Happy reading, jangan lupa vote, komen, dan share cerita ini ke teman-teman kamu, ya 🤍🫶
Terima kasih, Bray
᭝ ᨳଓ ՟
01: Hujan dan Segala Kenangan
Gerimis hujan bagaikan tirai antara resah dan rindu, kutitipkan salam kepada kicauan yang terteduh. — Gilang Dirgantara
DI KAMAR yang remang, seorang cowok duduk sendirian di sudut tempat tidurnya. Di tangannya, terdapat setumpuk foto yang membawa kembali kenangan masa lalu. Satu per satu dia melihat foto-foto itu, mengingat masa-masa bersama geng motornya. Dalam foto-foto itu, tampak mereka tertawa bersama, beraksi dengan motor, dan menikmati kebersamaan yang begitu erat.
Senyumnya perlahan muncul mengenang semua momen luar dan kebebasan yang pernah ia rasakan.
Namun, senyum itu hilang ketika dia menatap sebuah foto yang berbeda. Foto dirinya bersama sang pacar—saling merangkul dengan senyum lebar di wajah mereka.
Kenangan manis bersama sang pacar seketika membanjiri pikirannya. Hatinya terasa berat, matanya mulai berkaca-kaca. Rasa rindu mulai menyelimuti diri. “Alana... aku kangen. Bohong rasanya kalo aku bilang setelah kepergian kamu aku baik-baik aja. Nyatanya, tempat yang pernah aku pijak bersamamu ternyata malah buat aku semakin jatuh. Setiap aku ke tempat itu aku malah selalu terbayang kamu. Aku gak sekuat itu....”
Alana Amerta, sosok kekasih dari Gilang telah pergi setahun yang lalu, meninggalkan dunia dengan cara tragis. Bunuh diri. Kenyataan itu menghantam hati Gilang dengan keras, seolah luka lama yang kembali menganga. Ia memegang foto itu erat seolah berharap bisa merasakan kembali kehangatan pelukan sang kekasih, yang selalu jadi tempat saat dia sedang sedih.
Keheningan malam itu hanya suara detak jantungnya yang terdengar, semakin cepat saat memori tentang Alana berputar di benaknya. Gilang merasa kesepian, kosong, dan terasa kehilangan separuh jiwanya.
Foto itu... dulu adalah lambang kebahagiaan kini menjadi sebuah saksi bisu dari kesedihan dan kerinduan yang tak bertepi.
Sesaat, foto itu ia gulir hingga menampakkan foto selanjutnya. Memori indah masih tersimpan rapi, dan hal itu membuat Gilang semakin merasakan sakit, sedih, dan marah. Ia merasa tak berguna. Dia terus-menerus menyalahkan kematian Alana atas dirinya sendiri. Gilang merasa gagal jadi perisai Alana.
“Aku masih ingat malam kita di pantai, Alana. Waktu itu banyak bintang yang berkilauan, kan? Kamu bilang sama aku kalo kamu pengin jadi bintang yang selalu bersinar seperti bintang-bintang di atas. Bintang yang terus menerangi langit dengan cahayanya. Bintang yang gak akan pernah redup, cahaya yang abadi, selalu beri sinar untuk mereka yang lihat ke atas.”
Gilang menjeda. Ia menyeka air matanya. Setiap menyangkut tentang Alana, hatinya melemah. Tak banyak orang yang tahu kalau selama ini Gilang selalu menangis dalam diam di kamar, mengunci dirinya dari siapa pun.
Seakan tak akan pernah membiarkan orang lain melihatnya lemah atas kepergian kekasihnya.
“Terus aku balas, kadang bintang yang redup untuk sementara waktu itu justru malah beri dampak yang lebih besar. Waktu kembali bersinar, cahaya bintang bisa beri harapan yang lebih besar. Cahaya yang kembali setelah meredup bakalan lebih dihargai. Orang-orang bakalan lihat dan ingat bahwa setelah kehidupan, selalu ada banyak cahaya yang datang kembali. Yang perlu kamu ingat, bintang lain juga bersinar untuk menerangi malam. Dari bintang kita banyak belajar, kita gak pernah sendirian di langit yang luas ini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry I Hurt You (Rewrite)
Teen Fiction❝Sepasang luka yang saling menyembuhkan atau justru saling menyakiti?❞ Coretanasa. | Sorry I Hurt You, 2022