1. Yuk?

10 0 0
                                    

"Lo nggak kepikiran buat jadi biksu kan, Dhis?"

Adhis mendelik, kehilangan minat untuk menjawab pertanyaan bodoh yang dilemparkan teman sehidupnya barusan.

Cewek itu namanya Raya, teman dekat Adhis dari jaman orientasi maba. Sifatnya yang sering kali ceplas-ceplos tanpa tinjauan kembali terhadap kata-katanya itu—kadang membuat Adhis geram sendiri.

Mereka sedang duduk di taman fakultas, dengan masing-masing menghadap laptop yang terbuka menampilkan grafik hasil penelitian yang keduanya sedang kerjakan. Adhis bukan tipikal cewek aktif yang mampu menceritakan banyak hal. Setiap harinya, dia hanya akan berbicara sesuai keperluan saja. Tapi, bukan berarti dia pasif dalam rasa. Adhis sering sekali bercerita perihal hubungannya dengan Ezekiel kepada Raya, dan hanya disaat itulah dia merasa bahwa kemampuan bicaranya meningkat berkali-kali lipat.

Raya inilah saksinya.

"Lo ngeliat muka gue dan kata-kata semacam itu muncul?" Tanya Adhis.

Raya mengedikkan bahu cuek, "gue bahkan bisa ngeliat ada tulisan—GALAU—pakai kapital di jidat lo."

"Gue nggak galau, Raya."

"Nggak galau tapi muka lo mendung banget dari pagi."

"Mendung belum tentu hujan brow."

"Memang, tapi mendung udah pasti penuh aura kegelapan." Raya berujar gemas, "noh muka lo gelap, jelek banget sumpah kek kresek indomie."

"Masa si sejelek itu?"

Raya mengangguk, "sejelek itu."

"Tapi wajar aja nggak sih, orang sehabis putus ya galau." Adhis berujar gemas.

"Orang putus cari yang baru lah."

"Itu mah lo aja kali," Adhis mendelik. "Lima tahun Raya, gimana gue nggak galau coba?"

Raya mengedikkan bahu, "harusnya nggak ya."

"Dimana hati nurani lo?!"

"Lima tahun dan setahun belakangan lo dibuat feeling lonely terus." Raya menunduk menatap Adhis yang sedang menyandarkan kepala pada lipatan tangannya di atas meja. "Kalau gue jadi lo, setahun itu bakalan gue pake buat melupakan dia dan cari orang baru."

"Jahatnyaaa."

"Ya salah dia." Raya berucap pongah, "lo terlalu bodoh Adhis. Berkali-kali gue bilang, perubahan dia terlalu signifikan. Itu pasti ada sebabnya, dan nggak mungkin cuma karena bosan."

Lagi-lagi, Adhis menghela nafas. Entah sudah berapa kali dia menghela nafas pagi ini, seolah raganya tersedot habis keinti hanya dengan bercerita tentang seseorang ini. Raya memang sosok yang kelewat rasional, tidak pernah dia melewatkan satu kesempatanpun untuk menjuluki Adhis sebagai budak cinta yang rela disakiti kapan saja.

"Kalau gue kaya gitu, entah iya atau enggak dia memperlakukan gue bukan cuma karena bosan—tetap gue yang bakal kelihatan brengsek, Raya."

Raya terdiam, Adhis ini—bagaimana menjelaskannya. Dia terlalu naif, bodoh dan baik memang benar hanya terhalang tembok tipis.

"Yaaaa, lo malaikat begini mana bisa nyakitin orang lain."

"Gue lucifer."

Lady BuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang