15. Hadirnya Titik Terang

7.1K 1.2K 364
                                    

Bugh!

“Makan sekarang!” sentak orang yang terus menginjak punggung gemetar Issa. Sampai wajah gadis itu menabrak piring plastik yang berisi nasi putih basi campur air dingin dan makanan anjing.
Issa tidak pernah sudi membuka mulut. Tapi punggung yang terus ditekan membuat bibirnya sedikit menyecap rasa makanan yang membuatnya ingin menjerit saja.

“Santoso! Gue nggak ngerti, gue punya salah apa sampai lo sedendam ini sama gue!” ujar gadis itu menantang. “Kalau lo dendam karena masalah di air terjun, lo salah ambil keputusan! Gue bahkan nggak pernah cerita sama temen-temen gue yang lain! Rahasia lo aman, bangsat!”

“Kau sudah mengacaukan semuanya, dan kau bilang tidak usah sedendam ini?”

Santoso---terkekeh sesaat menghisap rokoknya. “Susah payah aku menjaga perjanjianku, semuanya sudah aku korbankan, seketika hancur karena kedatangan kalian kemari!”

Rokok itu dibuang dengan cara dimasukkan ke dalam pakaian Issa lewat leher jalan belakang. Hingga dia memekik tersengat panas. “Kau harus membayar semuanya. Darah dibayar darah, maka perjanjian harus dibayar perjanjian. Dan kau, yang akan membuat perjanjian itu menyatu kembali.”

Tidak ada yang tahu, sepasang mata yang dibebat kain hitam bau tengik itu baru saja menitikan cairan bening. Meski tidak sempat jatuh ke pipi, dia tetap mengusap kasar dengan bahunya. Kemeja berwarna hitam yang melekat di tubuhnya telah digariskan menjadi saksi tak pantas. Untuk sehelai kain atas setiap bentuk keji dari tangan penyembah naluri yang mati.

Rambut tergerai panjang hitam alami itu teracak menyerupai kekusutan yang terjadi di balik dinding ini. Menjuntai menutupi wajah yang sudah banyak mendapat siksaan. Pada beberapa titik cepol rambut, ada yang menipis, akibat seringnya dijambak tidak berperasaan sampai rontok berguguran.

Saat Issa meringis menegakan lehernya, memar lebam membiru sampai keunguan terlihat mencoreng wajahnya yang berkulit putih pucat. Dagu itu sobek sekitar lima centi. Dadanya bergerak naik turun pelan, dengan rasa sakit yang menghujam tiada celah. Di tengah genderang lapar yang mengemis sampai lambung terasa perih, di tengah rasa haus yang menyiksa sampai bibir pecah-pecah kekeringan.

Issa tidak tahu sekarang jam berapa. Apakah sudah siang, sore atau bahkan malam. Maniknya belum pernah lagi melihat terangnya sinar matahari. Gelap mendominasi. Sunyi menemani. Ancaman kerap datang dari berbagai situasi yang selalu menyudutkan. Hidup tertekan dalam imajinasi kebebasan, yang semakin detik semakin habis harapannya.

Issa juga tidak tahu Kinanti di mana. Sebab suaranya saja tidak dia dengar. Yang Issa alami, dia selalu merasa kantuk sampai tertidur. Dan akan bangun ketika kepalanya diguyur dengan air es. Setelahnya dia hanya akan disiksa semau hati mereka. Tersisa satu yang bisa dia jamah lewat inderanya, yaitu deru kencang semacam bunyi roda kendaraan yang melaju bolak balik di atas kepala. Insting merujuk, kemungkinan besar, dia disekap di ruang bawah tanah.

Terdengar derap langkah kaki yang mendekat setelah ada suara gembok yang dibuka. Ada seseorang lagi yang datang dan benar saja. Tanpa tahu apa-apa, tubuh pemudi itu diangkat dan ditidurkan secara telungkup di atas meja yang tidak biasa.

“LEPAS!!! SEMUA SIKSAAN YANG LO KASIH KE GUE BELUM CUKUP HAH?! LO MAU SAKITI GUE PAKE CARA APALAGI BRENGSEK!!!” Issa tetap berontak keras. Sampai harus didiamkan dengan satu tamparan keras. Yang seakan berpotensi menggeser tulang rahang jika terus dilakukan.

“JANGAN SENTUH GUE!! LEPAS!!”

Oleh sebab terus-terusan bergerak, ditamparnya rahang Issa hingga kebas. Namun gadis itu terus saja berteriak sampai suaranya hilang. Urat-urat leher menonjol jelas, tanda jika sakit tidak pernah sembarangan.

Rambut Issa ditarik agar gadis itu berdiri untuk ditelungkupkan di atas meja. Berikut dengan punggung yang dililit oleh benda semacam sabuk sampai berbunyi 'klek' tanda terkunci. 

KKN NAWASENA 88 (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang