Awan kelabu menggumpal di langit. Senja yang sempat terlukis kini berganti menjadi mendung. Tetesan demi tetesan perlahan berjatuhan membasahi tanah. Udara dingin mulai naik, hingga menusuk relung tulang. Membuat seorang laki-laki berambut hitam dengan gaya undercut menatap lekat embun air hujan yang hinggap di permukaan jendela.
"Vijen!"
"Vijen!"
Suara seorang gadis yang sangat dikenali menyapa telinga. Ia menoleh ke arah pintu ruang kelas, menatap gadis berkuncir kuda yang memakai seragam berantakan itu memasuki kelas dengan langkah berlari kecil.
Senyuman manis dari gadis itu membuat bibir Vijendra saling mengatup. Mata menatap lekat bibir ranum yang tampak merah merona. Gadis itu tampak cantik nan manis, tetapi sayang ... Vijendra tidak suka dengan sikap bar-bar dari gadis itu.
"Vijen jangan cuek-cuek lagi, ya. Aku capek tahu ngejar-ngejar Vijen mulu. Tapi Vijen malah ngelirik cewek kelas sebelah daripada aku."
Suaranya begitu candu untuk didengar berulang kali. Bahkan suara rintik hujan yang memukul-mukul genteng atap ruang kelas, tak membuat Vijendra merasa terganggu sama sekali. Atensinya tetap terfokus ke arah wajah gadis itu.
"Lo enggak usah berbuat sejauh ini, Nay. Gue enggak akan mau—"
"Ssssttt ... aku enggak mau denger penolakan lagi. Sampai kapanpun aku tetap akan mengejar kamu."
Kalimatnya masih terekam dengan jelas dalam ingatan. Binar sendu nan penuh harap, serta sudut bibir yang bergetar kala mendengar penolakan kembali. Namun, tetap saja sudut bibir gadis itu melukiskan senyum.
Vijendra mengepalkan tangan kirinya. Tubuh tersentak kaget kala seseorang memukulnya dengan bola basket. Membuat ingatan yang tercipta buyar seketika. Tak lupa juga umpatan keluar dari mulut sekaligus berbalik ke belakang melihat siapa yang melemparkan bola ke arahnya.
"Melamun lagi? Lo keinget sesuatu?"
Sontak saja Vijendra mengerjapkan mata dua kali, menoleh ke sekeliling untuk memastikan sesuatu. Perasaan tadi ia berdiri di hadapan gadis itu serta telinganya menangkap suara rintik hujan yang begitu merdu. Namun, semua yang ia rasakan tadi hanya sebatas kenangan yang masih tersimpan rapi dalam ingatan.
"Lo nyesel?"
Vijendra menatap sinis, ia paling tidak suka kalau dituduh seperti itu.
"Jangan sinis gitu dong. Nih," lanjut laki-laki itu yang bernama Adam. Melemparkan secarik kertas berwarna cream yang terdapat renda-renda rating dipinggirannya.
"Apaan ini?" Vijendra membalikkan kertas tersebut sambil membaca satu persatu kata yang tertata dalam kertas itu.
"Undangan reuni sekolah. Jangan lupa dateng, siapa tahu cewek bar-bar itu juga hadir di sana," ujar Adam.
Vijendra tersenyum tipis. Membuang kertas undangan tersebut ke sembarang arah, lalu meraih bola basket yang terkena punggungnya tadi. Memantulkan bola tersebut ke tanah lapangan, men-dribble sambil berlari kecil ke arah ring. Lalu dengan gerakan sekilat, ia melompat memasukkan bola tersebut ke dalam ring.
Hal itu tak lepas dari perhatian Adam. Kasihan sekali sang sahabat, yang memendam rasa demi gengsi semata. Kini malah berakhir menjadi mati rasa.
"Dia enggak mungkin hadir di acara reuni itu, Dam. Gue udah pernah nunggu dia dan dia enggak pernah dateng," tutur Vijendra.
"Mungkin dia malu dan sakit hati ketemu sama gue," sambung Vijendra lagi.
Adam menghela napas pelan. Melangkah mendekat ke arah Vijendra. Andaikan saja dulu ia tak mencemooh laki-laki itu perihal rasa, mungkin sekarang ia bisa melihat sang sahabat berbahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu yang Salah✔️ TERSEDIA DI GOOGLE PLAYBOOK
Romance"Aku melepaskanmu bukan berarti aku berhenti mencintaimu, Vijendra!" - Kanaya Arayshi. *** Berpisah selama lima tahun dengan orang yang dicintai, membuat Vijendra mengingat kembali masa-masa putih abu yang terasa menyenangkan sekaligus menyakitkan...