Hallo guys, apa kabar?
Happy reading yaa
Enjoy
Jangan lupa vote ya, sedih tau kamu cuma baca tapi ga vote, huhu.
Typo harap maklum yaa:)
*****
Hentakan kasar dari tangan kekar itu menghempas gadis yang terus memeluknya, menghalangi jalannya agar ia tak pergi. Pemuda itu menatap lamat gadis yang kini terduduk di lantai dengan napas menderu.
“Ku katakan sekali lagi, aku tidak melayani bocah!”
Satu langkah hendak ia tinggalkan. Namun, gadis dengan baju putih abu-abunya mencekal kaki jenjang itu. “Ku mohon, Pak Tae. Aku ingin mencobanya, kata temanku bermain denganmu sangat menyenangkan. Boleh, ya?”
Pemuda itu, Ventae. Ia memejam mata jengah dengan napas panjangnya yang terasa berat. Rasa emosi yang kini sudah mencapai ubun-ubun seakan berontak ingin di keluarkan, tapi ia masih sadar diri untuk tidak menghajar gadis belia di hadapannya saat ini.
Masih memejam mata, dengan penuh penekanan ia berkata, “Menyingkir atau kupatahkan lehermu!”
“Tidak akan, sebelum aku bermain denganmu. Ku mohon, hanya sebentar, Pak.”
Ventae kembali menghela napas panjang kemudian ia berjongkok untuk menyamai posisinya dengan si gadis. Gadis itu sontak dengan perlahan melepas cekalannya, tersenyum manis kala melihat mata serupa awan mendung itu menatapnya.
“Kau mau kan, Pak Tae? Aku janji akan membaya—”
“Dalam mimpimu.” Setelahnya, Ventae beranjak dengan penuh kekesalan.
Ia bukan tak menginginkan uang, ia butuh, bahkan sangat. Hanya saja, ia tak ingin merusak gadis belia yang bakan KTP saja belum punya. Ia tak setega itu, atau bahkan ia tak segila itu. Meskipun, pekerjaannya memang hanya tinggal memuaskan para klien yang bersedia menyewanya dengan nominal yang cukup besar, tapi rasanya menerima uang dari orang yang lebih muda saja ia merasa tak pantas.
Kakinya terus menapak, sepatu pantofel hitam dengan jas merah maroon yang ia kenakan saat ini sungguh memancarkan kewibawaan dirinya. Berbeda dengan pekerjaan yang dianggap hina, ia sama sekali tak memancarkan kilauan hina apapun.
“Sial!” gumamnya saat sekelebat ingatannya kembali pada gadis umur 16 tahun tadi yang begitu kekeh memaksa.
Ia memijat pangkal hidungnya, merutuki tempat parkiran yang terasa amat jauh jika dalam saat-saat seperti ini.
“Bagaimana bisa Bima menerima anak di bawah umur! Apa dia gila?” kesalnya bukan main.
Menghela napas jengah untuk yang kesekian kalinya. “Aku benar-benar tidak habis pikir.”
Ia berhenti saat sampai tepat di mana mobilnya terparkir. Merogoh kantong celananya mencari kunci. Sesaat tangannya terulur menekan kunci, saat itu pula dirinya ditubruk dengan kasar oleh seseorang.
Ia meringis, merasakan sakit di bokong akibat terjatuh cukup kuat, terlebih lagi saat ini ia menopang tubuh seorang yang dapat dikatakan tidak lagi kecil.
“Kurang ajar! Di mana matamu, hah!” ia hanya merutuk, tak berniat berdiri untuk membuat orang yang menubruknya terjatuh dengan kasar di tanah.
Sosok itu tersadar cukup lama, hingga saat ia berdiri dengan cepat sambil berlari di tempat. “So-sorry ya, Om. Gue nggak sengaja. Aduh pegel banget, tolongin, dong! Diem mulu sih lo, Om!”
KAMU SEDANG MEMBACA
1.3
General FictionBukan kisah si cupu berkaca mata tebal yang selalu patuh dengan peraturan. Ini hanya tentang bagaimana ia bersembunyi dibalik jas hitam rapinya.