Ia memejam mata, menikmati aliran air mata yang melewati perpotongan hidungnya. Pejamannya semakin erat, isak tangis semakin menguat merasakan hari silir berganti yang ia lewati terasa hambar tidak berarti. Hanya satu yang bisa lakukan sekarang, merehatkan diri dari peluh yang menunggu keluar di hari-hari sulit seperti ini.
Helaan napas tercekat berkali-kali ia hembuskan, membawa desakan pada dada yang ikut sakit bersama dengan tarikannya. Ia hanya ingin bernapas, tapi kenapa harus sesakit ini?
Remaja itu mendudukkan diri di atas kasur reyot miliknya, melipat kaki agar kepalanya dapat bertumpu di atasnya. Pandangannya senantiasa mengarah ke depan, melihat dinding kamarnya yang terasa kosong.
Menghapus air mata yang terus jatuh. “Anta ... Anta cuma pengen Papa peduli, tapi ... tapi kenapa Papa malah marah sama, Anta?” monolognya.
Ia tidak begitu paham bagaimana alur hidupnya akan berjalan, yang ingin ia cari tahu adalah bagaimana ia harus mendapatkan perhatian sang ayah. Anak itu juga tidak paham, bagaimana Tuhan menciptakannya, jika hanya untuk merasakan bagaimana rasanya diacuhkan.
Antariksa Sanjadikrata, remaja usia 15 tahun yang selama hidupnya hanya mencari perhatian dari sang ayah. Beberapa manusia mengatakan jika perlakuan yang biasa disebut dengan ceper itu sama sekali tidak berarti. Namun, bagi seorang Antariksa, caper adalah satu-satunya cara agar ia bisa mendapatkan sentuhan kasih sayang dari ayahnya.
Ia tersentak kala pintu kamar dibuka dengan kasar, bergegas menghapus jejak air mata yang tersisa. Ia tersenyum lebar, begitu manis dengan dua gigi kelinci di depannya.
“Papa ... ada apa?” tanyanya masih dengan pertahanan senyum yang tidak kenal lelah.
Lelaki dewasa yang setia berdiri di ambang pintu mulai mendekat, dengan napas berderu cukup menggambarkan bahwa orang itu sedang menahan emosinya yang membuncah.
Satu hentakan ia menarik kasar kerah baju milik Anta, menatap penuh rasa muak ke arah putarnya. “Setelah membanggakan dick kecilmu pada polisi, besok akan apa lagi?!” sentaknya.
Anta hanya diam dengan tersenyum, tidak masalah baginya jika harus mendapatkan semburan kata kasar dengan volume yang terbilang tinggi, bahkan ini adalah waktu yang ia tunggu. Ia yakin, setalah ini ia akan mendapatkan sentuhan kasih sayang yang begitu terasa dan membekas.
Ia tertoleh tanpa memudarkan senyuman, kemudian kembali menatap sang ayah yang dengan tega menamparnya. “Makasih, Pa. Begini saja sudah cukup buat Anta.”
Ia menarik napasnya yang tercekat. “Papa mau Anta berenti bikin malu Papa, kan?”
Pria tua itu diam tidak membalas, tapi tak ayal, ia menunggu Anta melanjutkan perkataannya.
“Anta cuma minta satu hal–”
“Katakan!”
“Peluk Anta sekali aja, Pa. Anta nggak pernah minta apapun kan sama Papa? Anta nggak pernah nuntut apapun kan sama Papa? Bahkan Papa kurung dan suruh Anta tidur di gudang seperti ini juga Anta nggak pernah marah sama Papa. Jadi, Anta cuma minta Papa pelu–”
“Jangan mimpi!” kemudian menghempas Anta kasar hingga terjatuh dari tempat tidur kecilnya.
Lelaki tua itu tampak amat bengis, tatapan yang ntah tersirat perasaan apa saja seakan berkumpul. Ia tatap putranya lamat-lamat, setelahnya berkata, “Aku tidak akan memberikan kenyamanan apapun padamu, kecuali uang!” kemudian beranjak dari tempat itu.
Anta hanya tersenyum, setidaknya ia telah menyapa tangan manis ayahnya. Jujur, ia ingin mengecup tangan itu ketika ia pergi sekolah, ingin menggenggam tangan itu ketika ia merasa ketakutan, atau bahkan ia ingin tangan itu berada di tubuhnya dengan dekapan erat, tapi itu semua hanya khayalan belaka yang Anta sendiri tidak tahu kapan akan berakhir.
Remaja itu tidak lagi dapat menyangkal tentang kebencian sang ayah terhadapnya. Bahkan, siapapun dapat melihatnya dari perlakuan beliau pada putranya. Anta menghapus air matanya dengan kasar, kembali rebahan di atas kasur reyot miliknya.
Demi apapun, ia ingin menangis. Namun, satu pikiran yang selalu menghentikan tangisnya yang ingin keluar, satu kata yang selalu ia sematkan dalam kepala. “Lo nggak pantes nangis! Lo kuat, lo nggak butuh nangis sekalipun lo bakal gila detik itu juga.” juga, “Dengan menangis nggak akan merubah apapun dalam hidup lo, Anta!” ntah dari mana kata-kata itu ia dapatkan, yang pasti ia tak ingin banyak menangis.
Anta meraih guling kecil miliknya, peninggalan sang bunda untuknya. Satu-satunya barang yang berharga yang ia punya. Pikirannya bergelut, mengumpul dan bersatu bagai benang kusut yang bahkan ujungnya saja Anta tak tahu berada di mana.
Ia menghela napas dengan rasa begitu sakit, mengingat salah satu buku yang pernah ia baca sebelum tidur tempo lalu. Dalam buku itu, katanya anak sematawayang adalah anak yang dinantikan kehadirannya, anak yang tak akan kekurangan kasih sayang karena tak akan berbagi pada siapapun, anak yang bahkan segalanya bisa ia dapatkan, atau bahkan anak yang tak akan pernah merasakan perbandingan. Anta merasa benar untuk di Antara
Daripada memikirkan hal yang menyesakkan, ia lebih memilih untuk menenggelamkan wajahnya di balik guling kecil miliknya. Menjadi orang kuat pada siang hari benar-benar melelahkan untuknya.
Deru napas terdengar tenang, mulutnya terbuka kecil hingga di sela tidurnya ia bergumam, “Om Maroon, tolong ... Pak polis–” kemudian terputus dengan dengkuran halus miliknya.
Sedangkan di ujung sana, tepat di bar yang malam ini kebanjiran pendatang. Lampu kelap-kelip menyilaukan mata dengan orang-orang yang bergoyang di bawahnya.
Lelaki itu hanya duduk manis di salah satu bangku kosong, hanya melihat tanpa berniat ikut bergoyang. Malam ini, ia hanya ingin menunggu pelanggan yang mau menyewanya setengah jam lalu, tapi tampaknya belum juga terlihat.
Ia, Ventae menghela napas. Merapikan kemeja dengan balutan jas biru tua itu kemudian beranjak dari sana. Ia lebih baik keluar dari pada harus melihat para wanita dengan baju kurang bahan milik mereka.
Pemuda usia 23 tahun itu memacu mobilnya dengan santai, melihat pemandangan cukup asri yang ia lewati malam ini. Hari belum terlalu malam, dengan bintang serta cahaya yang menyinari perjalanan kali ini.
Ia berhenti, turun dari mobil untuk duduk di salah satu taman bermain anak-anak. Senyumnya terangkat kala mengingat ini adalah salah satu tempat pelariannya dulu saat sedang merajuk dengan sang ibu.
“Aku baik, Bun, tapi aku bukan orang baik.” Kakinya terus memacu langka, duduk di salah satu kursi taman yang terlihat dingin.
Menghirup suasana segar dengan awan mendung yang tiba-tiba saja hadir, memejamkan mata ikut menikmati hembusan angin yang menyapa. Namun, sesaat kemudian ia tersentak dan hampir terjatuh saat mendapati wajah seorang remaja yang berada tepat di depan wajahnya.
“Hallo, Om Maroon, kita ketemu lagi,” ucap anak itu.
Sial!
Hanya umpatan yang mampu keluar dari bibir tebal milik Ventae. Melihat remaja itu bukan bagian dari ketenangannya. Jujur, ia benci anak-anak! Sangat! Tidak ada penawaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
1.3
General FictionBukan kisah si cupu berkaca mata tebal yang selalu patuh dengan peraturan. Ini hanya tentang bagaimana ia bersembunyi dibalik jas hitam rapinya.