THE TRAUMA

24 2 4
                                    

***
Play on your music
🎶 Menangis di Jalan Pulang-
(Nadin Amizah) 🎶
***
Empat tahun lalu, rumah keluarga Yaksha tidak seburuk sekarang. Meski keluarga itu tidak sempurna, keadaannya masih lebih baik ketika sang kakak sulung, Alkavi, belum pergi meninggalkan mereka tanpa pesan. Kini, semua terasa seperti berantakan, hancur di bawah bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui. Jivana yang berada di tengah sebagai anak kedua, terpaksa memikul beban menjadi pengganti kakaknya, mengambil peran sebagai penyangga di keluarga yang mulai retak. Namun, dalam hatinya, dia tidak pernah tahu harus memulai dari mana untuk menceritakan kisah betapa kacaunya hidup mereka.

Kepala keluarga mereka, Ahsanul Yaksha, mantan narapidana yang pernah dipenjara karena kasus narkoba, telah menghancurkan lebih banyak hal daripada yang bisa diperbaiki. Ironisnya, yang melaporkan Ahsanul hingga ditangkap adalah Alkavi, kakak Jivana sendiri. Sejak kejadian itu Ayah tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari keluarga lagi, tetapi ketidakhadirannya hanya memupuk rasa dendam yang tak kunjung padam. Sekarang, setiap kali sosok ayah datang—dengan caranya yang tak terduga—kehadirannya menebarkan ketakutan, menghujam setiap anggota keluarga yang tersisa.

Jivana masih ingat jelas kejadian terakhir kali ayahnya mengamuk. Dalam keadaan mabuk berat, Ahsanul melempar kursi kayu jati ke arah ibunya—Rasya, hingga membuatnya harus dilarikan ke UGD. Pemandangan yang menghancurkan sisa-sisa keteguhan hati Jivana. Dia ingin kabur, membawa ibunya dan adiknya—Davi, pergi sejauh mungkin dari sosok yang telah berubah menjadi monster itu. Namun, ibunya selalu menolak setiap kali dia mengutarakan keinginan untuk pindah rumah atau bahkan pergi ke luar kota. "Bapakmu pasti tahu ke mana pun kita pergi," begitu alasan sang Ibu, seakan membiarkan diri terkurung dalam lingkaran kekerasan yang tak ada akhirnya.

Singkatnya, Jivana melindungi seseorang yang tidak mau dilindungi, ironis sekali. Ibu seolah telah menyerah, pasrah pada nasib yang menjeratnya. Sementara Davi, sebagai adik bungsu, sejak masih kecil dia sudah melihat keluarga mereka berantakan. Dia masih muda, penuh dengan ambisi dan cita-cita, ingin meraih dunia yang lebih baik.  Pendidikan baginya adalah jalan keluar dan Jivana menyadarinya. Maka dari itu, dia mendaftarkan Davi ke universitas di luar kota agar jauh dari jangkauan Ayah. Davi pergi secepat kilat, meninggalkan rumah yang hanya membawa trauma dan luka.

Namun, di rumah, hanya Jivana yang tertinggal. Dia yang harus bertahan, yang selalu bilang pada dirinya sendiri, “Kuat, kok. Bisa, kok. Masih bisa ditahan, kok.” Meski hatinya hancur setiap kali melihat ibunya terluka, baik secara fisik maupun emosional, Jivana memilih untuk tetap tinggal. Walau dirinya merasa badai yang mereka alami seakan tidak akan pernah menemui akhir.

Hari itu, Davi pulang ke rumah untuk liburan semester. Jivana merasa campur aduk—di satu sisi, dia senang bisa bertemu kembali dengan adiknya, tetapi di sisi lain, rasa khawatir terus menghantuinya. Ayah mereka sudah tiga hari tidak meninggalkan rumah, membuat Jivana takut akan ada kejadian buruk yang segera menimpa. Pikiran-pikiran buruk itu berputar di benaknya hingga membuatnya mual.

“Kak, gue mau makan. Keluar, yuk?” suara Davi tiba-tiba memecah keheningan sore ini. Jivana menoleh, sedikit terkejut karena ajakan itu jarang terjadi.

“Bentar, gue ajak ibu juga,” jawab Jivana sembari bangkit dari tempat tidurnya. Ia berjalan menuju pintu, bersiap mengajak ibunya ikut serta.

Namun, tangan Davi menahan langkahnya. “Berdua aja, kak. Please.”

Jivana menatap adiknya. Ada kesedihan dalam mata Davi, sebuah permohonan yang tidak bisa ditolak. “Ibu gimana?” tanyanya, masih ragu.

“Ibu udah pergi, Kak. Gue minta tolong Oma buat telepon ibu supaya nginep di sana seminggu. Gue butuh waktu sama lo aja,” jelas Davi. Jivana terdiam sesaat sebelum mengangguk, akhirnya setuju.

RATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang