Hari pertama, kala dadaku b e r d e b a r
Yogyakarta, Agustus 1990."Ma'af, Nar ... Mbak tiba-tiba ngidam bolu bikinan Ibu kamu. Jadi merepotkan saja." Sejak tahun 1987, Mbak Sri sudah menjadi pelanggan bolu pisang buatan ibuku yang paling setia.
"Ndak pa-pa, Mbak ... jangan sungkan. Dinar malah senang kalau Mbak selalu pesan bolu buatan Ibu."
"Bolu bikinan Ibu kamu, tuh, rasanya uwennak poll!" Mbak Sri mengacungkan jempolnya dengan mantab. "Teksturnya mendul-mendul. Itu yang bikin nagih!"
Aku tersenyum lepas, dan segera aku merapikan pakaianku setelah menerima sejumlah uang yang Mbak Sri berikan. "Terima kasih, ya, Mbak. Ini uangnya Dinar terima ... nanti kalau Mbak Sri mau pesan lagi tinggal telepon saja."
"Iya, Nar ... hati-hati ya pulangnya."
Senyumanku tak memudar sampai aku benar-benar melenggang dari kediaman Mbak Sri. Tak ingin aku menunggu Mas Tian menjemput dengan motor treng teng teng teng bututnya itu, aku memilih jalan lebih dulu. Aku juga memikirkan kenyamanan Mbak Sri yang sedang hamil tua. Jika beliau mendengar suara motor Mas Tian, aku khawatir itu mengganggu.
Sejauh 50 meter aku berjalan, aku sampai lupa malam itu bertepatan tanggal berapa, yang aku ingat hanya penggalan-penggalan peristiwa yang mengantarku pada ingatan permanen. Inilah diriku. Setengah berpijak di ujung bara api yang membawaku kepada jiwa-jiwa yang patah, serta raga yang meruntah.
Aku menelan ketakutan yang dahsyat ketika melewati bangku terminal. Tidak seperti malam-malam biasanya, dan entah dari sudut Yogyakarta mana para preman biadab menghadangku tiba-tiba.
"Hai, Dik. Kenapa jalan sendirian?"
Jantungku merosot, dan seolah-olah inti bumi telah menyerap kekuatanku perlahan. Aku gemetar bukan main.
"Jangan sentuh!" Aku menggertak dengan keberanian seadanya ketika tangan biadab salah satu dari mereka hampir menyentuhku.
"Kang Mas cuman mau tahu nama Adik ini, kok ... boleh, kan?" Air liurnya ikut berkumandang, membuatku spontan bergerak mundur.
Satu langkah.
Dua langkah.
Tiga langkah.
Terakhir ... bruk!
Aku menabrak sesuatu yang terasa sangat kokoh. Ketika aku menoleh, pemandangan pertama yang tak bisa aku hindari adalah wajah laki-laki asing yang senyumnya seolah-olah sedang menggodaku. Deru nafasnya yang kencang semakin menerpa ketakutan yang sudah membara di tiap ujung rambutku.
Laki-laki itu langsung menarikku ke belakang. Berlindung di balik tubuhnya yang jauh lebih tinggi dariku.
"Siapa yang menyuruh kalian mengganggu di sini?" ujarnya kepada tiga preman di depan sana.
"Emange kowe sopone, Bocah?"
"Dia pacar saya!"
Jika jantungku bisa bicara, mungkin dia akan memohon ketenangan kepada Tuhan. Itu yang aku rasakan. Berdebar, tanpa kejelasan.
"Halahhh, bacotan tengik!"
Kejadiannya terasa tiba-tiba, sekejap mata, dan berlangsung nyata di depan mataku. Tiga lawan satu? Ini gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenderal | Na Jaemin
Teen FictionKerap kali aku terbangun dari tidurku, hanya untuk memastikan jatuhmu tepat di pelukanku.