Aku merebahkan badan ke tempat tidur. Mataku mulai panas. Sepertinya sebentar lagi pipiku akan berubah menjadi aliran sungai. Aku mencegahnya. Aku memejamkan mata.
Hanny. Aku harus bicara padanya.
Aku mencari kontak Hanny diponselku, lalu menekan tombol call.
Tut..tut..tut
" Halo, Ta " Suara Hanny terdengar dari seberang sana.
" Han. Mau curhat.. " Aku menggigit ujung bibirku.
" Tumben, Ta. Kenapa sih? " Suara Hanny mulai terdegar panik.
" Ceritanya panjang, Han .. "
" Yaudah intinya aja dulu sekarang, Ta. Lengkapnya besok aja deh kita ketemuan . Yang penting kamu lega dulu sekarang "
" Kak Dimas... "
" Kak Dimas kenapa? " Hanny terdengar penasaran.
" He love me. Dia belum bilang langsung, tapi aku denger Kak Dimas ngomong gitu ke Kak Tian. Dan aku... "
" Oke cukup, Ta. Gua udah tau sekarang permasalahannya. Bersikaplah biasa, Ta "
" Sekarang gua takut banget ketemu dia. Bukan takut sih, duh susah jelasinnya... " Aku kehabisan kata-kata.
" Gua ngerti Geista. Sekarang coba keluarin sikap tomboy kamu yang cuek itu. Pake itu setiap ketemu sama Kak Dimas. Act like you don't know the truth "
Aku diam. Pertanyaannya, apakah aku bisa?
Tiba-tiba Kak Tian muncul dari balik pintu kamar.
"Ta, entar nyusul ke tempat biasa yaa. Jangan lama-lama. Kakak tunggu yaa " Kak Tian hanya meninggalkan sedikit pesan. Aku mengangguk.
" Han. Udah dulu ya. Thanks. Gua bakal coba act like i don't know the truth. Semoga gua bisa "
"You're welcome, Ta. Byee "
Klik. Telepon terputus.
Aku berdiri dari tempat tidur. Segera turun ke bawah dan menuju halaman belakang. Kak Tian sudah menunggu di tempat jemuran.
----------
Dari kejauhan terdengar petikan gitar kak Tian mengalunkan lagu Safe And Sound milik Taylor Swift. Persis seperti lagu aslinya. Kak Tian tidak bernyanyi, hanya memainkan gitar. Aku segera menaiki tangga, menyusulnya ke atas.
" Udah selesai teleponannya? " Kak Tian sudah menyadari kedatanganku.
" Udah kak "
" Telponan sama siapa Ta? "
" Hanny kak " Jawabku singkat dan sekenanya. Jujur sekarang aku sedang malas bicara.
"Lagi badmood ya? " Kak Tian tiba-tiba menghentikan petikan gitarnya.
" Ah nggak kok, Kak. Capek aja seharian " Aku tersenyum. Mencoba menyembunyikan.
" Ah, boong " Kak Tian tersenyum lebar, melanjutkan permainan gitarnya lagi. Inilah hebatnya hati. Dia bisa membaca sekaligus terbaca meski tanpa tertulis. Dia bisa mendengar sekaligus terdengar, meski tanpa bersuara. Saat ini hatiku terbaca dan terdengar. Sementara dia berhasil membaca dan mendengar. Percuma kututupi.
Aku hanya diam.
" Aku tinggal sama kamu bukan cuma satu atau dua bulan, Geista. Udah bertahun-tahun. Aku tau banget kamu "
Perlahan ada sesuatu yang menyentuh telapak tanganku. Hangat.
Hening. Aku memejamkan mata. Caranya menenangkanku memang seperti ini. Dari dulu.
Genggamannya melonggar. Beberapa detik kemudian intro lagu safe and sound terdengar lagi, kali ini bersama suara kak Tian.
Just close your eyes, the sun is going down
You'll be alright, no one can hurt you now
Come morning light
You and i'll be safe and sound
Kepalaku rebah di pundaknya.
Kenapa otakku korslet begini? Yang jatuh cinta padaku itu Kak Dimas, lalu kenapa aku yang bermasalah? Kenapa aku yang terbebani?
Toh aku tidak mencintainya. Toh dia hanya ku anggap kakakku.
Apa hanya aku perempuan yang seperti ini?
" Eh kita ke Toko Buku, yuk " Tiba-tiba Kak Tian nyeletuk membuat aku mengangkat kepalaku dan mengangguk.
------------
Aku berputar mengelilingi rak-rak yang berisi novel. Sudah hampir setengah jam. Hadiahku hanya satu novel. Bagi maniak novel sepertiku, memilih satu novel diantara ratusan novel itu sama susahnya seperti memilih satu ikan di lautan lepas. Ya, aku memang begitu. Di saat gadis-gadis seusiaku sibuk berburu baju atau sepatu di mall, aku malah lebih suka di tempat ini. Konyol memang, tapi sejak kecil aku menyukai wangi yang terpancar dari buku baru. Di tempat ini aku bisa sangat dekat dengan bau itu.
Dee. Tere-Liye. Dyan Nuranindya. Oh ibu, aku bingung, hanya karena memilih novel.
" Belom dapet ya, Ta? "
Aku menggeleng. Kak Tian meninggalkanku.
Setengah jam kemudian aku sedang asyik membaca sinopsis di belakang cover novel ketika Kak Tian datang dan bertanya lagi, " Masih bingung ya? "
Aku mengangguk lalu menunjukkan tiga buku yang ada di tanganku.
" Masih dalam proses seleksi, Kak " Aku nyengir lebar.
" Yaudah beli aja tiga-tiganya " Kak Tian menarik tanganku menuju ke kasar.
Boleh aku berteriak? Tidak. Teriakan senangku ku simpan dulu. Nanti ku keluarkan di rumah.
" Eh Kak, sebenernya yang mau diseleksi ada satu lagi loh " Aku menggodanya. Yah, siapa tau masih bisa nambah?
Kak Tian menoleh, memajukan bibirnya, mencibirku. Hahahaha.
Gubraaaakkkkkkkkk
Ups. Insiden.
Kak Tian menabrak seorang perempuan sampai buku-bukunya terjatuh. Hehe, karena mencibirku dan lupa menoleh ke depan, Kak Tian menabrak pengunjung lain di Toko Buku. Dan dia perempuan.
" Eh, maaf-maaf " Dengan sigap Kak Tian membatu mengambil buku-bukunya yang terjatuh. Sinetron banget gak sih. Sekarang aku berdoa, semoga cewek ini gak memaki Kakakku .
Dia gak berbicara. Hanya senyum dan mengangguk. Setelah bukunya rapi ditangannya, dia hanya berkata " Terimakasih, permisi.. " kemudian pergi.
Kak Tian masih memandangi punggung cewek yang berambut cokelat sebahu itu. Aku gak pernah suka melihat Kak Tian memandangi cewek. Sejenis cemburu, mungkin.
Aku menarik tangan Kak Tian mengajaknya juga berlalu dari tempat itu. Jangan bilang Kak Tian suka perempuan itu. Sumpah bener-bener sinetron kalo sampai itu terjadi!
Tiba-tiba aku teringat quotes yang pernah aku baca. We don't meet people just by accident. Maybe they are meant to cross our path .
Aku sibuk berdoa dalam hati semoga ini hanya accident. Maaf kalau aku egois.
Dear Wattpaders,
Holla. Gimana menurut kalian part ini? Tungguin next part yaa. Supaya teka-teki kebenaran quotes itu bisa terjawab . Leave voments yaa thankyouu :-)
KAMU SEDANG MEMBACA
Paramore
Teen FictionEntah siapa yang harus disalahkan. Dia yang salah karena mencintai yang tidak seharusnya dicintai, atau waktu yang salah karena pernah mempertemukan kami? Paramore. Secret Love.