicara karena tingkahnya yang usil, entah sudah berapa banyak lipstick yang ia habiskan untuk menghiasi bibir mungilnya.
"(drreetttt...drrreettt...drrreeettt...)" dering ponsel bergetar di atas ranjang pada sebuah kamar sedehana dengan konsep putih minimalis, sinar matahari yang menembus jendela berhasil menyinari pagi gadis 17 tahun yang hingga kini masih tertidur lelap dan kemudian terbangun karena dering ponsel diranjangnya.
"Aanjjiirr...cuman mimpi, kenapa harus kebangun sih, masih dinikmatin juga mimpinya" ujar Anindya terkejut. Namun sepertinya ada yang tidak beres, ia melirik jam yang telah menunjukkan pukul 08.00 membuatnya semakin terkejut dan berlari menuju kamar mandi kemudian bersiap menuju sekolah.
Gadis itu terbirit-birit berlari dan hanya mencepol rambut ikal nan panjangnya, ia sudah pasrah jika harus dihukum lagi karena keterlambatannya ini. Sesampainya di sekolah, para guru petugas ketertiban sekolah sudah berjejer didepan pintu gerbang seakan siap menodongkan hukuman pada Anindya.
"Ana Anindya Stevany, sudah berapa kali kamu terlambat hm?" tanya Bu Nunik.
"Sudah ke 15 kali Bu,"
"Itu bukan pertanyaan yang harus kamu jawab ya!"
"Maaf Bu, saya tadi bangun kesiangan, besok saya tidak akan terlambat lagi Bu,"
"Kamu sudah berkata begitu sejak 15 hari yang lalu juga Anindya," tambah Pak Badrun
"Hukuman saya kali ini apa lagi Pak?"
"Kamu bertanya begitu apa memang ingin sekali dihukum setiap hari Anindya?"
"Yah, salah lagi ya Pak, Okey saya akan diam Pak."
"Dasar bocah." Ungkap Bu Nunik kesal
"Bapak bingung harus ngasih hukuman apalagi ke kamu biar kapok Anindya,"
"Waahh, kalau begitu saya tidak usah dihukum Pak, sekali-kali boleh laa Pak, biar Bapak tidak pusing juga mikirin hukuman buat saya,"
"Hehh tidak bisa begitu, kamu sudah melanggar peraturan sekolah jadi jelas kamu harus mendapat konsekuensi atas perbuatan kamu, sudah sana bantu Bu Ayu menata buku diperpustakaan, kamu cari buku WIWARA karya Kridalaksana lalu kamu resume semua isi buku itu. Itu hukuman buat kamu,"
"Yaahh Pakkk....kenapa hukumannya bercabang-cabang gitu...menata buku aja ya Pak, saya masih harus mengerjakan banyak tugas juga soalnya Pak,"
"TIDAK BISA....mangkanya kalau tidak mau dihukum jangan berangkat terlambat,"
"Saya sendiri pun sebenarnya juga tidak ingin berangkat terlambat Pak, saya juga sudah berusaha bangun pagi tapi...."
"Heess... sudah sana dikerjakan hukuman kamu, untuk hukuman meresume saya beri toleransi waktu mengumpulkan sampai besok pulang sekolah, mengerti Anindya?"
"Mengerti Pak... tapi Pak...." Balasnya menatap kepergian Pak Badrun.
Dengan mood pagi yang berantakan Anindya menuju perpustakaan untuk melaksanakan hukumannya. Perpustakaan nampak begitu sepi karena para murid sedang dalam jam pelajaran. Menata buku di perpustakaan bukanlah hal yang sulit bagi Anindya karena ia sudah terbiasa dengan barang-barang berat sehingga tak butuh waktu lama bagi Anindya untuk mengemas buku-buku tersebut.
Bahkan Bu Ayu sebagai pustakawan merasa heran dengan kemampuan Anindya yang begitu cekatan dalam mengemas buku dalam jumlah yang banyak dan berat itu dengan hasil yang rapi. Jika Bu Ayu membutuhkan waktu lebih dari 2 jam untuk mengemasi, mengeluarkan, memasukkan, hingga merapikan buku-buku tersebut, seorang Anindya hanya perlu 45 menit untuk menyelesaikan semua itu.
Kegiatan di perpustakaan benar-benar menguras tenaga Anindya, apalagi saat mencari buku WIWARA seperti yang diperintahkan Pak Badrun sebelumnya. Setelah menemukan buku yang ia cari, Anindya bergegas menuju kelasnya. Ia menatap lekat buku didekapannya, memikirkan bagaimana cara menyelesaikan resume buku berjumlah 199 halaman tersebut dalam waktu 1 hari. Setibanya dikelas, pikirannya dibuyarkan dengan kondisi kursinya yang telah diisi oleh orang lain.
"Maaf Bu, saya datang terlambat karena tadi harus melaksanakan hukuman dari Pak Badrun, tapi itu tempat duduk saya ditempati oleh murid lain, jadi saya duduk di mana Bu?"
"Oh tadi Ibu kira kamu tidak masuk sekolah, jadi Ibu suruh menempati murid baru, kalau begitu Argon kamu ambilkan 1 kursi dan bangku di kelas sebelah ya," pinta Bu Murti pada Argon yang merupakan ketua kelas.
"Baik Bu,"
"Oh ini tempat duduk kamu? Maaf maaf, yaudah kamu duduk sini aja," ungkap laki-laki bertubuh atletis dan berambut minimalis itu berdiri menenteng tas ranselnya untuk berpindah tempat.
"Gapapa kali santai aja, lo duduk situ aja gapapa," jawab Anindya sinis
"Beneran gapapa? Aku jadi ngrasa ngrebut tempat duduk kamu,"
"Santai aja kali, cuman kursi doang, gue duduk di mana aja bisa,"
Tak lama Argon datang membawa 1 kursi kemudian meletakkannya tepat disebelah bangku lama Anindya yang sekarang ditempati oleh murid baru tersebut.
"Nah kan, sebelahan juga sama bangku lama gue, ini mah geser doang duduknya"
"Iya ya" balas laki-laki itu dengan senyum renyahnya.
"By the way, itu buku WIWARA kan? Kamu suka baca itu juga?" tanya laki-laki itu lagi
"Ohh nggak lah, ini buku harus gue resume buat hukuman telat hari ini,"
"Oh gitu, kenalin aku Kenzo," ungkapnya sambil mengulurkan tangan pada Anindya untuk berkenalan
"Anindya. Btw lo orang mana sih? Geli deh dengernya aku kamu," balasnya
"Aku dari Jogja,"
"Ooh pantesan."
***
VOTE & COMMENT YAU
KAMU SEDANG MEMBACA
The Childhood
Novela JuvenilAku, kamu, dan waktu. Ini kisah yang sederhana, hanya tentang bagaimana mereka saling mengetahui kebenaran dan faktanya, bahwa mereka pernah memiliki waktu yang sama. "Oh ini tempat duduk kamu? Maaf maaf, yaudah kamu duduk sini aja," "Gapapa kali...