Tepukan pelan terasa di pundak, aku menoleh dan mendapati seorang lelaki mengernyitkan dahinya.
"Kenapa kau belum pulang?" Dia bertanya dengan heran. Aku lebih heran jika ada orang yang pulang di saat suara hujan bersahut-sahutan di luar jendela.
"Kau sendiri belum pulang." Aku berdecih yang dibalas seribu alasan. "Aku baru saja selesai basket." Dia bahkan berhenti bermain sejak beberapa bulan lalu.
"Aku menunggu langit terang." sahutku yang disambut gelengan tak percaya olehnya. "Kau bahkan berharap langit terang padahal seharian ini diluar gelap gulita?"
"Entah, tapi jika hujan tidak segera reda mungkin aku harus bermalam disini."
"Kau bercanda."
"Sudah kubilang bukan."
"Sudahkah kau dengar kakak kelas disini pernah bunuh diri?" Mendadak bulu kudukku berdiri. Matanya menatap seolah ada sesuatu di belakangku.
"Hey! Tidak perlu melotot seperti itu, aku akan pulang sekarang!" Ya, aku sedikit ketakutan sekarang karena hanya ada kami berdua di sini. "Cepat sekali berubah pikiran."
"Terserah saja."
"Kau malah meninggalkanku sekarang!" Tak kupedulikan teriakannya, kukemas dengan cepat barang-barangku ke dalam tas.
"Menyebalkan. Hey, lihat! Bukumu terjatuh!" Aku mengernyit heran. "Buku?"
"Terlihat seperti buku catatan mini." Dia hampir mengambilnya saat aku reflek menyentaknya. "Berhenti disana! Aku b-bisa mengambilnya sendiri!" Masalah besar jika dia melihat buku rahasiaku.
"Shh.. Baiklah, kau tidak perlu berteriak. Di kelas sebelah ada yang mendengar." Aku bertanya seraya ikut berbisik sepertinya. "Kenapa kau berbisik saat mengatakannya?"
"Haha, kau terlihat mengkerut."
"Aku tidak mengkerut!" Sialan! Dia mengelabuiku.
"Ya, hanya ketakutan."
"Terserahmu saja." Kutinggalkan dia keluar kelas dengan malas. "Hey tunggu aku!"
"Jangan lupa tutup pintunya!"
"Sudah kututup."
"Menjauh dariku!"
"Kau berjalan didepanku." Kenapa dia selalu bisa menjawabku?! "Silahkan jalan duluan!"
"No, ladies first."
"Kau menyebalkan!"
"Terima kasih kembali."
"Terserah!" Tak lama dia memanggilku. Aku menoleh tanpa minat. "Hey kau mau kemana?"
"Pulang."
"Gerbang depan sudah ditutup, sebaiknya lewat pintu belakang."
"Ya sudah."
"Kau bawa jas hujan atau tidak?"
"Aku bawa payung."
"Kau pulang dengan apa?" Pertanyaan aneh. "Tentu saja dengan kakiku."
"Maksudmu kau ingin berjalan kaki sejauh tiga kilometer saat ini?!"
"Tiga kilometer?"
"Iya." Aku tertegun sejenak. "Kau.. tahu rumahku?"
"Mhm, Reki memberitahuku saat kami lewat depan rumahmu." Aku mengernyit heran mendengarnya. "Sedang apa kalian disana?"
"Tadinya kami main di rumah Reki, lalu berakhir jalan-jalan." Ah, kupikir...
"Begitu rupanya."
"Ya."
"Aku akan pulang sekarang."
"Kau yakin?"
"Pertanyaanmu aneh, seperti aku tidak pernah pulang berjalan kaki saja."
"Tapi sekarang hujan deras!"
"Bukankah tadi kau yang membuatku urung menginap disini?"
"Kau pasti bercanda." Tentu saja aku tidak serius, orang bodoh mana yang akan tinggal di sekolah angker ini.
Aku memutar bola mata malas. "Aku sudah terbiasa berjalan saat pulang. Hanya hujan seperti ini tidak akan menghentikanku."
Dia terlihat menimbang sesuatu, tak lama dering ponselnya terdengar. Dia berbalik untuk menerima telepon. Aku menatap punggungnya dengan lekat seraya menghela napas. Huh.. Apa yang kuharapkan?
Aku bergegas keluar dari sekolah untuk pulang. Tidak apa-apa karena aku sudah terbiasa. Sebentar lagi gelap, aku berjalan dengan cepat hingga sebuah lampu menyorot dari belakang tubuhku. Reflek aku berjalan lebih cepat bahkan hampir berlari jika saja suara klakson tidak menghentikanku.
Ah.. Ternyata itu dia.
"Ada apa Naka? Bukankah rumahmu tidak melewati jalan ini?" Tanyaku heran saat dia menghentikan motornya di depanku. "Seenaknya saja kau meninggalkanku tadi! "
Apa aku salah dengar? Kupikir dia tidak butuh aku untuk menunggunya, jadi aku langsung pulang saja. "Untuk apa aku menunggumu? Aku harus cepat pulang agar tidak semakin basah." Sungutku agak kesal.
"Kau ini! Aku bisa mengantarmu pulang kan. Setidaknya tunggu sebentar untukku mengangkat telepon." Kenapa dia jadi kesal padaku?
"Naiklah cepat, aku antar!"
Apa ini? Kenapa di saat aku sudah bertekad untuk menghapus semuanya, semudah itu dia kembali menarik diriku dalam hidupnya?
Aku memandangnya seakan aku telah kalah oleh sebuah pertarungan. Akhirnya aku duduk di belakangnya. Rasanya debar dalam hati lebih keras dari tabuhan drum dan letupan kembang api yang pernah kujumpai.
Sontak aku memundurkan tubuhku seraya menyentuh pelan dadaku dengan harapan degupan ini akan lenyap begitu saja.
"Ada apa?" Dia bertanya saat melihatku dari balik kaca helmnya. Aku berusaha menjawab dengan ketus. "Ti-tidak, ternyata kau sedikit bau!"
Aku menggigit bibir menyesali ucapan tanpa pikirku karena terlalu gugup ditatap seperti itu. Mungkin dia merasa aku tidak tahu terima kasih karena sudah menghina dirinya di atas motornya sendiri.
.
cek ombak
KAMU SEDANG MEMBACA
Percakapan Yang Diharap Pernah Ada
No Ficciónaku dan kamu yang tidak pernah menjadi nyata /bru/ ©2022