1 - Satu

21 6 6
                                    

Rasanya seperti sedang menonton film.

Ilana mendengar seseorang bernapas dengan berat dan payah. Berlomba dengan kedua kaki yang berlari sembari tersaruk-saruk, licin oleh butiran pasir emas kemerahan sebagai satu-satunya pijakan. Debar jantungnya lebih ribut dan mengkhawatirkan mengoyak rusuk daripada sensasi jatuh cinta dalam kisah-kisah romansa. Ada sesuatu yang lebih penting daripada hati sedang dipertaruhkan jantungnya.

Dan itu adalah nyawa.

Angin terbelah. Napas itu tersedak, menyentak saluran pernapasannya sendiri. Insting tajam menyempatkannya berbalik benar-benar di detik terakhir, bersama kedua belah lengan terangkat bersilang menjadi perisai di depan wajah—kemudian, waktu yang sedari awal tidak berhenti pun berjalan kembali dengan sebuah hantaman dahsyat.

Seseorang itu terlempar. Setiap rongga dalam tulangnya menggaungkan rasa sakit nan meretakkan. Rasa karat memuakkan memaksa untuk dimuntahkan dari celah rahangnya yang menganga dalam beku kesakitan. Tetes-tetes merah itu muncrat di udara—dan dalam bingkai pandang berkunang-kunangnya, itu terlihat seolah melayang menciprati kanvas langit malam tanpa bintang yang kelamnya keterlaluan.

Keindahan palsu itu bertahan lebih cepat dari sesaat yang dia harapkan. Darahnya menjiplak merah di hamparan pasir, tubuhnya ambruk selunglai boneka kertas di petak lain hamparan pasir.

Bagi Ilana, film ini tidak masuk akal.

Bagaimana mungkin Ilana menontoni seseorang itu terbatuk-batuk parah, selagi dirinya sendiri merasakan siksaan sesak dan tekanan bertubi dalam paru-parunya sendiri? Bagaimana mungkin ketika seseorang itu bergerak gesit dengan putus asa, menghindari siluet-siluet serangan yang mengejar sisa nyawanya, Ilana bisa merasakan betapa nyawanya sendiri berpegangan hanya kepada seutas tipis benang?

Kenapa Ilana tahu ke mana arah langkah seseorang itu akan bergerak tepat sebelum kedua kaki berjejak darah seseorang itu berderap mengikuti persis jejak khayalannya? Kenapa seseorang itu menghindar dari serangan-serangan yang persis Ilana dengar aba-abanya dari angin yang terbelah?

Seseorang itu akan mengepalkan kedua tangan.

Kemudian seseorang itu mengepalkan kedua tangan. Melipat jemari dengan erat dan kuat dan bertekad. Suatu bara menyala di matanya yang menyerupai aurora di samudra terdalam.

Sekarang, seseorang itu akan memutuskan.

Sepasang kelereng berisi aurora itu berkilat, serempak, meneriakkan hasrat bertahan hidup senada dengan pekik tanpa kata yang lepas begitu saja dari rongga mulutnya.

Dari sinilah, titik baliknya dimulai.

Sebelah tangan seseorang itu bukan tangan manusia. Melainkan sepotong cakar naga hitam, berkuku tajam mengancam dan berlapis sisik rapat yang gelapnya mengilap. Cakar itu mengoyak udara, mengguratkan larik-larik darah sehitam tar ke kanvas malam dari luka cakar yang baru saja berhasil dibukanya di wajah sang lawan.

Ilana membuka kedua mata lebar-lebar. Dia mulai bisa melihat sosok dari seseorang itu. Siluetnya berperawakan serupa manusia. Helaian rambutnya mencirikan gelombang aurora—aurora yang warnanya berdenyar di bola mata miliknya—terurai berantakan di atas separuh punggung, warna ungu yang seakan dilarutkan dalam tetesan hujan hingga pucat sedemikian rupa.

Indahnya, Ilana berbisik. Aku ingin punya mata seperti itu ...

Sosok itu membentuk raga seorang gadis yang seperti menari. Butiran pasir di telapak kaki tidak lagi licin menjatuhkan. Kini, jemari kakinya sanggup mencengkeram butir-butir emas kemerahan itu dan menendangnya sebagai pijakan untuk melontarkan diri.

Gadis itu melayang. Di antara berisiknya gempuran insting bertahan hidup, telinganya mendengar satu suara kepak yang nyata. Kepak sayap. Sayap yang menyentak kuat udara di sekelilingnya untuk memaksa aliran tidak berguna mereka beruba menjadi dorongan di belakang punggung, meski begitu timpang dan tak seimbang—membuat lesat jatuhnya cacat.

FlawsomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang