Prolog

15 0 0
                                    

Mereka terdiam, duduk bersisian dengan kedua tangan bertaut erat. Semilir angin malam menerbangkan sedikit anak rambut keduanya, kendati demikian mereka tetap setia membiarkan suasana hening mengudara. Dua cup kopi terbengkalai sudah, tenggorok apik di sudut sepasang kaki besar yang dibalut sneakers dekil.

"Kamu mau pulang sekarang, Dhis?"

Yang satu memulai percakapan, mengalihkan pandangan pada satu sosok cantik dan kecil di sampingnya.

"Kamu mau pulang?"

"Aku tanya kamu."

"Kalau kamu mau pulang, kita pulang."

"Adhis!"

"Apa, Ezekiel?"

Si kecil itu, Adhis namanya. Dan cowok yang disebutnya sebagai Ezekiel adalah pacarnya.

Nyaris Lima tahun, keduanya menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih.

Dimulai dari kisah cinta remaja yang menggebu-gebu, kemudian berubah menjadi kisah cinta alot yang baik Adhis maupun Ezekiel sendiri bingung bagaimana mengatakannya.

Mereka tetap bersama, saling memberi kabar, mencari tahu apa yang keduanya lakukan sebagai bentuk perhatian. Membantu apabila Ezekiel membutuhkan, dan menemani apabila Adhis merasa kesepian.

Hanya saja, rasanya mulai tak sama.

Berbeda dengan Ezekiel yang cenderung apatis, Adhis peka betul apa penyebabnya.

Ezekiel masih setia menatap lurus kearah mata Adhis tanpa rasa yang berarti, "lagi-lagi kamu begini."

Dibalas Adhis dengan helaan nafas lelah. "Lagi-lagi aku begini, dan kamu masih tetap nggak tahu apa yang harus kamu lakuin, kan?"

"Apa kurangku?"

"Harusnya yang tanya begitu aku." Adhis mendelik, nyaris membentak marah. "Apa kurangku?"

Ezekiel terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dan ternyata, lagi-lagi diamnya cowok itu membuat Adhis kehilangan kesabaran. Rasanya seperti tidak lagi berarti. Apapun yang mereka lakukan, apapun yang mereka bicarakan, tetap saja selalu berakhir dengan pertengkaran. Paling tidak, yang Adhis inginkan—sedikit saja Ezekiel mencoba untuk menaruh perhatian lebih banyak pada hubungan keduanya.

Selalu Adhis, apapun dan kapanpun. Seolah hanya dirinya sendiri yang masih berharap banyak pada hubungan ini.

"You met someone else, don't you?" Final Adhis mengutarakan apa yang selama ini selalu berputar di kepalanya.

Ezekiel sewot, raut marahnya dia tunjukan secara terang-terangan. "Kamu ini kenapa sih?"

"Ada orang lain kan Es? jawab aku!"

"Kamu yang jawab aku!" Ezekiel balas nyaris berteriak, "kamu ini kenapa? Selalu aja nuduh aku ini itu, curiga terus. Lama-lama aku kesel tahu nggak?!"

Cowok itu berdiri spontan, membuat satu cup kopi dari dua yang bersisian itu tumpah kejalanan.

Perhatian Adhis teralihkan, menatap tumpahan kopi itu dengan nanar. Rasanya sangat menyakitkan, dan dadanya benar-benar sesak. Air mata yang sedari tadi dia tahan akhirnya terjatuh, membuat jalur dari ujung pelupuk mata menuju pipi.

"Aku bahkan nggak suka kopi, Es." Kata Adhis pelan, "dan ini sudah ketiga kalinya kamu ngasih aku."

Ezekiel tergugu, otaknya mendadak macet.

Kenapa?

Kenapa dia bisa melupakan hal sederhana yang seharusnya sudah melekat di otaknya. Adhis tidak suka kopi, dan dia sudah memberinya tiga. Bagaimana mungkin?

Lady BuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang