Aku sedikit ragu dengan ucapan Mas Hisyam. Sungguhkah ucapannya itu?
"Kamu tinggal di mana sekarang, Sa? Ke mana kamu selama ini? Kenapa pergi?"
Aku menatap lelaki yang duduk tepat di hadapanku, mencari kebenaran dan kejujuran dari tatap matanya. Dia hanya memasang wajah lucu jika aku menatapnya. Dari dulu selalu begitu.
"Ikut Ayah ke Inggris." Hanya itu yang mampu kujawab atas tanyanya. Lalu aku berjanji akan menceritakan hal yang lebih detail lagi nanti.
"Tak bisa sekarang, kah?"
Aku menggeleng lalu mengatakan padanya jika aku masih terlalu lelah, juga masih belum waktunya aku bercerita. Mas Hisyam pun memahami, dia tidak memaksa, bukan wataknya juga suka memaksa.
"Boleh minta kontakmu, Sa? Kamu tinggal di mana?"
Aku menuliskan deretan angka pada ponsel yang disodorkan Mas Hisyam padaku, dan mengatakan jika aku tinggal tidak beberapa jauh dari rumah yang dulu. Lelaki itu mengangguk, dan ingin mengantar aku pulang, saat izin pamit karena ingin segera kembali ke kontrakan.
Aku menolak tawarannya, bagaimana pun, tak mungkin membawa lelaki yang bukan mahram ke kontrakan. Tak baik juga jika kami bersama tanpa ikatan.
Aku pun masih harus memastikan semua pengakuannya Atau aku akan tertipu dan bersama seorang lelaki miliknya orang.
***
Baru sampai rumah, ponselku berdering, kulihat nomor yang tertera pada layar benda pipih itu. Aku mengernyit? Tidak ada namanya. Ini kan nomor baru, dan yang hanya tahu Mas Yudha, kakakku dan juga Sarah.
Aku menjawab panggilan dari nomor tak dikenal itu.
"Ya, siapa?"
Ternyata, Mas Hisyam, dia hanya memastikan nomor yang kuberi benar. Nada suaranya seolah takut jika aku menghilang lagi seperti dulu dengan memberi nomor palsu.
Wajar saja jika dia ragu. Aku dulu berlalu tanpa kata. Menghilang tanpa kabar berita seolah ditelan masa.
***
Sabtu siang, hari yang sangat aku tunggu-tunggu, ya, aku akan bertemu sahabat semasa SMA dulu. Sarah. Via chat kami berjanji temu setelah sekian lama. Dia kebetulan tengah jalan-jalan di kota ini, karena Sarah bertempat tinggal di sana setelah menikah. Yogyakarta.
Di kesempatan langka ini kami berjanji bertemu di kafe langganan semasa SMA dulu.
Sepanjang perjalanan menuju tempat bertemu, hatiku bertanya-tanya, apakah Sarah masih seperti dulu, gadis yang lemah, dan cengeng, takut dalam mengambil keputusan dan selalu mengandalkan aku untuk membelanya. Namun, dia orang yang sangat baik, bahkan terlalu baik. Pendengar yang baik, penurut bahkan suka mengalah.
Aku memasuki kafe tempat yang sudah dijanjikannya, di salah satu meja terlihat seorang wanita berkerudung navy, sedang duduk bermain dengan ponselnya. Itu Sarah.
Aku memeluknya erat dari belakang, dengan sedikit terkejut, Sarah membalikkan tubuhnya, dan berteriak kencang sambil mencubit lenganku. Ekspresi dia jika terkejut dan kesal. Hampir semua orang yang berada di kafe melihat tingkah kami berdua.
Sedetik kemudian dia menghentikan aksinya mencubiti aku. "Kok, berhenti, dah puas belum?" godaku.
Dia memelukku kemudian menangis. Ya, Allah ... Sarah, sedih nangis, bahagia pun menangis. Selalu begitu.
"Kamu berutang denganku, Marisa!"
"Kapan aku punya utang! Berapa?" tanyaku, aku tahu, bukan itu maksud Sarah. Aku berutang penjelasan padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Topeng Kesempurnaan
RomanceApa jadinya jika kesempurnaan cinta yang didapatkan Ayesha dari Hisyam dan sahabatnya Sarah hanya sebuah topeng untuk mencapai apa yang diinginkan. Ayesha terjebak dalam cinta segi tiga kehidupan poligami yang diciptakan Hisyam. Bagaimana jika Ayesh...