1

818 7 0
                                    

Sudah kubilang, aku bukan siapa-siapa.
Hanya seorang Altair. Namaku memang cukup asing. Obsesi kedua orang tuaku terhadap dunia astronomi-lah yang membuatku terlahir sebagai Altair. Altair, salah satu bintang di rasi Summer Triangle. Abaikan hal tersebut, karena kita tidak akan membahasnya sekarang.
Aku Altair, seorang gadis biasa. Aku tengah menempuh pendidikan sebagai mahasiswa fakultas sastra di salah satu universitas di London. Oh, sudahkah kuberitahu kalian semua bahwa aku menetap di London?
Oke, sejak dulu aku masih berwujud gadis cilik polos, orang tuaku begitu mendambakan anak-anaknya mengenyam pendidikan tinggi di negeri orang. Jadilah aku dan kakak laki-laki kembarku Vega, (namanya juga merupakan salah satu bintang di rasi Summer Triangle) kuliah di London berkat beasiswa.
Kuakui aku bukanlah orang yang pandai bergaul. Selama satu setengah tahun kuliah di UCL, sahabat karibku hanyalah Puspa. Kami dekat hanya karena kami adalah bagian dari segelintir mahasiswa UCL yang berasal dari Indonesia.
Seperti sekarang ini, aku, Puspa, dan Vega tengah duduk bergerumul di pojok pizzeria langganan kami. Puspa tengah menggigit satu potong pizza seraya membaca salah satu novel. Vega, entahlah apa yang ia lakukan dengan ponselnya. Sedangkan aku hanya mengaduk-aduk frappucino yang penampilannya sudah tidak karuan karena kuaduk. Ah, masa bodo.
Aku melirik arloji di tanganku. 05.53 pm. Sudah lumayan sore dan aku masih harus berbelanja kebutuhan bulanan untukku dan Vega. Aku beranjak dari sofa yang kududuki, mengemasi barang-barangku, memakai beanie dan mengambil satu potong pizza. Puspa memandangiku dengan bingung.
"Kau mau kemana, Al?"
Aku menghembuskan napasku. "Kupikir aku harus pergi sekarang. Aku akan ke supermarket untuk membeli kebutuhan bulananku dan Vega. Ve, kalau kau mau pulang, pulang saja duluan."
Vega hanya menanggapi ucapanku dengan anggukan dan gumaman. Pandangannya masih tertuju pada ponsel di tangannya. Aku mengorbitkan mataku dan berlalu pergi.
"See ya."
***
Aku memasuki sebuah taksi dan taksi yang kunaiki langsung melesat menuju supermarket yang kumaksud. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di supermarket. Begitu taksi yang kutumpangi berhenti di tempat parkir, aku langsung menyerahkan ongkos dan turun dari taksi.
Dan di sinilah aku sekarang. Berdiri di tengah-tengah rak berisi bermacam-macam kotak sereal. Aku berjinjit sedikit dan jemariku menggapai dua buah kotak sereal fruit loops kemudian meletakkannya di dalam trolley yang berisi penuh persediaan makanan dan sebagainya.
Aku hendak mendorong trolley namun langkahku membeku seketika begitu melihat sesosok tubuh yang menjulang di hadapanku.
"Fruit loops? Kau memang tidak pernah berubah, Al."
Holy crap.
***
Aku tidak bergeming. Sama dengan apa yang dilakukannya. Hanya menyeringai nakal, dan tangannya masih memegangi bagian depan trolley milikku. Oh astaga, seringaian itu lagi.
Ia tidak berubah banyak. Auranya mungkin berbeda, ia menjadi lebih dewasa. Namun sisanya tetap sama. Masih seringaian yang sama. Surai cokelat pekat yang sama. Iris obsidian yang sama. Aku berani bertaruh bahwa ia bertambah jangkung dan mungkin sekarang tinggiku hanya sebatas pundaknya. Fisik kami memang berbeda, jauh. Ia terlalu jangkung untuk ukuran pria dengan darah Kaukasian sekalipun sedangkan tinggiku sedikit dibawah rata-rata.
Aku mengorbitkan bola mataku. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku?" ia berpikir sejenak. "Mungkin mengintai sahabat lamaku yang kuliah di sini."
Aku hendak memukul pundaknya namun ia terlalu sigap. Tangannya sudah mencengkram pergelangan tanganku. "Jawab yang jujur dan jangan main-main," tegasku.
Ia tertawa. "Aku kuliah di sini. Kau belum tahu?"
Aku menggeleng. Setahuku ia masih kuliah di salah satu PTN di Jakarta.
"Kasihan sekali kau. Aku kuliah di sini untuk beberapa bulan ke depan, kurasa," jawabnya. "Dan aku tidak menyangka akan bertemu denganmu disini. Padahal aku berniat menemuimu di apartemenmu."
"Oh," gumamku. Aku memalingkan kepalaku ke arah lain.
Ia menoyor kepalaku dengan gemas. "Kau sinis sekali sih. Tidak senang hah, kalau aku di sini?"
Aku menggeleng kuat-kuat. "Yang ada nanti aku dijadikan babu olehmu."
Tawanya meledak. "Pintar sekali kau, Al."
"Sudah ah, aku mau ke kasir," elakku dan berusaha menyingkir dari hadapannya. Ia mengikutiku, dan aku hanya mendelik ke arahnya.
