COMEBACK HOME

10 0 0
                                    

***
Play on your music
🎶 Kembali Pulang —
(Suara Kayu & Feby Putri) 🎶
***

Bandung, kota yang penuh kenangan bagi Arham. Meski banyak kenangan pahit yang menghiasi hidupnya di sana, hal itu tidak membuatnya berhenti mencintai kota tersebut. Bandung memiliki pesona yang sulit diabaikan—pemandangan yang indah, destinasi wisata yang menarik, kuliner yang menggugah selera, dan sejarah yang kaya. Semua itu menjadi alasan mengapa Arham, yang bukan penduduk asli, memilih menetap di sana. Setiap kali ada yang bertanya ke mana sebaiknya mereka pergi untuk liburan, jawabannya selalu sama: Bandung.

Sudah sepuluh tahun berlalu sejak Arham meninggalkan kota kelahirannya di Subang, kota yang hanya berjarak sekitar dua jam dari Bandung. Namun, dua tahun terakhir dia habiskan di luar negeri untuk urusan pendidikan. Setelah dua tahun jauh dari kota yang selalu dirindukan, akhirnya tiba saatnya untuk kembali ke rumah. Meski rumahnya tidak semegah hotel-hotel di luar negeri, terutama tempatnya menginap di Jepang. Bandung tetaplah Bandung. Bagi Arham, keindahannya tak tertandingi.

Arham tiba di Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara pukul delapan pagi. Tangannya mendorong koper hitam dengan gantungan telur ceplok favoritnya sambil melangkah dengan semangat. Matanya mengamati kesibukan orang-orang di bandara—ada yang berlari mengejar waktu keberangkatan, ada yang tampak mengantuk seperti seorang bapak berbaju hitam yang duduk di pojok dekat toilet, dan ada seorang ibu yang sibuk menyuapi anaknya agar tidak rewel saat berada di pesawat.

Saat Arham hampir selesai dengan kebiasaannya mengamati sekitar, tiba-tiba koper hitamnya tertendang oleh seseorang dan terguling beberapa meter. Beruntung, refleks pria itu cukup cepat segera mengejar koper Arham dan menghentikannya dengan tangan panjangnya.

"Maaf, saya tidak sengaja," ujar pria itu, yang tampak seumuran dengan Arham.

"Tak masalah," jawab Arham singkat sambil mengambil koper miliknya.

Dari penampilan pria itu, Arham bisa menebak bahwa dia bekerja di pelayaran. Topi putih ala nakhoda yang tergeletak di atas kopernya semakin menguatkan dugaannya.

Pria itu segera meminta maaf lagi dan bergegas pergi, berjalan menuju restoran cepat saji, lalu menghilang di antara kerumunan manusia. Arham pun melanjutkan perjalanannya,  segera memesan taksi online, menuliskan alamat rumahnya di aplikasi. Sebenarnya, Arham bisa saja meminta seseorang dari rumah untuk menjemputnya, tetapi kali ini ia ingin memberikan kejutan setelah dua tahun tak pulang.

Sopir taksi yang menjemput Arham berseragam biru. “Dengan a Arham, benar?” tanya sopir itu memastikan.

Arham mengangguk.

“Paper bagnya biar saya yang bawa,” ujar Arham, ketika sopir berinisiatif menawarkan untuk menyimpannya di bagasi.

“Jalan, a?” tanya sopir, meminta izin untuk memulai perjalanan.

“Jalan, Pak. Kalau tidak jalan, saya tidak akan sampai rumah,” jawab Arham, membuat sopir itu tertawa kecil.

Perjalanan pulang terasa lebih menyenangkan. Cuaca di Bandung sedang cerah, menampilkan langit biru yang membentang di antara gedung-gedung tinggi. Arham berpikir, jika Bandung adalah sosok manusia, maka ia akan menjadi seorang wanita cantik nan anggun, sekaligus penuh wibawa. Kota ini cocok menjadi pusat dari berbagai kegiatan besar, termasuk politik, mengingat banyaknya instansi pemerintah yang berpusat di sini. Namun, Arham tak sempat lama menikmati pemandangan itu. Matanya terasa berat, hingga akhirnya tertidur sepanjang perjalanan.

Begitu tiba di rumah, Arham melangkah masuk ke pekarangan. Dia menutup gerbang yang hanya setinggi pinggang, lalu memutar tubuh, menatap bangunan tua di depannya. Rumah ini lebih tua dari dirinya sendiri, dibangun saat masa penjajahan Belanda. Lelaki ini membelinya dari seorang kenalan yang merupakan cucu seorang veteran. Meski banyak rumah minimalis modern yang kini populer, Arham lebih suka rumah tua ini karena dindingnya yang tinggi, memungkinkan sirkulasi udara yang lebih baik.

RATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang