"Lagi baca apaan, Han?" tanya Arnan menghampiri seorang gadis yang sedang duduk bersila di bawah pohon sambil membaca sebuah novel.
"Baca ayat kursi biar lo kebakar," jawab gadis berambut hitam legam itu dengan tenang.
Arnan yang mendengar itu pun justru tertawa. Memperlihatkan gingsul yang berada di gigi kanannya.
"Nggak bisa banget diajak basa-basi," ujar cowok itu kemudian ikut duduk di atas rerumputan hijau tersebut.
"Gue paling anti basa-basi sama kadal jadi-jadian kayak lo," celetuk gadis itu sambil membalikkan lembar novelnya.
Cowok dengan seragam putih abu-abu itu pun kembali tertawa.
"Numpang nyandar bentar," ujar Arnan, menyandarkan punggungnya pada punggung Hanna.
"Ish! Berat, Arnan!" pekik Hanna saat punggung tegap itu bersandar di punggung kecilnya.
"Bentar doang. Gue capek banget abis main basket tadi," jawab Arnan kemudian mengeluarkan HP-nya dari saku celana, kemudian memiringkannya setelah layar HP tersebut menampilkan salah satu aplikasi game online yang cukup terkenal.
Mendengus sebal, Hanna pun kembali membaca novelnya.
Dua menit berlalu, kedua remaja tersebut mulai tenggelam dengan aktivitas masing-masing.
Namun kini yang bersandar justru malah Hanna.Terik matahari yang terhalang pohon besar, serta semilir angin yang cukup kencang menambah kenyamanan dua remaja yang duduk dengan posisi saling membelakangi tersebut. Hanna yang duduk bersila dengan sebuah novel di tangannya dan Arnan yang duduk dengan kaki kiri yang selonjoran, sedangkan kaki kanan ia tekuk sebagai penyangga lengannya yang memegang Handphone.
Sepuluh menit berlalu.
"Ya ampun gue nggak relaaa!" seru Hanna tiba-tiba, membuat Arnan seketika menghentikan game yang sedang ia mainkan.
"Apanya yang nggak rela?" tanya Arnan membalikkan badannya, heran karena tiba-tiba Hanna berkata seperti itu padahal dari tadi tidak ada perbincangan di antara mereka.
"Eh ... lo kenapa nangis?" tanya Arnan, terkejut melihat air mata Hanna yang sudah mengalir deras.
"Pemeran utama cowoknya mati," jawab Hanna dengan ekspresi yang begitu sedih sambil mengangkat novel yang baru selesai ia baca.
"Lo ...." Arnan kehabisan kata-kata. Tak habis pikir dengan cewek satu ini. "Lo nangis gitu cuma gara-gara cowok novel mati?" Heran Arnan.
"Heh! Cuma lo bilang?!" murka Hanna. "Lo tu nggak tau gimana sedihnya waktu cowok fiksi kesayangan gue meninggal!" imbuhnya sambil memukul lengan Arnan menggunakan novel.
"Apalagi ceweknya itu baru tau kalo selama ini cowoknya itu perjuangin dia dengan caranya sendiri, dan sekarang ceweknya langsung nyesel setelah liat mayat cowoknya ... Nyesek banget tau nggak?!" seru Hanna malah curhat, kemudian mengelap air matanya menggunakan punggung tangan.
Arnan yang melihat itu pun hanya menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Menatap Hanna dengan tatapan prihatin. Tetapi bukan kasihan dengan cerita novel yang dijelaskan Hanna tadi.
"Kenapa?!" tanya Hanna sewot, melihat Arnan yang terus menatapnya. "Nggak usah heran sama gue. Gue emang suka nangis gara-gara novel," imbuhnya dengan kedua tangan menghapus bekas air mata di pipinya.
"Lo emang satu spesies sama adek gue," balas Arnan, mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Spesies-spesies! lo pikir gue hewan?! protes Hanna tidak terima dengan penggunaan kata yang diucapkan Arnan barusan. "Lagian spesies apaan coba?!"
"Spesies cewek pecinta fiksi ...," jeda Arnan. "Adek gue juga suka banget baca novel. Bahkan mungkin lebih parah dari lo."
"Dan gue nggak kebayang kalo kalian berdua disatukan," imbuh Arnan sambil menggeleng dengan ekspresi wajah dramatis.
"Waahh! Pasti seru dong!" Hanna berseru antusias.
Kringggg
Waktu istirahat telah selesai. Diharapkan kepada seluruh siswa untuk kembali ke kelasnya masing-masing. Belajar dengan penuh semangat. Terima kasih.
Suara bel masuk pun berbunyi, menghentikan obrolan kedua remaja tersebut.
~oo~
"Dek!" panggil Arnan sambil mengetuk pintu kamar dengan cat berwarna merah muda.
"Dek! Pinjem charger dong!" Masih tidak ada sahutan.
"Dek!" panggil Arnan sekali lagi. "Diana?!"
Merasa tidak ada sahutan, Arnan pun memutuskan untuk masuk ke kamar dengan nuansa merah muda tersebut.
Seorang gadis tengah menangis sambil tengkurap di atas ranjang tidurnya.
Arnan yang melihat adik perempuannya menangis langsung berjalan menghampiri. "Heh, kenapa nangis?" tanya Arnan khawatir.
"Bang ...," lirih gadis itu menatap sang kakak.
"Kenapa? Siapa yang bikin lo nangis?"
"Ravindra, Bang," adu gadis itu.
"Ravindra?" Arnan mengerutkan keningnya. Merasa tidak asing dengan nama tersebut.
"Diapain lo sama dia?" tanya Arnan tidak terima melihat adik perempuannya menangis gara-gara seorang cowok.
Namun yang ditanya malah menggeleng. "Ravindra mati, Bang."
"Hah?! Bentar-bentar ...," ujar Arnan masih belum mengerti.
"Ravindra siapa maksud lo?" Arnan mencoba berpikir. Dua detik kemudian cowok itu merasa mulai paham yang dimaksud oleh adik perempuannya itu.
Jangan-jangan ... Ravindra yang dimaksud Diana adalah ....
"Yang mati itu cowok fiksinya, Bang," sahut seseorang dari arah pintu.
Seketika mulut Arnan menganga. Ternyata firasatnya benar. Karena tadi saat di sekolah ia tidak sengaja membaca judul novel yang dibaca oleh Hanna. Dan sekarang adiknya pun tengah menangisi tokoh fiksi tersebut.
"Udah, Bang. Nggak usah diladeni. Udah stres." Danis Pradipta, adik kedua Arnan. Satu tahun lebih muda dari Diana. Namun sering dikira kembar, karena wajah mereka yang cukup mirip. Sedangkan Arnan dengan adik perempuannya itu berjarak tiga tahun.
"Diem lo, monyet!" umpat Diana melempar bantal ke arah adik laki-lakinya.
"Stress," ucap Danis dengan ekspresi datarnya kemudian berlalu.
"Dek!" panggil Arnan, menatap adiknya sambil tersenyum hambar. "Mana novelnya?"
"Buat apa? Abang mau baca juga?"
Masih dengan senyuman, Arnan menjawab. "Mana sini coba liat novelnya," pinta Arnan dengan mengulurkan tangan kanannya.
Diana pun memberikan novelnya. "Abang mau baca juga?" tanyanya lagi.
Setelah menerima novel tersebut Arnan pun tersenyum manis. "Mau Abang bakar," jawabnya kemudian berlalu.
"Iiihh Bang Arnan jangaaan!"
Menghela nafas kasar, Arnan tidak habis pikir. Bisa-bisanya dalam sehari ini sudah dua kali ia melihat cewek yang menangisi tokoh fiksi. Memang apa bagusnya sih cowok fiksi?
A²
Jangan lupa vote and komen
Karena
Vote and komen kalian semangat saya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Kuadrat (A²)
Teen Fiction"Nggak ada yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Cinta itu datangnya karena terbiasa." Arnan Abimanyu. "Tapi waktu pertama kali gue liat dia dulu, gue ngerasa deg-degan." "Itu karena sebelumnya lo dikejar-kejar induk ayam!" Note: Jangan...