Setelah membayar semua belanjaanku di kasir, ia masih mengikutiku. Bahkan ia membawakan paper bag berisi belanjaanku dengan sukarela. Kubiarkan saja, toh sejauh ini ia belum mengangguku. Aku merogoh ponselku ketika merasakannya berdering di saku celana. Incoming calls. Vega meneleponku ternyata. Kuangkat panggilan darinya, dan belum sempat aku mengucapkan salam atau semacamnya ia sudah lebih dahulu mencerocos.
"Al, kurasa aku tak akan pulang hari ini karena aku ada tugas dadakan yang harus di kerjakan berkelompok jadi terpaksa kamu sendirian di rumah malam ini karena aku menginap di rumah temanku."
Call ended.
Wow. Aku masih tercengang menatapi ponselku. Berpikir bagaimana bisa Vega mencerocos panjang lebar tanpa jeda dan dalam satu tarikan napas. Setelahnya aku melenguh, menyadari bahwa aku akan sendirian di rumah malam ini. Menyedihkan.
"Ada apa, Al?" pertanyaannya membuyarkan lamunanku.
"Aku ditinggal sendirian malam ini. Vega menginap di rumah temannya," jawabku.
Ia hanya manggut-manggut. "Hei, kau tidak bawa mobil kan? Mau pulang bersama?"
Bodohnya aku mengiyakan ajakannya.
***
Oke, kalian pasti heran akan hubunganku dengannya. Kami bersahabat sejak kecil. Sejak kami masih berwujud fetus, mungkin saja. Entahlah. Yang kutahu, dulu sewaktu kecil kami sering sekali berebut mainan dan semacamnya. Barulah ketika sudah menginjak usia remaja, kami mulai akur biarpun sudah dekat sedari dulu.
Terlebih ketika kami sekelas sewaktu SMA, 3 tahun berturut-turut aku sekelas dengannya. Kami duduk sebangku, pulang pergi sekolah bersama, kami sama-sama ikut ekstrakurikuler fotografi, kami juga sama-sama suka serial Harry Potter. Bedanya, ia adalah salah satu golongan murid terkenal sedangkan aku bukan siapa-siapa. Aku lumayan yakin bahwa beberapa teman mengenaliku hanya karena aku dekat dengannya.
Kadang aku berpikir bahwa aku hanyalah bayang-bayangnya. Sebut saja, sidekick. Tapi aku tidak berani untuk mengungkapkannya. Oke, abaikan saja pemikiranku tadi.
Kupikir, kami akan melewatkan masa-masa SMA tanpa merasakan cinta, karena biarpun ia diincar dan dikagumi oleh sebagian besar kaum Hawa di sekolahku, aku tahu bahwa hatinya belum berlabuh di hati yang lain. Aku setengah benar, karena ternyata hanya akulah yang masa SMA-nya hambar tanpa cinta.
Ia pernah merasakannya.
Seorang murid baru datang dan menjadi bagian dari kelasku, Alia namanya. Oke, nama kami hampir sama. Setiap ada yang menyeletuk, "Al," aku dan Alia sama-sama menoleh.
Nama kami boleh mirip, namun sifat dan penampilan kami jauh berbeda.
Alia begitu cantik dengan badannya yang proporsional dan kulit cerahnya yang kontras dengan rambut panjangnya yang indah. Beda denganku yang waktu itu tampak sangat kucel dan kusam. Rambutku berantakan, badanku juga terlalu kerempeng. Setidaknya sewaktu kuliah aku mulai merawat diri.
Alia juga lemah lembut, kupikir aku belum pernah melihatnya marah atau membentak. Nilai akademiknya sempurna. Tidak sepertiku, yang lumayan berandalan dan nilai akademikku juga pas-pasan. Kupikir sekarang aku mulai belajar lebih giat dan nilaiku juga meningkat.
Tidak kusangka, sahabatku sedari kecil akan tertarik pada Alia. Kupikir ia akan memilih gadis yang sedikit lebih 'nakal' mengingat dirinya yang waktu itu juga berandalan. Mereka menjalin hubungan khusus, dan kupikir hubungan mereka masih tetap berlanjut sampai sekarang.
Mulai dari sanalah aku mulai merasakan kejanggalan.
Kami sudah jarang bertemu satu sama lain saat itu, selain di kelas maksudku. Bahkan ia yang biasanya duduk sebangku denganku di kelas memilih untuk berpindah tempat ke sebelah Alia dan aku terpaksa duduk dengan temanku yang lain. Kami juga semakin jarang pulang pergi sekolah bersama dan kesana kemari bersama karena ia sudah memiliki Alia. Sedangkan aku terpaksa melakukan semua itu sendirian.
Sejak saat itulah aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Aku merasa hatiku tertusuk-tusuk tiap kali melihatnya dan Alia bersama. Entah kenapa aku ingin bertukar posisi dengan Alia, menjadi satu-satunya perempuan yang dekat dengannya. Tapi apa daya, ia bersikap seolah-olah aku bukan siapa-siapa lagi.
Jujur saja, aku benci itu.
Ya, aku benci dengan sikap cueknya. Aku benci ia meninggalkanku. Aku benci ia menjadi kekasih Alia. Aku benci bahwa kami tidak pernah bersama-sama lagi.
Dan aku lebih benci akan diriku yang menaruh rasa lebih padanya.
Sangat.

02:37Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang